1. PENDAHULUAN
1.1 Pengantar
• Alat bantu
penangkapan memegang peranan yang sangat penting dalam kegiatan penangkapan
ikan (Subani dan Barus, 1988). Oleh karena itu dengan adanya alat bantu pada
setiap operasi penangkapan ikan, maka akan memberikan kemudahan bagi ABK.
Dengan perkembangan teknologi sekarang ini menawarkan sejumlah kemudahan
kemudahan baik itu tenaga maupun pikiran. Walaupun memerlukan biaya yang tidak
sedikit penggunaan alat bantu pada kapal tetap memberikan keuntungan. Hal ini
karena alat bantu dapat mengoptimalkan tenaga kerja serta efisiensi dan
efektifitas. Sehubungan dengan hal tersebut, maka makin banyak peralatan yang
dipakai pada setiap operasi penangkapan ikan. Tertariknya ikan pada cahaya
sering disebutkan karena terjadinya peristiwa fototaxis. Cahaya merangsang ikan
dan menarik ikan untuk berkumpul pada sumber cahaya tersebut atau juga
disebutkan karena adanya rangsangan cahaya, ikan kemudian memberikan responnya.
Peristiwa ini dimanfaatkan dalam penangkapan ikan yang umumnya disebut light
fishing atau dari segi lain dapat juga dikatakan memanfaatkan salah satu
tingkah laku ikan untuk menangkap ikan itu sendiri. Dapat juga dikatakan bahwa
dalam light fishing, penangkap ikan tidak seluruhnya memaksakan keinginannya
secara paksa untuk menangkap ikan tetapi menyalurkan keinginan ikan sesuai
dengan nalurinya untuk ditangkap. Fungsi cahaya dalam penangkapan ikan ini
ialah untuk mengumpulkan ikan sampai pada suatu catchable area tertentu, lalu
penangkapan dilakukan dengan alat jaring ataupun pancing dan alat-alat lainnya
(Sudirman dan Mallawa, 2004).
Penggunaan lampu untuk penangkapan ikan di Indonesia
dewasa ini telah sangat berkembang, sehingga di tempat-tempat yang terdapat
kegiatan perikanan laut, hampir dapat dipastikan terdapat lampu yang digunakan
untuk usaha penangkapan ikan. Dalam
beberapa tahun terakhir, penelitian batas optimum kekuatan intensitas cahaya
telah menjadi salah satu pokok bagian dari penelitian para ahli biologi laut
kelautan. Ayodhyoa (1981) mengatakan agar light fishing dapat memberikan daya
guna yang maksimal, maka diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:
Mampu
mengumpulkan ikan yang berada pada jarak jauh, baik secara horisontal maupun
vertikal.
Ikan-ikan
tersebut diupayakan berkumpul ke sekitar sumber cahaya.
Setelah ikan
terkumpul, hendaklah ikan-ikan tersebut tetap senang berada dalam area sumber
cahaya pada suatu jangka waktu tertentu (minimum sampai saat alat tangkap mulai
beroperasi ).
Pada saat
ikan-ikan tersebut berkumpul di sekitar sumber cahaya, diupayakan semaksimal
mungkin agar ikan-ikan tersebut tidak melarikan diri ataupun menyebarkan diri.
1.2 Tujuan
Penguasaan materi dalam modul ini, yang dirancang sebagai
landasan untuk memahami metode penangkapan ikan, akan dapat
• Menjelaskan
pengertian alat bantu dalam menunjang metode penangkapan ikan
• Menjelaskan
metode penggunaan alat bantu dalam proses penangkapan ikan
1.3 Definisi
Alat bantu penangkapan adalah piranti teknologi yang
digunakan untuk membantu kelancaran dan kemudahan dalam melakukan penangkapan
Dilihat dari tempat penggunaannya dapat dibedakan antara lain lampu yang
dipergunakan di atas permukaan air dan lampu yang dipergunakan di dalam
air. Menurut Ayodhyoa (1976)
perbandingan antara lampu yang dipasang di atas permukaan air dengan lampu yang
digunakan di bawah permukaan air adalah sebagai berikut :
a. Lampu yang
dinyalakan di atas permukaan air :
1. Memerlukan
waktu yang lebih lama untuk menarik ikan berkumpul.
2. Kurang
efisien dalam penggunaan cahaya, karena sebagian cahaya akan diserap oleh
udara, terpantul oleh permukaan gelombang yang berubah-ubah dan diserap oleh
air sebelum sampai kesuatu kedalaman yang dimaksud dimana swiming layer ikan
tersebut berada.
3. Diperlukan
waktu yang lama supaya ikan dapat naik ke permukaan air dan dalam masa
penerangan, ikan-ikan tersebut kemungkinan akan berserak.
4. Setelah
ikan-ikan berkumpul karena tertarik oleh sumber cahaya dan berada di permukaan,
sulit untuk menjaga ikan tetap tenang, karena pantulan cahaya pada permukaan
air yang terus bergerak.
b. Lampu yang dinyalakan di bawah permukaan air :
1. Waktu yang
diperlukan untuk mengumpulkan ikan lebih sedikit.
2. Cahaya yang
digunakan lebih efisien, cahaya tidak ada yang memantul ataupun diserap oleh
udara, dengan kata lain cahaya dapat dipergunakan hampir seluruhnya.
3. Ikan-ikan
yang bergerak menuju sumber cahaya dan berkumpul, lebih tenang dan tidak
berserakan, sehingga kemungkinan ikan yang tertangkap lebih banyak.
Struktur
lampu di dalam air sangat berbeda dengan lampu-lampu biasa yang digunakan di
atas permukaan air. Penetrasi cahaya pada perairan sangat bergantung sekali
terhadap kondisi perairan itu sendiri dan yang paling menentukan adalah warna
laut dan tingkat transparansi air. Warna laut dalam hal ini berhubungan dengan
jenis warna lampu yang dipancarkan dari lampu itu sendiri. Warna lampu yang
sinarnya dapat menembus kedalaman tertinggi tentunya adalah warna lampu yang
sejenis dengan warna perairan pada waktu itu dan juga tergantung pada kondisi
perairannya. Semakin besar tingkat transparansi perairan semakin besar pula
tingkat kedalaman penetrasi sumber cahaya. Hasil-hasil penelitian menunjukkan
bahwa warna cahaya yang baik digunakan pada light fishing adalah biru, kuning
dan merah (Sudirman dan Mallawa, 2004).
2.PERIKANAN LAMPU
Cahaya
yang masuk ke dalam air akan mengalami pereduksian yang jauh lebih besar bila
dibandingkan dalam udara. Hal tersebut terutama disebabkan adanya penyerapan
dan perubahan cahaya menjadi berbagai bentuk energi, sehingga cahaya tersebut
akan cepat sekali tereduksi sejalan dengan semakin dalam suatu perairan.
Pembalikan dan pemancaran cahaya yang disebabkan oleh berbagai partikel dalam
air, keadaan cuaca dan gelombang banyak memberikan andil pada pereduksian
cahaya yang diterima air tersebut. Dengan demikian daya penglihatan ikan banyak
dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut (Gunarso, 1985).
Kemampuan
mengindera dari mata ikan memungkinkan untuk dapat melihat pada hampir ke
seluruh bagian dari lingkungan sekelilingnya. Hanya suatu daerah sempit pada
bagian sebelah belakang ikan yang tidak dapat dicakup oleh luasnya area yang
dapat dilihat oleh ikan, daerah sempit ini dikenal sebagai “dead zone.” Sedangkan untuk jarak penglihatan, tidak
hanya tergantung pada sifat indera penglihat saja, tetapi juga pada keadaan
penglihatan di dalam air. Pada kejernihan
yang baik dan terang maka jarak penglihatan untuk benda-benda yang kecil
tergantung pada kemampuan jelasnya penglihatan mata, misalkan pada jarak dimana
titik-titik yang letaknya bersekatan, dapat dibedakan sebagai dua titik dan
tidak sebagai satu titik ataupun kabur kelihatannya. Dalam keadaan tertentu,
beberapa jenis ikan yang berukuran besar mempunyai kemampuan untuk bisa melihat
benda-benda yang agak besar dan berwarna kontras dengan latar belakangnya pada
jarak beberapa puluh meter. Anak-anak
ikan mempunyai daya penglihatan yang sangat dekat. Seekor anak ikan atherina berukuran 2 cm dapat membedakan benda-benda pada jarak
20 cm, sedangkan yang berukuran 0,8 cm
hanya mampu membedakannya pada jarak 6-8 cm. Dalam keadaan perairan yang keruh,
kemampuan daya penglihatan ikan pada suatu objek yang terdapat di dalam air
akan sangat jauh berkurang. Namun tidaklah mengherankan beberapa jenis ikan
mampu mempertahankan hidupnya ketika mata ikan tersebut menjadi buta (Gunarso,
1985).
Ikan
sebagaimana jenis hewan lainnya mempunyai kemampuan yang mengagumkan untuk
dapat melihat pada waktu Berbagai
jenis ikan yang banyak dijumpai pada lapisan air yang relatif dangkal, banyak
menerima cahaya matahari pada waktu siang hari dan pada umumnya ikan-ikan yang
hidup di daerah tersebut mampu membedakan warna sama halnya dengan manusia
sedangkan beberapa jenis ikan yang hidup di laut dalam, dimana tidak semua
jenis cahaya dapat menembus, maka banyak diantara ikan-ikan tersebut tidak
dapat membedakan warna atau buta warna. Ketajaman warna yang dapat dilihat oleh
mata ikan juga merupakan hal penting. Pada kenyataannya, sesuatu yang mampu
diindera oleh mata ikan memungkinkan ikan tersebut untuk dapat membedakan
benda-benda dengan ukuran tertentu dari suatu jarak yang cukup jauh. Semakin
kabur tampaknya suatu benda bagi mata ikan, maka hal tersebut menyatakan bahwa
kemampuan mata ikan untuk menangkap kekontrasan benda terhadap latar
belakangnya semakin berkurang (Gunarso, 1985).
siang hari yang berkekuatan penerangan beberapa ribu lux
hingga pada keadaan yang hampir gelap sekalipun. Struktur retina mata ikan yang
berisi reseptor dari indera penglihat sangat bervariasi untuk jenis ikan yang
berbeda. Pada ikan teleostei memiliki jenis retina duplek, dengan pengertian
bahwa dalam retina ikan tersebut terdapat dua jenis reseptor yang dinamakan rod
dan kon. Pada umumnya terjadi distribusi yang berbeda dari kedua jenis reseptor
tersebut, yang biasanya erat hubungannya dengan pemanfaatan indera penglihatan
ikan dalam lingkungan hidupnya. Untuk berbagai jenis ikan pelagis sebagaimana
dijumpai pada berbagai jenis ikan dari keluarga Clupeidae, ikan-ikan tersebut
memiliki pengkonsentrasian kon yang sangat padat pada area antara
ventro-temporal yang dibatasi oleh “area temporalis”. Pada Sardinops caerulea dan Alosa sapidissimn,
area temporalis tersebut sangat jelas dan bahkan pada jenis ikan ini reseptor
hampir seluruhnya hanya terdiri dari kon saja, rod hampir tidak ada atau tidak
ada sama sekali (Gunarso, 1985).
Jenis ikan
yang aktif pada siang hari, umumnya mempunyai kon yang tersusun dalam bentuk
barisan ataupun dalam bentuk empat persegi. Pada umumnya ikan-ikan yang
memiliki kon dalam bentuk seperti ini adalah jenis ikan yang intensif sekali
menggunakan indera penglihatnya, biasanya ikan-ikan tersebut termasuk dalam
jenis ikan yang aktif memburu mangsa. Untuk jenis-jenis ikan yang aktif pada
malam hari atau jenis ikan yang hidup pada lapisan dalam, banyaknya kon sangat
kurang atau tidak ada sama sekali dan kedudukan kon tersebut digantikan oleh
rod (Gunarso, 1985).
Retina
dengan seluruh reseptornya terdiri dari rod banyak dijumpai pada jenis-jenis
ikan bertulang rawan, walau beberapa diantaranya masih dijumpai adanya kon pada
retina mata ikan-ikan tersebut. Retina yang keseluruhannya terdiri dari rod
juga banyak dijumpai pada berbagai ikan teleostei yang hidup di laut dalam.
Hasil penghitungan banyaknya rod pada beberapa jenis ikan laut dalam,
menunjukkan jumlah yang lebih dari 25 juta rod/mm retina. Hal ini menunjukkan bahwa mata jenis ikan
laut demersallah yang mempunyai tingkat sensitifitas tertinggi. Ikan-ikan
pelagis yang memangsa makanannya yang berupa plankton, pada umumnya jenis ikan
ini mempunyai distribusi kon yang sangat padat pada bagian ventro-temporal yang
menunjukkan kemampuan untuk melihat kedepan dan ke arah atas. Sedangkan jenis
ikan pelagis yang berasal dari perairan yang cukup dalam biasanya justru
mempunyai retina yang seluruhnya dipenuhi oleh rod saja dan bentuk mata
ikan-ikan tersebut cukup besar. Diantara jenis ikan demersal yang biasanya
memburu mangsa, memiliki retina yang kaya akan kon pada bagian temporal, tapi
terjadi perbedaan yang mencolok sehubungan jumlah kon pada bagian-bagian retina
yang lain, seperti halnya pada jenis predator pelagis yang mempunyai kemampuan
melihat arah lurus ke depan. Contoh untuk jenis ikan ini antara lain adalah
Cod, Coalfish dan keluarga Labridae (Gunarso, 1985).
1.1 Respon Ikan
Pelagis Terhadap Cahaya
Cahaya
dengan segala aspek yang dikandungnya seperti intensitas, sudut penyebaran,
polarisasi, komposisi spektralnya, arah, panjang gelombang dan lama penyinaran,
kesemuanya akan mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung
terhadap tingkah laku dan fisiologi ikan pelagis. Ikan mempunyai respon
terhadap rangsangan yang disebabkan oleh cahaya, meskipun besarnya kekuatan
cahaya tersebut berkisar antara
0,01-0,001 lux, dimana hal ini bergantung pada kemampuan suatu jenis ikan untuk
beradaptasi (Laevastu dan Hayes, 1991). Hasil pengamatan dengan echosounder
dapat diketahui bahwa suatu lampu yang oleh mata manusia hanya mampu diindera
oleh manusia sampai kedalaman 15 m saja, ternyata mampu memikat ikan sampai
kedalaman 28 m. Ikan juga mempunyai daya penglihatan yang cukup baik dalam hal
membedakan warna. Dari sejumlah percobaan yang telah dilakukan, ternyata ikan
sangat peka terhadap sinar yang datang dari arah dorsal tubuhnya. Ikan ternyata
tidak menyukai cahaya yang datang dari arah bawah tubuhnya (ventral) dan bila
keadaannya tidak memungkinkan untuk turun ke lapisan air yang lebih dalam lagi,
dalam usaha untuk menghindari posisinya semula, ikan-ikan tersebut akan
menyebar ke arah horisontal (Gunarso, 1985).
Ada jenis
ikan yang bersifat fototaxis positif, yaitu bahwa ikan akan bergerak ke arah
sumber cahaya karena rasa tertariknya, sebaliknya beberapa jenis ikan bersifat
fototaxis negatif yang memberikan respon dan tindakan yang sebaliknya dengan
yang bersifat fototaxis positif. Karena
adanya sifat fototaxis positif ini, maka ada beberapa jenis ikan ekonomis
penting yang dapat dipikat dengan cahaya buatan pada malam hari. Bagi beberapa
ikan bahwa adanya cahaya juga merupakan indikasi adanya makanan. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa ikan yang dalam keadaan lapar akan lebih mudah
terpikat oleh adanya cahaya daripada ikan yang dalam keadaan tidak lapar.
Bahkan adakalanya ikan-ikan tersebut akan muncul ke permukaan, ke arah cahaya
dengan tiba-tiba walaupun mungkin setelah selang beberapa menit ikan akan
menyebar dan meninggalkan tempat tersebut. Respon ikan muda terhadap rangsangan
cahaya adalah lebih besar daripada respon ikan dewasa dan setiap jenis ikan
mempunyai intensitas cahaya optimum dalam melakukan aktifitasnya (Gunarso,
1985).
Daerah
penerangan dimana ikan memberikan respon terhadap cahaya disebut daerah
phototaxis. Di luar batas daerah phototaxis ini respon ikan terhadap cahaya
tidak ada, karena kuat penerangannya sudah lemah. Semakin besar daerah
phototaxis ini semakin banyak ikan yang terkumpul dan semakin banyak pula ikan
yang tertangkap dekat dengan sumber cahaya (Fridman, 1969).
Terdapat
keseimbangan batas intensitas tertentu untuk suatu jenis ikan terhadap
intensitas cahaya yang ada. Jenis ikan teri memiliki variasi yang jelas tentang
pergerakan renang ikan di kedalaman tertentu pada waktu siang hari. Jenis ikan
ini akan berenang atau berada lebih dekat ke permukaan pada waktu pagi dan sore
hari bila dibandingkan pada saat tengah hari. Diantara berbagai jenis ikan yang
benar-benar phototaxis positif antara lain adalah jenis sardinella, layang,
selar dan ikan herring muda (Gunarso, 1985).
Richardson
(1952) dalam Laevastu dan Hella (1970), menyatakan bahwa salah satu jenis ikan
sardin yang dikenal sebagai ikan Pilchard dapat dipikat dengan menggunakan
cahaya lampu pada waktu malam hari. Selain itu, kedalaman kelompok ikan herring
dapat juga ditentukan berdasarkan intensitas cahaya. Ikan herring dewasa tidak
bersifat phototaxis positif karena ikan tersebut lebih menyukai daerah yang
berintensitas cahaya rendah. Namun demikian, ikan ini dapat juga tertarik pada
cahaya buatan pada waktu malam bila saja cahaya yang dipakai tidak begitu kuat.
Pada
umumnya ikan pelagis akan muncul ke lapisan permukaan sebelum matahari terbenam
dan biasanya ikan-ikan tersebut akan membentuk kelompok. Sesudah matahari
terbenam, ikan-ikan tersebut menyebar ke dalam kolom air dan mencari lapisan
yang lebih dalam, sedangkan ikan demersal biasanya menyebar ke dalam kolom air
selama malam hari. Dengan mengetahui ruaya ikan secara vertikal harian suatu
jenis ikan, maka waktu untuk melakukan pengoperasian alat penangkapan dapat
ditentukan. Selain itu kemungkinan berhasilnya penangkapan dengan bantuan sinar
lampu akan lebih besar. Penangkapan dengan bantuan lampu akan lebih efektif
sebelum tengah malam dan hal ini menunjukkan adanya kecenderungan bahwa
fototaxis yang maksimal bagi ikan adalah pada waktu-waktu tersebut (Laevastu
dan Hella, 1970).
Cahaya
yang masuk ke dalam air laut akan mengalami refraction atau pembiasan,
penyerapan (absorption), penyebaran (scattering), pemantulan (reflection) dan
lain-lain (Ayodhyoa, 1981). Cahaya lebih
jelas terlihat pada keadaan air yang jernih daripada air yang telah menjadi
keruh dan meyebabkan cahaya menjadi melemah atau bahkan hilang sama
sekali. Pengukuran cahaya dapat
digambarkan sebagai berikut:
E = F /
A , E
= I / R2
E = Kuat penerangan (Lux)
F = Flux cahaya (lumen)
A = Luas sebaran cahaya (m2)
I = Intensitas cahaya (candela)
R = Radius penerangan (meter)
Dimana kuat penerangan E (lux) sebanding dengan
Intensitas Cahaya I (candela ) dan berbanding terbalik dengan radius penerangan
(meter). Kuat penerangan berkurang dengan bertambahnya kuadrat jarak sumber
cahaya dan intensitas cahaya berkurang dengan cepat dari jarak sumber cahaya
pada medium yang berbeda. Kuat
penerangan ini erat hubungan dengan tingkat sensitifitas penglihatan ikan,
dengan kata lain bahwa berkurangnya derajat penerangan akan menyebabkan
berkurangnya jarak penglihatan ikan. Jadi dengan berkurangnya kekuatan
penerangan beberapa puluh lux saja, maka jarak penglihatan ikan terhadap objek
akan menurun pula. Jarak penglihatan ikan juga tergantung pada ukuran objek itu
sendiri (Fridman, 1969).
1.2 Karakteristik Dan
Tingkah Laku Ikan
Pelagis Yang Tertangkap Pada Purse Seine
Purse
seine adalah alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis yang
membentuk gerombolan dan berada dekat dengan permukaan air. Sasaran
penangkapannya adalah ikan-ikan pelagis seperti ikan kembung, selar, tetengkek,
tembang.
1. Ikan kembung
Ikan
kembung yang tertangkap di perairan Indonesia rata-rata terdiri atas dua
spesies, yaitu kembung perempuan (Rastrelliger negletus) dan kembung lelaki
(Rastrelliger kanagurta). Kedua ikan
kembung tersebut mempunyai sifat dan ciri-ciri yang berbeda. Kedua ikan kembung
tersebut termasuk dalam famili Scombridae, yaitu jenis ikan yang suka hidup
bergerombol. Ikan kembung merupakan ikan
pelagis yang memakan plankton halus. Badan tidak begitu langsing, tetapi pendek
dan gepeng. Tubuh bagian atas berwarna kehijauan
dan putih perak pada bagian bawah, terdapat totol-totol hitam pada bagian
punggung, sirip punggung pertama kuning keabuan dengan pinggiran gelap. Perut dan sirip dada berwarna kuning maya
gelap dan sirip lainnya berwarna kekuningan. Ikan kembung ini memiliki finlet
berjumlah 5-7, ukuran tubuhnya mencapai 15-30 cm. Ikan kembung biasanya hidup
lebih mendekati pantai dan membentuk gerombolan besar. Daerah penyebarannya di
perairan pantai Indonesia dengan konsentrasi terbesar di Kalimantan, Sumatera Barat,
Laut Jawa dan Selat Malaka (Anonymous, 1975).
Ikan
kembung cenderung berenang mendekati permukaan air pada waktu malam hari dan
pada siang hari turun ke lapisan yang lebih dalam. Gerakan vertikal ini
dipengaruhi oleh gerakan harian plankton dan mengikuti perubahan suhu, faktor
hidrografis dan salinitas. Damanhuri
(1980) menyatakan bahwa umumnya sifat dari ikan kembung adalah :
Termasuk
ikan pelagis yang daerahnya penyebarannya luas.
Selalu hidup
bergerombol, dapat berenang dengan cepat yang ditandai dengan bentuk tubuh yang
stream line dan menyukai makanan berupa ikan-ikan kecil/plankton hewani.
Reproduksinya
adalah ovoparus yaitu telur dibuahi diluar tubuh ikan dan telurnya bersifat
planktonis.
2. Ikan selar
Ada dua
jenis ikan selar yang dominan tertangkap di perairan Indonesia, yaitu selar
kuning (Selaroides leptolepis) dan selar bentong (Selar crumenophthalmus).
Mempunyai bentuk badan agak lebar dan memanjang, matanya besar, terdapat 2 duri
di muka sirip dubur. Pada bagian ekor terdapat scute, sirip dada berbentuk
meruncing ke ujungnya seperti bulan sabit. Berwarna biru kehijau-hijauan pada
bagian punggung dan putih keperak-perakan di bagian perut. Sebagian mempunyai garis sisi yang berwarna
kuning yang dimulai dari belakang mata sampai ke ujung ekor. Daerah penyebaran ikan selar terdapat hampir
di seluruh perairan Indonesia (Anonymous, 1975).
3. Ikan tembang
Ikan
tembang (Sardinella fimbriata) memiliki ciri-ciri morfologi: bentuk badan bulat
memanjang, terdapat ventral scute yang dimulai dari bawah pangkal sirip dada
sampai dubur. Sirip punggung terletak di tengah-tengah antara moncong dan ekor.
Warna punggung hijau sedangkan warna perut keperak-perakkan, terdapat sabuk
kuning membujur badan. Panjang badan umumnya kira-kira 14 cm. Habitat ikan
tembang adalah di sepanjang perairan pantai dan merupakan spesies permukaan.
(Anonymous, 1975).
4. Ikan
tetengkek
Ikan
tetengkek atau dalam bahasa latinnya disebut Megalaspis cordyla merupakan ikan
pelagis yang terdapat hampir di seluruh perairan pantai Indonesia. Bentuk
badannya seperti torpedo, mempunyai 6-9 sirip tambahan di belakang sirip
punggung dan sirip dubur. Terdapat scute yang panjang di sepanjang gurat sisi
(linea lateralis). Ekornya keras berbentuk langsing dan bercabang dalam,
mempunyai 2 duri di muka sirip dubur. Pada tutup insang terdapat noda hitam,
sedangkan warna tubuh bagian atas hitam kehijauan dan di bagian bawah tubuh
berwarna putih keperakan. Alat tangkap yang sering digunakan untuk menangkap
ikan tetengkek antara lain gill net, payang, muroami dan purse seine
(Anonymous, 1975).
Tatap Muka ke 4
3.GPS DAN FISH FINDER
3.1 GPS ( Global
Positioning System )
Global Positioning System (GPS) merupakan sistem navigasi
ruang angkasa yang dapat menentukan posisi benda dimana saja pada bumi.
Teknologi ini dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk semua orang, dengan waktu
pemakaian yang tidak terbatas tanpa biaya tambahan untuk data navigasi. Sistem
navigasi GPS menggunakan kumpulan dari 24 satelit pada ketinggian orbit sekitar
11.000 mil di atas bumi. Satelit tersebut mengitari bumi secara konstan
sebanyak 2 kali dengan waktu kurang dari 24 jam (Haryanto, 2002)
Satelit GPS yang pertama diluncurkan pada bulan Februari 1978 mempunyai berat satelit sekitar 2000 pounds dan bentangan elemen surya untuk tenaga baterainya, serta Power Transmitter-nya yang hanya 50 watt. Semua satelit GPS tersebut dikendalikan dari bumi dengan pusat kontrol di Schriever Air Force Base (dahulu Falcon AFB) Colorado dan beberapa tempat untuk stasiun monitor yang tersebar di seluruh muka bumi. Posisi pusat kontrol dan stasiun monitor tersebut dapat dilihat pada gambar berikut :
3.2 Pemanfaatan
teknologi GPS ini dapat dibagi menjadi dua bagian:
①. Keperluan Militer dan Pertahanan
Keamanan.
Penggunaan GPS untuk keperluan militer antara lain
digunakan sebagai alat navigasi bagi tentara saat melakukan operasi militer
pada daerah yang sangat sukar untuk mendapatkan patokan arah atau posisi dimana
mereka berada, contohnya pada padang pasir. GPS ini juga digunakan pada
beberapa kendaraan militer seperti pada tank, mobil perang, helikopter, pesawat
tempur, kapal perang dan sebagainya.
②. Keperluan Masyarakat Sipil.
Untuk keperluan sipil GPS digunakan untuk beberapa
keperluan seperti :
Kegiatan
alam
Digunakan sebagai alat navigasi untuk menunjukkan posisi
dan arah dari suatu titik tempat kita berada pada muka bumi, navigasi darat
bagi pecinta alam. Saat ini pada beberapa tempat seperti di Amerika dan Eropa
digunakan juga pemakaian GPS pada kendaraan bermotor yang dapat memberi
petunjuk arah dan peta jalan yang akan dilalui, sesuai dengan tujuan, pada olahraga otomotif, seperti reli
mobil yang melalui padang pasir seperti reli Paris - Dakkar dan keperluan
lainya.
Avionics
Digunakan juga pada pesawat-pesawat komersial maupun
pesawat tempur sebagai bagian alat navigasi udara, para penerjun payung dan
juga pada balon udara.
Pemetaan
Selain hal tersebut di atas GPS dimanfaatkan secara
khusus untuk memperoleh data untuk pembuatan peta survey suatu daerah berupa
contour dan juga untuk keperluan data (Geographical Information System ) GIS.
Maritim/Kelautan
Untuk keperluan di bidang kelautan, GPS dipasang pada
perahu motor atau kapal yang digunakan sebagai alat navigasi laut yang dapat
menunjukkan arah dan posisi kapal maupun rumpon pada muka bumi, dipakai juga
untuk keperluan penangkapan ikan dengan tambahan bantuan alat sonar, untuk
keperluan budidaya kerang mutiara agar letak dari kerang-kerang tersebut dapat
diketahui dengan tepat bila hendak diambil dan sebagainya (Haryanto, 2002).
Metode yang digunakan GPS dalam menentukan sebuah lokasi
maupun posisi, yaitu memberikan bentuk informasi berupa titik yang disebut
dengan istilah waypoint. Waypoint ini terdiri dari koordinat lintang (latitude)
dan bujur (longitude). Informasi tersebut dapat disimpan pada memory GPS,
sehingga apabila dibutuhkan maka informasi berupa titik koordinat tersebut
dapat diketahui kembali secara tepat Hal
tersebut sangat diperlukan dalam menentukan lokasi rumpon sehingga nelayan
dapat mengetahui lokasi rumpon sebagai area fishing ground secara pasti
(Anonymous, 2002).
3.3 Identifikasi
GPS
①. Prinsip Kerja
GPS adalah sistim navigasi berdasarkan satelit, yang pada
awalnya dikembangkan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat untuk
memperoleh posisi secara akurat. Tingkat keakuratan penentuan posisi mencapai
15 meter.
Prinsip kerja GPS, berdasarkan perbedaan jarak
satelit yang mengorbit bumi dan posisi
kapal pada suatu saat. Jumlah satelit yang mengorbit sebanyak 24 unit, yang mengirimkan
signal secara terus menerus, sehingga posisi kapal dapat diperoleh setiap
waktu.
b. Cara
Identifikasi
Adapun cara identifikasi atau pemeriksaan GPS dapat
dilakukan seperti yang tersebut dalam tabel berikut ini.
Tabel : Urutan Identifikasi GPS
Dari hasil identifikasi tersebut diatas dapat disimpulkan
bahwa kapal tersebut menggunakan peralatan GPS.
3.4 Identifikasi
VMS
a. Prinsip
Kerja
VMS adalah sistim navigasi berdasarkan satelit, yang
berfungsi untuk monitor kegiatan kapal ikan. Kapal yang terpasang alat ini akan
dapat dimonitor kegiatan operasi penangkapan pada setiap saat. Prinsip kerja
VMS, sama dengan prinsip kerja GPS, yaitu berdasarkan perbedaan jarak beberapa
satelit yang mengorbit bumi dan posisi kapal pada suatu saat. Bedanya dengan
GPS, bahwa VMS memancarkan gelombang radio yang selanjutnya signal pancaran ini
diterima pada monitor induk, dan pada pesawat monitor ini akan menampilkan
posisi kapal setiap saat dikehendaki.
Gambar : Sketsa Antena VMS
b. Cara
Identifikasi
Adapun cara identifikasi atau pemeriksaan VMS dapat
dilakukan seperti yang tersebut dalam tabel berikut ini .
Tabel : Urutan Identifikasi VMS
Hasil identifikasi berdasarkan komponen antenna, akan
nampak seperti GPS, sehingga perlu dipastikan dengan mengidentifikasi perangkat
utamanya (main unit).
3.5 Identifikasi
Fish Finder
Prinsip Kerja
Prinsip kerja Fish Finder, pemancaran gema antara 50-200
MHz kedalam perairan secara vertikal, selanjutnya gema ini terpantul kembali
setelah mengenai obyek berupa ikan atau dasar perairan. Gema dipancarkan
melalui tranducer, dan alat ini pula yang menerima kembali pancaran gema
setelah mengenai obyek tertentu. Fish Finder, model atau tipe yang lama
menggunakan kertas sebagai rekaman (recording paper) sebagai penampilan obyek
dalam perairan.
b. Cara
Identifikasi
Adapun cara identifikasi atau pemeriksaan Fish Finder
hanya dapat dilakukan dengan mengenali display unit, karena tranducer terpasang
pada dasar kapal.
Tabel : Komponen Fish Finder Yang Bisa Dikenali
No. IDENTIFIKASI
KOMPONEN INDIKASI
1. Display Unit Berupa layar monitor, dengan tampilan
berwarna yang menunjukkan obyek terpantul arah vertikal, atau dengan kertas
rekaman (recording paper).
Dari hasil identifikasi tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa kapal tersebut menggunakan peralatan Fish Finder.
3.6 Identifikasi
SONAR
a. Prinsip
Kerja
Prinsip kerja SONAR, mirip dengan Fish Finder namun arah
pancaran gema secara horizontal, selanjutnya gema ini terpantul kembali setelah
mengenai obyek berupa ikan atau obyek lain.
Gema dipancarkan melalui tranducer, dan alat ini pula
yang menerima kembali pancaran gema setelah mengenai obyek tertentu, pada SONAR
konstruksi tranducer lebih rumit, dan dibuat sedemikian rupa sehingga tranducer
bisa naik dan turun dari lambung kapal.
b. Cara
Identifikasi
SONAR, model atau tipe yang lama menggunakan kertas
sebagai rekaman (recording paper) sebagai penampilan obyek dalam perairan.
Adapun cara identifikasi atau pemeriksaan Sonar hanya dapat dilakukan dengan
mengenali display unit, karena tranducer terpasang pada dasar kapal.
Dari hasil identifikasi tersebut diatas dapat disimpulkan
bahwa kapal tersebut menggunakan peralatan SONAR.
3.7 Identifikasi
SART
Prinsip Kerja
Singkatan dari Save and Resque Transmiter, alat bantu
navigasi yang bekerja berdasarkan pemancaran gelombang radio yang sebagai
pemandu arah dan jarak pesawat penerima RADAR. Pancaran gelombang radio dari
alat ini akan diterima sangat kuat dibandingkan dengan obyek-obyek lain yang
terdeteksi RADAR, sehingga navigator akan lebih mudah mengarahkan kapalnya
menuju alat ini. SART ini hanya dipergunakan untuk kepentingan emergency saja.
b. Cara
Identifikasi
Identifikasi terhadap keberadaan alat ini seperti pada
gambar berikut ini
3.8 Identifikasi
EPIRB
a. Prinsip
Kerja
Singkatan dari Emergency Position Indicating Radio
Beacon, alat bantu navigasi yang bekerja berdasarkan pemancaran posisi, dan
identitas kapal pada saat emergency melalui gelombang radio. Pemancaran signal
alat ini bersifat digital sehingga tidak ada hambatan untuk pemancaran secara
meluas keseluruh dunia dengan harapan Tim SAR terdekat dapat memberikan
pertolongan sesegera mungkin.
b. Cara
Identifikasi
Identifikasi terhadap keberadaan alat ini seperti pada
gambar berikut ini.
4 LINE HAULER
Menurut Baitur Syarif dan Soewito (2000), penempatan Line
Hauler pada kapal sekala besar
ditempatkan pada geladak kerja “hauling” (“hauling working space”).
“Line hauler” merupakan mesin bantu penangkapan sebagai penarik tali utama pada
saat “hauling”. Sumber tenaga yang digunakan untuk menggerakkan biasanya
menggunakan tenaga elektro hidrolik. Alat tersebut dilengkapi dengan komponen
pengatur kecepatan dan rem. Pengatur
kecepatan dan rem berguna untuk mengendalikan kecepatan penarikan, agar mudah
pengendaliannya terutama pada saat penarikan ikan hasil tangkapan ke atas
kapal.
“Line hauler” digunakan untuk menarik rangkaian “long
line” yang panjangnya mencapai ribuan meter pada saat “hauling”. Cara penarikan
rangkain long line, yaitu : mula-mula pelampung pada rangkaian tali utama yang
pertama dipasang diangkat ke atas kapal. Kemudian tali pelampung diepas dan
tali utama dimasukkan kedalam “line
hauler”. Setelah itu “line hauler” dijalankan untuk menarik tali utama. Tali
utama yang keluar dari “line hauler” biasanya ditampung dalam keranjang.
Kemudian diatasnya ditumpangi tali cabang lalu ditumpangi lagi tali utama dan
seterusnya sampai seluruh basket habis, dan yang terakhir yang ditunjukkan oleh
tali pelampung dan diikat menjadi satu (Sadhori, 1985).
a. Slow
Conveyor
“Slow conveyor” merupakan mesin bantu penangkapan ikan
yang berupa ban berjalan yang bergerak secara perlahan, berfungsi sebagai
pengantar dan penampung sementara tali utama yang ditarik oleh “line hauler”.
Hal ini dimaksudkan agar tali utama yang ditarik oleh “line hauler” tidak
menumpuk disatu tempat sehingga dapat mengakibatkan kusut. Tali utama yang berada di “Slow Conveyor”
kemudian akan ditarak oleh “Line Arranger” untuk ditata pada tempat penyimpanan
tali utama.
b. Line
Arranger
“Line Aranger” merupakan alat bantu penangkapan yang
berupa alat yang dapat bergerak ke arah atau lintasan yang telah ditentukan.
Alat tersebut akan menarik tali utama yang berada pada “Slow Conveyor” untuk
kemudian di tempatkan pada main “line tank”. Penempatannya di atas “main line
tank”. Penggunaan alat bantu ini pada saat operasi penangkapan sebagai alat
bantu untuk mengatur susunan tali utama rawai tuna agar tertata rapi dan tidak
kusut didalam “main line tank”.
c. Line
Thrower
Kapal rawai tuna
sekala industri yang telah dilengkapi dengan “line arranger”, pada
umumya juga telah dilengkapi dengan “line thrower” ( mesin bantu penebar tali
utama). “Line thrower” bertugas mengatur kecepatan tebar tali utama pada saat
seting. Alat tersebut bekerja secara otomatis yang akan berbunyi manakala
waktunya memasangkan tali cabang atau tali pelampung. Hal ini dimaksudkan agar
jarak penebaran pada setiap pencing dapat sama panjang dan teratur.
d. Branch Line
Ace
Untuk mengimbangi kecepatan penarikan “line hauler” yang
tinggi pada saat “hauling” maka kapal rawai tuna skala industri dilengkapi pula
dengan “branch line ace” (mesin bantu penangkapan penggulung tali cabang).
“Branch line” yang telah tergulung oleh alat bantu tersebut, kemudian
ditempatkan dalam “branch line basket” yang setiap keranjang berisi antara
15-20 tas “branch line”. Setelah “branch
line” basket terisi penuh kemudian ditranfer ke ruang penyimpanan alat tangkap,
melalui “branch line conveyor”.
e. Buoy Line
Ace
“Buoy line Ace”, ditempatkan pada geladak kerja lambung
kapal. Mesin bantu tersebut merupakan mesin bantu penggulungan tali pelampung
(“buoyline”) digunakan pada saat pelaksanaan “hauling”. “Bouy line” yang telah
tergulung oleh “bouy line ace” ditempatkan pada keranjang penyimpanan “bouy
line” (“buoy line basket”). Setiap keranjang berisi antara 20-50 “buoy line”.
“Buoy line basket” yang telah berisi penuh kemudian ditransfer ke ruang alat
tangkap, melalui “branch line conveyor”.
f. Branch Line
Conveyor
“Branch Line Conveyor” adalah merupakan mesin bantu
penangkapan berupa ban berjalan yang digunakan pada saat hauling sebagai
penghantar “branch line basket” dan “buoy line basket” untuk ditransfer ke
gudang penyimpanan alat tangkap. Walaupun biaya yang harus disiapkan untuk
pengadaan peralatan mesin bantu tersebut relatif mahal, namun efektifitas dan
efisiensi kerja yang dihasilkan dapat memberikan keuntungan yang memadai.
Tatap Muka ke 5
5.RUMPON
5.1 Definisi
Rumpon
Rumpon adalah salah satu jenis alat bantu penangkapan
ikan berbentuk alat, obyek atau struktur yang bersifat permanen atau sementara
yang didesain dan dikonstruksi dari jenis material alami dan buatan yang
dijangkar menetap atau dapat dipindahkan di laut dalam atau di laut dangkal
untuk maksud memikat ikan dengan efek utama memusatkan gerombolan ikan agar
mudah dalam menangkapnya (Anonymous, 1996).
Pengertian rumpon (Fish Agregating Device ) menurut
Departemen of Land and Natural Resources State of Hawaii ( 1980 ) dalam Sjarif,
et. al., ( 1998 ), adalah “Fish Agregating Buoys are man made floating object (
floatsam ) placed (anchored or free floating ) in the ocean to attract and
concetrate certain pelagic fishes “, maksudnya adalah alat pemikat ikan adalah
benda ( obyek ) buatan manusia yang diletakkan ( tertancap atau bebas mengapung
) di lautan untuk menarik dan mengumpulkan ikan-ikan pelagis.
Menurut Brandt (
1984 ) dalam Sjarif, et. al., ( 1998 ), rumpon telah lama dipakai oleh nelayan
Indonesia. Nelayan di Malaysia menamakan rumpon dengan istilah “Unjang”,
nelayan Mediterania menamakannya “Kannizatti” dan nelayan Marjoca di Spanyol
menamakannya dengan istilah “Llampuguera”. Semakin berkembangnya teknologi yang
semakin canggih dengan menambahkan radar reflektor, radio transmitter sehingga
memudahkan nelayan untuk melacaknya.
Menurut Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1 Tahun 1997
dalam Sjarif, et. al., ( 1998 ), rumpon didefinisikan sebagai berikut : rumpon
adalah alat bantu penangkap ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan
laut. Lebih lanjut Keputusan Menteri Pertanian Nomor 51 Tahun 1997 tersebut
menjelaskan bahwa berdasarkan penempatannya di perairan, rumpon dapat dibedakan
menjadi tiga jenis, yaitu :
a. rumpon
perairan dasar, yaitu rumpon yang dipasang dan ditempatkan di dasar perairan
laut.
b. rumpon
perairan dangkal, yaitu rumpon yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut
yang kedalamannya sampai dengan 200 meter.
c. rumpon
perairan dalam, yaitu rumpon yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut
dengan kedalaman lebih dari 200 meter.
5.2 Klasifikasi Rumpon
Penggolongan rumpon berdasarkan jenis ikan atau menurut
kedalaman perairan sesungguhnya tidak memberi ciri khusus pada komponen utama
rumpon. Penggolongan rumpon berdasarkan jenis ikan dan kedalaman tersebut hanya
membedakan jenis dan ukuran bahan serta penempatan rumpon pada kedalaman
perairan. Penggolongan rumpon menurut Anonymous (1996) dapat dibedakan menurut
era riwayat penggolongan rumpon, yaitu rumpon tradisional dan rumpon modern.
a. Rumpon
tradisional
Rumpon tradisional yang digunakan nelayan di perairan
Utara Jawa dan Madura, pada dasarnya sama dengan rumpon yang digunakan oleh
nelayan di perairan pulau Sulawesi ( antara lain Mamuju, Bone, Mandar dan
Tomini ).
Rumpon tradisional umumnya terdiri dari empat komponen
utama, yaitu :
• Pelampung
• Tali
jangkar
• Jangkar dan
pemberat
• Pemikat
(atraktor ) yang umumnya kesemuanya terbuat dari bahan alami.
Bahan yang digunakan untuk pembuat rumpon tradisional
adalah :
• Pelampung
yang terbuat dari rakit bambu
• Tali
jangkar, terbuat dari bahan ijuk atau rotan. Bahan ijuk banyak digunakan oleh
nelayan Jawa dan Madura, sedangkan bahan rotan umumnya digunakan oleh nelayan
Sulawesi.
• Pemberat,
umumnya terbuat dari batu dan jangkar kayu.
• Nelayan di
Utara Jawa dan Madura menggunakan alat tangkap purse seine dan payang dengan
ditopang oleh rumpon sebagai alat bantu penangkapan, untuk menangkap ikan jenis
pelagis kecil, antara lain ikan Kembung, Layar dan Layang.
b. Rumpon
Modern
Rumpon modern umumnya digunakan oleh perusahaan swasta
maupun BUMN, untuk menopang usaha penangkapan dengan alat tangkap huhate dan
pancing ulur serta drift vertical line.
Bahan yang digunakan untuk merakit rumpon modern umumnya
bahan sintetis, yaitu :
• Pelampung,
terbuat dari bahan plat besi atau bahan sintatis lainnya yang dibentuk menjadi
ponton, seperti drum yang dilapisi fibre glass atau dapat pula drum yang diisi
dengan busa (plastic foamed).
• Tali
jangkar, umumnya tersusun dari rangkaian kabel baja (steel wire), rantai besi,
tali sintetis (tali polyethilene atau tali poly propylene) dan dilengkapi pula
dengan segel dan swivel.
• Pemberat,
umumnya terbuat dari semen cor (beton semen) yang dilengkapi jangkar besi
• Pemikat
(atraktor ), umumnya masih menggunakan bahan alami, antara lain : daun kelapa,
daun nipah, ranting bambu. Sebenarnya atraktor dapat pula dibuat dari bahan
sintetis, seperti : ban sepeda, pita plastik, tali (rafia) yang diurai, jaring
bekas dan lain-lain ( Sjarif et. all., 1998 ).
Menurut Anonymous ( 1996 ) berdasarkan penempatannya di
perairan, rumpon dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu :
• Rumpon
perairan dasar, yaitu rumpon yang dipasang dan ditempatkan di dasar perairan
laut.
• Rumpon
perairan dangkal, yaitu rumpon yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut
yang kedalamannya sampai dengan 200 meter.
• Rumpon
perairan dalam, yaitu rumpon yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut
dengan kedalaman lebih dari 200 m.
Berdasarkan klasifikasi di atas, rumpon yang dibuat
menggunakan rumpon jenis modern yang dipasang pada kedalaman 200 - 750 meter,
dan biasa disebut dengan rumpon perairan dalam, sedangkan bahan rumpon terbuat
dari bahan sintetis. Bahan sintetis yang digunakan pada rumpon modern yakni,
pelampung terbuat dari bahan plat besi; tali jangkar terbuat dari dari
rangkaian kabel baja (steel wire), rantai besi, tali sintetis (tali
polyethilene atau tali poly propylene) dan dilengkapi pula dengan segel dan
swivel; pemberat terbuat dari semen cor (beton semen) yang dilengkapi jangkar
besi, dan atraktor terbuat dari pita plastik.
5.3 Bahan Rumpon
Subani dan Barus (1989) menyatakan bahwa dengan
menggunakan rumpon, produksi hasil tangkapan menjadi lebih baik bila
dibandingkan tanpa menggunakan rumpon. Penempatan rumpon pada perairan yang
potensial dapat menghemat pemakaian bahan bakar karena gerombolan ikan yang menjadi
tujuan dalam setiap usaha telah terkonsentrasi pada suatu tempat (posisi), maka
nelayan tidak lagi mencari daerah penangkapan ikan. Disamping itu, hari operasi
per trip dapat diperpendek sehingga dapat menghemat penggunaan bahan bakar dan
perbekalan. Rumpon dari ponton plat besi termasuk golongan rumpon laut dalam,
yaitu alat pemikat ikan yang besar dan diletakkan di perairan yang lebih dalam
(umumnya 200-750 meter di bawah permukaan laut) dan diletakkan di 30 mil laut
dari daratan. Meskipun ikan-ikan yang dapat tertangkap termasuk ikan layang dan
ikan Tongkol namun Yellowfin tuna merupakan target sasaran penangkapan rumpon.
Secara garis besar konstruksi rumpon modern adalah
sebagai berikut:
1). Tali
Bahan :Tali
Polyethylene dengan Ø 20 mm dan 22 mm
Panjang :1050
meter (1,5 kedalaman laut)
Pelengkap :Wire
rope Ø 12 mm dengan panjang 65 meter.
Warna :Hijau
(PE) dan Putih keperakan (Wire Rope)
2). Pelampung
Bahan :Drum
(tebal 4 mm)
Ukuran :Panjang
(240 cm), Ø besar 60 cm, Ø kecil 10 cm
Bentuk :Tabung
mengkerucut
Warna :Kuning
3). Kerangka
Bahan :
Betonaser, canal U
Ukuran :
Ø 12 mm, dibuat menyerupai bentuk pelampung total
panjang 12 m
4). Tanda
Pengenal
Bahan :
Stainlessteel
Ukuran :
Ø 12 mm, panjang 3 m
Perlengkapan Lain
1). Atraktor
Bahan :
Pita plastik (rumbai-rumbai)
Ukuran Tali :
PE Ø 16mm, Panjang 20 m
2). Tali Jangkar
Bahan :
Wire Rope Galvanis
Panjang PE :
10 m, Ø 16 mm
3). Jangkar
Bahan :
Besi SS Ø 19 mm
Berat : 25 Kg
4). Pemberat
Jangkar
Bahan :
ban, batang besi (Ø 20mm, panjang 8-7 meter)
Komposisi :
Semen, pasir, koral (beton cor, 2:2:1)
Ukuran :
(100x15x15) cm
Jumlah :
8 buah
Berat : 75
kg
5). Pemberat Atraktor
Bahan :
kaleng bekas, ban dan semen.
Komposisi : semen,
pasir, koral
Ukuran :
Ukuran kaleng bekas Ø 16 cm
Jumlah :
2 biji
Berat :
masing-masing 5 kg
5.4 Konstruksi
dan Pembuatan Rumpon
Bentuk dan konstruksi rumpon tidak perlu ada standar
teknis, karena teknologi rumpon merupakan produk teknologi rekayasa yang akan
selalu berubah dan berkembang mengikuti perkembangan teknologi komponennya.
Kejelasan rancang bangun rumpon dari
observasi di lapangan serta kajian beberapa pustaka, dapat diuraikan sebagai
berikut :
Pelampung (Ponton )
Dari keseluruhan komponen, ponton adalah komponen
terpenting karena ponton merupakan pelampung beban berat dari semua komponen
rumpon, disamping itu juga merupakan tanda (marking buoy) agar dapat terlihat
dari kejauhan. Pada prinsipnya bentuk pelampung rumpon, rancang bangunnya
menyerupai torpedo (stream line), sehingga tahanannya rendah terhadap angin,
arus dan gelombang laut. Menurut KIFTC (1986) dalam Sjarif, et. al. (1998)
pelampung yang baik harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
Dindingnya
harus kedap air dan tahan terhadap benturan benda keras
Daya
apungnya tinggi yang mampu menahan beban-beban gaya yang timbul dari
komponen-komponen yang menggantung di bawahnya
Daya
apungnya tidak mudah berkurang, tahan terhadap arus, angin dan gelombang laut
atau faktor lainnya
Tahan
terhadap korosi dan pelapukan
Dapat
dipasangi reflector dan radar dan/ atau tanda pengenal yang mudah dilihat dari
jarak sekitar 1 – 1,5 mil laut
Tidak mudah
rusak (busuk, usang) dan tahan lama
Mudah
diperoleh dan relatif murah
Ponton dari drum besi ini dengan berat
115 kg, panjang 240 cm, diameter besar 60 cm dimana ujung pelampung ini
meruncing seperti bentuk torpedo, dibuat oleh bengkel las setempat sesuai
pesanan yang memerlukan waktu kurang lebih 2 minggu. Penampang dari ponton drum
besi berbentuk tabung atau silinder terbuat dari plat besi tebal 2 mm dengan
panjang 200-240 cm dan diameter 60 x 10 cm. bentuk ini disesuaikan kedudukannya
terhadap arus, angin dan gelombang laut, supaya dapat memecah gelombang dan
arus laut yang menghantam. (Lampiran 24)
Pembuatan ponton ini diawali dengan penyambungan 2 drum.
Semua sistem penyambungan pada setiap plat dindingnya di las listrik.
Selanjutnya, untuk menghindari penetrasi air laut ke dalam ponton terutama pada
setiap sudut dari semua dindingnya ditambahnya besi siku, dilaskan di sepanjang
seluruh sistem sambungan dinding ponton.
Untuk merangkaikannya dengan komponen
lainnya maka pada bagian dasar ponton dilaskan (dipasangi) engsel dan sayatan
ban bekas (untuk tempat panggantungan tali). Selain itu, pada bagian kiri dan
kanan ponton dipasang kawat besi untuk tempat paralon atau bamboo sebagai
stabilitator ponton, sedangkan pada bagian atas ponton juga diberi pipa besi
untuk tempat bendera. Penggunaan stabilitator dari bambu dapat dilakukan
sebagai pengganti paralon apabila bahan tersebut tidak ada atau disesuaikan
dengan kemampuan pemesan ponton.
Pada bagian bawah pelampung dibulatkan sebagai tempat
mengikat tali jangkar yang berfungsi seperti engsel (dapat bergerak ke kiri /
kanan dan ke depan / belakang maupun berputar), sehingga akan dapat menghambat
keausan dan meredam hentakan. Hal tersebut mengingat pada bagian tempat
pengikat tali jangkar tersebut paling banyak mengalami goyangan (oleng dan
angguk) dan goncangan.
Setelah pembuatan ponton dari bengkel, maka selanjutnya
ponton dibawa ke pihak pemesan untuk di cat sesuai keinginan pemesan.
Pengecatan ponton meliputi 3 tahap, yaitu lapisan resin (cat anti karat),
pelapisan fiberglass, dan pemberian pigmen
warna kuning.
Pada proses fiberisasi, bahan terbuat dari resin (157) /
Trek BQTN, yang kemudian bahan tersebut kita catkan ke ponton. Setelah itu
ponton dilapisi serat met dan dilapisi oleh resin lagi. Untuk mengeraskan hasil
fiber resin dicampur katalis dengan perbandingan 1 liter resin : 10 cc katalis.
Untuk satu unit ponton menghabiskan 30 Kg resin dan 20 Kg serat met (fiber)
lihat lampiran 24
Tali Utama
Tali utama menghubungkan antara adaptor
dengan rangkaian pemberat, tersusun dari tali Polyethylene (PE), engsel
(swivel). Tali PE yang digunakan menggunakan berdiameter 20mm (berat tali tiap
rolnya 54 kg/150 m) gambar pada lampiran 25. Fungsi dari tali utama inai adalag
sebagai penghubung antara pelampung, pemberat dan atraktor. Pada tiap ikatan
simpul diberi komponen tambahan berupa sayatan ban dalam sebagai pelapis dan
penahan ikatan simpul agar tetap kuat dan tahan terhadap gesekan. Pada beberapa
meter tali diberi ban dan swivel, hal ini berguna untuk menahan ketegangan dari
tali dan agar tali tidak terbelit-belit bila terjadi perubahan posisi pada pelampung
akibat hantaman gelombang dan arus. Adaptor berfungsi untuk meredam hentakan
ponton terhadap rangkaian komponen rumpon yang ada di bawahnya, akibat pengaruh
angin, gelombang, arus laut dan juga penahan hentakan yang ditimbulkan oleh
rangkaian rumpon lainnya terhadap tali utama. Adaptor tersusun dari:
Engsel,
berfungsi sebagai sendi pada rangkaian rumpon yang terbuat dari besi as baja
dan diberi bingkai plat besi dengan bentuk sedemikian rupa sehingga engsel
dapat mengikuti (menyesuaikan) gerak ponton (berputar 360o horizontal dan dapat
mengikuti gerak berayun) yang timbul akibat pengaruh ombak, angin, gelombang
dan arus laut.
Hill ban,
terbuat dari lingkaran pinggir ban mobil yang sifatnya elastis dan kuat serta
dapat meredam hentakan.
Tali polyethylene di pilih sebagai bahan komponen tali utama rumpon, karena beberapa kelebihannya antara lain:
Memiliki
daya elastisitas tinggi
Relatif
mudah diperoleh di pasaran
Harganya
relatif murah
Kuat dan
tahan terhadap pembusukan
Mempunyai
daya tahan putus yang kuat
Tidak
hidroskopis (tidak menyerap air)
Serat-seratnya
tidak tertupus.
Tabel : Daya Tahan
Putus Beberapa Jenis Tali
Sumber : BBPPI Semarang (1996)
Catatan
Mengingat beberapa pabrik tali memiliki standart mutu
yang berbeda-beda, maka nilai daya tahan putus pada tabel tersebut diatas sebaiknya
(sebagai faktor pengaman) dikurangi 15-20 %.
Disamping memiliki kelebihan, tali polyethylene mempunyai
kelemahan, antara lain tidak tahan terhadap gesekan dan pintalannya mudah
terurai. Untuk menghindari tali tersebut terurai, maka tali polyethylene
dirangkap dua, kemudian untuk menghidari terputusnya tali akibat bergesekan
dengan tubir karang, maka pada kira-kira
separuh panjang tali utama diberi batang besi.
Guna menjaga agar tali tidak mudah rusak atau putus
(dikaitkan dan dipotong orang, digigit hewan air, putus akibat gesekan dengan
jaring ataupun karena hentakan ombak dan angin), maka rancangan tali jangkar
yang baik dari rangkaian bahan yang bervariasi menurut posisi dan fungsinya,
yaitu (susunan dan pangkal atas ke bawah) :
Hill ban
(sayatan ban di ponton)
Tali
Polyethylene Ø 20 mm, panjang 1050 meter (1.5 kali kedalaman laut) perangkat
penyambung dan penghubung antar bagian tali, seperti engsel (swivel) dan
pemberat semen cor.
Sedangkan kabel kawat baja bagian bawah
berguna untuk menahan gesekan dengan dasar perairan yang keras terutama untuk
perairan yang dasar perairannya tidak rata (terjal dan curam).
Pada beberapa sambungan tali pemberat bagian pangkal atas
dilengkapi dengan sayatan lingkaran dalam ban bekas (hill ban) yang berfungsi
sebagai pegas guna mereda hentakan pada tali pemberat akibat adanya gelombang
dari angin yang kuat. Pada pemberat ban semen cor berfungsi sebagai tempat
mengikat / menggantungkan atraktor. Disamping itu, pada beberapa sambungan
dilengkapi segel (asckle) dan swivel.
Atraktor / Pemikat
Pada prinsipnya atraktor berfungsi sebagai pemikat agar
ikan berkumpul di sekitar rumpon dan sebagai tempat berlindung bagi ikan-ikan
kecil. Untuk itu, rancang bangun atraktor sebaiknya dibuat sedemikian rupa agar
ikan-ikan kecil mudah berlindung dari serangan ikan pemangsa.
Pada umumnya nelayan menggunakan pelepah daun kelapa yang
dibelah dua dan sedikit diperhalus sebagai atraktor. Sebenarnya tidak hanya
menggunakan pelepah kelapa, bahkan sebaiknya menggunakan bahan lain yang lebih
awet, antara lain: anyaman bamboo, ban sepeda yang dikombinasikan dengan pita
plastic dan tali (rafia) serta jaring bekas. Letak pengikatan atraktor adalah
pada jarak 3 – 5 meter di bawah permukaan air, panjang rangkaian atraktor
berkisar antara 75 m.
Penggantungan
/ pemasangan atraktor digunakan tali PE Ø 16 mm, panjang 40 meter (dirangkap
dua) dibagi 2 bagian. Bahan menggunaka pita plastik warna hijau-kuning yang di
rumbai-rumbai menyerupai daun kelapa, pada tali utama ujung bawah tali atraktor
diberi 2 pemberat atraktor dari kaleng berdiameter 16 cm dengan berat
masing-masing 5 kg (lampiran 26), juga diberi setengah lingkaran ban di atas
kaleng cor untuk mengikatkan pada tali. Untuk bagian atas, atraktor tali
diikatkan pada engsel yang menempel pada ujung ponton. Gambar atraktor bisa
dilihat pada lampiran 26.
Pemberat
Peranan pemberat pada unit rumpon adalah agar menjadikan
posisi rumpon tidak berubah / bergeser meskipun mendapatkan dorongan arus
ataupun hempasan angin dan gelombang laut maupun vandalisme. Untuk itu pemberat
seharusnya mempunyai berat yang cukup serta daya cengkeram yang kuat.
Pembuatan pemberat dilakukan dengan cara sebagai berikut
: kawat besi ukuran 8 gim sepanjang 95 cm dibentuk balok sepanjang 3 cm
sebanyak 3 buah disusun sejajar, dimana diantaranya dipang sayatan ban bekas.
Setelah fondasi selesai, lalu diberi campuran semen cor yang terdiri dari pasir
17 kg, batu kecil / koral 12 kg dan semen 3 sak (bahan campuran ini digunakan
untuk membuat 12 balok semen cor). Pencampuran ini dilakukan di dalam balok
yang terbuat dari cetakan kayu dibagi tiga lalu dibentuk balok. Setelah itu,
dilakukan penjemuran di bawah terik matahari sampai kering.
Sebagai pedoman, berat jangkar pemberat yang digunakan
minimal 2 kali gaya-gaya yang diterima pada tali, palampung dan atraktor.
Mengingat jumlah pemberat yang digunakan mencapai ratusan bahkan ribuan
kilogram, maka guna mempermudah perakitan maupun penerjunan, sebaliknya
pemberat rumpon dirancang dari beberapa balok semen (beton cor) yang
masing-masing berukuran (panjang x lebar x tinggi) = 100 cm x 15 cm x 15 cm
seberat 75 kg per balok, bisa dilihat pada (lampiran 27), ditambah satu unit
jangkar (lampiran 28). Jumlah balok pemberat disesuaikan dengan panjang tali
pemberat yang digunakan. Pada bagian atas balok cor semen diberi setengah
lingkaran ban yang menyatu dengan cor semen yang berfungsi sebagai tempat
mengikat tali.
Peranan pemberat pada kontruksi rumpon adalah agar
menjadikan posisi rumpon tidak berubah atau bergeser meskipun mendapatkan
dorongan arus dan gelombang laut.
Balok semen cor tersebut berjumlah 8 buah tiap rumpon,
sehingga kapal membawa 2 unit rumpon dengan 16 pemberat yang mana setiap rumpon
terdiri 8 balok disimpulkan tali dan
disatukan dengan satu simpul. Penyatuan balok-balok ini dilakukan di atas
kapal.
5.5 Survey
Perairan untuk Penerjunan Rumpon
Sebelum melabuhkan rumpon, terlebih dahulu dilakukan
survei perairan untuk memperoleh masukan dan bahan pertimbangan dalam
menentukan lokasi yang sesuai untuk menerjunkan rumpon. Survei perairan di
sepanjang landas kontinen Samudera Hindia menggunakan sejumlah peralatan, antara
lain:
Sebelum
melabuhkan rumpon, terlebih dahulu dilakukan survey perairan untuk memperoleh
masukan dan bahan pertimbangan dalam menentukan lokasi yang sesuai untuk
menerjunkan rumpon. survey perairan di sepanjang landas kontinen Samudera
Hindia menggunakan sejumlah peralatan, antara lain:
Penentuan
posisi kapal dan kedudukan rumpon menggunakan GPS (Global Positioning System)
(Lampiran 29)
Arah haluan,
baringan kapal terhadap benda-benda daratan dilakukan dengan kompas tangan.
Hasil survei menunjukkan bahwa penempatan rumpon
sebaiknya pada perairan landas kontinen berkisar 10 mil hingga 20 mil dari
garis pantai, karena kedalaman perairan pada jarak lebih dari 5 mil diluar
garis pantai cenderung berubah tajam memasuki lereng kontinen. Penempatan rumpon
pada lereng kontinen sangat riskan bagi rumpon karena beberapa hal, antara
lain:
Jangkar
rumpon dapat tergelincir (sliding) ke dasar perairan yang lebih dalam.
Tali utama
dapat bergesekan langsung dengan tubir karang
Hempasan
gelombang pada lereng kontinen lebih besar dibandingkan pada landas kontinen
5.6 Tehnik
Pemasangan Rumpon
Pelaksanaan pemasangan atau penerjunan rumpon sebaiknya
dilakukan pada pagi hari atau sore hari, sebab pada saat itu kondisi laut
umumnya dalam keadaan tenang. Setelah lokasi peletakan rumpon ditentukan, rtumpon yang siap diturunkan siap
dilepaskan. Komponen utama rumpon yaitu pelampung, tali utama, atraktor, dan
pemberat saling berdekatan. Pertama yang diturunkan adalah pelampung, dan
atraktor yang dikaitkan pada ujung ponton, pelampung dibiarkan mengikuti arus
setelah terlebih dahulu diikatkan pada tali utama.selanjutnya tali yang telah
dirangkai didarat diikat pada pelampung juga pada swivel. Pemberat diikatkan
pada rangkaian setelah semua selesai, pemberat utama diikat pada tali utama
yang selanjutnya akan diturunkan sampai dasar, sedangkan pemberat atraktor
diikatkan pada tali atraktor bersama ponton yang sudah diikat dengan atraktor.
Proses tali-temali dilakukan di darat, sehingga di laut
hanya merangkai komponen rumpon yang
siap dilepas di laut. Setelah pelampung diturunkan, tali utama diturunkan
secara perlahan yang kemudian diikuti dengan penurunan tali atraktor, panjang
tali utama dibuat melebihi kedalaman perairan, yaitu 1,5 kedalaman. Pada
Praktek Kerja Lapang ini tali yang digunakan 1050 meter dengan kedalaman
perairan 700 meter.
5.7 Kerusakan
Rumpon
Dalam merancang pembuatan dan pemasangan rumpon yang
perlu diperhatikan adalah faktor-faktor yang menyebabkan rumpon tersebut rusak
atau hilang. Hasil penelitian Shoimura, R.S. dan Matsomo, W.M. (1982) tentang
berbagai faktor penyebab kerusakan terhadap rumpon yang dipasang di lautan
Pasifik dan Hindia dapat dilihat pada Tabel
berikut ini:
Tabel : Faktor-faktor penyebab kerusakan rumpon
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Departement of
land and Natural Resources State of Hawaii (1980) dalam Sjarif, et. al. (1998)
bahwa 60% dari rumpon dalam percobaan yang dilakukan di Hawai hilang, sebagaian
besar (37 unit) diantaranya disebabkan karena tali utamanya putus, 2 unit rusak
oleh vandalism (dirusak orang). Dari pengamatan tersebut, dikatakan bahwa umur
rata-rata rumpon adalah 9 bulan (berkisar antara 2 – 18 bulan).
Menurut Bergstorm (1983) dari hasil pertemuan tentang
rumpon di Hawaii pada tahun 1980, dikumpulkan bahwa kerusakan rumpon pada
umumnya terjadi karena berbagai sebab, antara lain:
Segel yang
rusak.
Anyaman
sambungan tali (rope splicing) terlepas akibat bahan tali yang licin. Baut pada
klem tali baja (cable grip) terlepas atau kendor.
Terjadi elektrolisa
(galvanic action) antara logam komponen rumpon dalam medium air laut.
Tali
terputus terpotong oleh baling-baling kapal yang lewat di sekitar perairan.
Tali utama
menggesek dasar perairan.
Pelampung
(ponton) terbenam di bawah permukaan air laut.
Pelampung
(ponton) tertabrak oleh kapal.
Vandalisme
(dirusak oleh orang-orang tak bertanggung jawab).
Untuk rumpon-rumpon yang dipasang di perairan Indonesia,
masih jarang informasi ataupun hasil penelitian tentang faktor-faktor yang
menyebabkan rusak atau hilangnya rumpon-rumpon tersebut. Berdasarkan pengamatan
dan pengalaman, faktor-faktor berikut ini dapat dijadikan perhatian guna
mencegah rusak atau hilangnya rumpon adalah sebagai berikut :
Faktor rusak / bocornya pelampung
Pelampung yang terbuat dari besi plat (tebal minimal
5mm), sewaktu pembuatannya harus betul-betul kedap air (agar tidak bocor), untuk
mengetahui dan mencegahnya dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
pertama, setelah pelampung selesai dibuat, pasang pentil ban sepeda motor pada
dinding bagian atas pelampung, kemudian masukkan udara (dipompa), kemudian
periksa kebocoran dengan busa sabun yang dioleskan pada bagian yang dilas pada
pelampung tersebut. Kedua, bila sudah yakin tidak ada kebocoran, sebagai
pengamanan akan terjadinya retak pada sisi-sisi yang dilas, masukkan aspal
panas cair pada pelampung tersebut sebanyak + 10 liter, dengan cara membuat
lubang pada bagian atas pelampung lalu ditutup (dilas) lagi.
Baik untuk pelampung yang terbuat dari drum maupun besi
plat, pada bagian luarnya dililitkan sayatan ban luar sepeda / mobil. Hal ini
berguna untuk meredam / melindungi pelampung dari benturan benda keras.
Faktor penyebab putusnya tali jangkar atau bergeser
laratnya rumpon
Salah satu penyebab putusnya tali jangkar atau hilangnya
rumpon adalah akibat adanya tahanan yang timbul (akibat arus, angin dan
gelombang laut) terhadap komponen rumpon yang lebih besar daripada tali jangkar
rumpon. Tahanan yang paling besar adalah tahanan arus laut terhadap tali
jangkar dan atraktor. Akibat tahanan arus tersebut, bila jangkar tidak mampu
menahannya maka rumpon akan hilang terbawa / terseret arus laut. Selain tahanan
akibat arus laut, tahanan yang disebabkan adanya hembusan angin terhadap
bagian-bagian rumpon yang berbeda diatas permukaan laut. Namun mengingat
penampang bagian-bagian tersebut luasnya relatif kecil, maka nilai tahanannya dapat
diabaikan.
Sebagai faktor pengaman, sebaiknya daya tahan putus tali
jangkar adalah 2 kali nilai tahanan komponen-komponen rumpon yang ada di bawah
permukaan air laut. Demikian juga jumlah pemberat (selain jangkar) yang
digunakan / dipasang adalah 2 kali besarnya jumlah tahanan yang dimaksud. Hal
lain yang mengakibatkan putusnya tali jangkar adalah faktor keausan pada
sambungan-sambungan tali jangkar akibat goncangan dari arus, angin dan
gelombang laut.
Salah satu rekayasa untuk menghambat proses keausan pada
sambungan-sambungan tersebut adalah dengan cara membuat tempat gantungan, tali
jangkar yang menempel pada bagian bawah / tunas pelampung (clead / welded)
dirancang agar berfungsi seperti engsel pintu yang dapat bergerak kearah
manapun yang juga berfungsi sebagai swivel. Selain itu, pada
sambungan-sambungan dibawahnya (sambungan antara labrang / sling dengan tali
polyethylene) khususnya pada timbel diberi bantalan dan as, sehingga labrang /
sling dan tali polyethylene benar-benar terlindungi dari proses keausan.
Hasil Perhitungan Konstruksi
Maka perhitungan yang didapatkan :
Diketahui : D1 : Ø 10 cm
D2
: Ø 60 cm
l
kerucut : 40 cm
h
tabung : 210 cm
a. Luas Ponton
Luas kerucut : 3,14 r1 (r1 + l) + 3,14 r2 (r2 + l)
3,14
x 0,05 (0,05 + 0,4) + 3,14 x 0,3 (0,3 + 0,4)
0,0706
+ 0,6594
0,73
m2
Luas tabung : 2 x 3,14x r (r + h)
2
x 3,14 x 0,3 (0,3 + 2,1)
1,18692
m2
Luas Total : 0,73 + 1,18692 = 1,916 m2
Kedalaman laut 700 m, tali yang digunakan memiliki
panjang 1,5 x 700 m yaitu 1050 m, dengan moncong ponton (pelampung) berbentuk
kerucut dengan luas penampang ponton 1,916 m2, bagian pontoon yang terendam air
laut 1/3 bagian.
Secara teoritis besarnya pengaru arus laut dapat
diketahui melalui pendekatan rumus hidrodinamika, sedangkan pengaruh hembusan
angin dapat diketahui dengan pendekatan formula aerodinamika yaitu :
R = Cd x 0,5 x p x
d x l x v2 dimana,
R = Tahanan
arus laut yang menimpa tali jangkar
Cd = Coefisien
of drag tali jangkar (tergantung besarnya sudut yang
dibentuk oleh
tali jangkar dan arah arus laut, untuk tali jangkar yang
memiliki panjang
1,5 x kedalaman laut, nilai Cd = 0,56 – 0,60)
p = Densitas
air laut (105 Kg det2/m4)
d = Diameter
tali jangkar (m)
l = Panjang
tali jangkar (m)
v = Kecepatan
arus laut (laut bebas 0,75 m/det, selat 1,0 m/det)
Sedangkan besarnya tahanan akibat pengaruh hembusan angin
dapat diketahui dengan pendekatan :
Rw = Cw x Aw x 0,5 x p x v2 dimana,
Rw = Tahanan
angin terhadap pontoon Kgf)
Cw = Koefisien
tahanan angin terhadap ponton (Cw-2)
Av = Luas
penampang frontal ponton yang terdorong angin (M2)
p = Densitas
massa udara (0,125 Kgf)
v = Kecepatan
angin (Angin kencang = 13,9 – 17,1 m/det)
a. Tahanan arus
terhadap tali jangkar rumpon (Rcr)
Rcr
: cd x 0,5 x p x v2 x l x d
0,6
x 0,5 x 105 x (0,75)2 x 1050 x 0,02
372,09
Kgf
b. Tahanan arus
laut terhadap ponton rumpon (Rcp)
Nilai
cd lihat tabel koefisien
Rcp
: cd x 1/3 A x 0,5 x p x v2
2
x 1/3(1,916) x 0,5 x 105 x (0,75)2
37,
720 Kgf
c. Tahanan
angin terhadap ponton rumpon (Rw)
Rw
: cd x 2/3 A x 0,5 x p x v2
2
x 2/3 (1,916) x 0,5 x 0,125 x (17,1)2
46,688
Kgf
Sedangkan atraktor rumpon diasumsikan memiliki penampang
yang terkena tahana arus sebesar 1/3 bagian dari tali jangkar, jadi
diperkirakan besarnya tahanan arus laut terhadap atraktor rumpon (Rca) = 1/3 x
372,09 Kgf = 124,02 Kgf.
Nilai total tahanan arus laut dan angin terhadap unit
rumpon berdasar perhitungan sebesar (R total) = (372,09 + 37,720 + 46,688 +
124,02) = 580,518 Kgf.
Jadi tali jangkar rumpon memiliki daya tahan putus
minimal 2 x 580,518 Kgf = 1161,036 Kgf. Bila menggunakan PE maka yang dipilih
bukan PE diameter 20 mm, tapi cukup dengan tali PE diameter 12 mm yang memiliki
daya tahan putus 1450 – (1450 x 15 %) = 1232,5 Kgf.
Adapun pemberat yang digunakan minimal memiliki berat
dalam air 1,5 x 580,518 Kgf = 870,777 Kgf.
Untuk mengetahui berat pemberat dalam air digunakan rumus
:
Gw : Ga (1 – dw /
ds) atau Ga = Gw / (1 – dw/ds)
dimana,
Gw = Berat benda
di dalam air (Kgf)
Ga = Berat benda
di udara (Kgf)
dw = Massa jenis
air laut (1,025)
ds = Massa jenis
pemberat (dalam hal ini beton cor 2,5)
Ga = Gw / (1 – dw/ds)
Ga = 870,777 / (1 –
1,025/2,5) = 1475,89 Kgf
Maka pemberat rumpon minimal memiliki berat di udara
1475,89 Kgf
Penulis
Dr. Ir. Gatut Bntoro, M.Sc
Ir. Sukandar MP, dan Fuad, MT
Agrobisnis Perikanan, FPIK
Publisher
Gery Purnomo Aji Sutrisno
Fpik Universitas Brawijaya Angkatan 2015
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 1975. Standard Statistik Perikanan. Buku I.
Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Anonymous. 2002. Profil Departemen Kelautan Dan Perikanan
Republik Indonesia. Departemen
Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Ayodhyoa. 1976. Teknik Penangkapan Ikan. Bagian Teknik
Penangkapan Ikan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Ayodhyoa. 1981. Metode Penangkapan. Yayasan Dewi Sri.
Bogor.
Damanhuri. 1980. Diktat Fishing Ground. Bagian Teknik
Penangkapan Ikan. Fakultas Perikanan
Universitas Brawijaya. Malang.
Effendi, M.I. 1979. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka
Tama. Yogyakarta.
Fridman, A.L. 1969. Theory And Design Of Commercial
Fishing Gear. Israel Program For Scientific Translation. Jerusalem.
Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan Dalam Hubungannya
Dengan Alat, Metoda Dan Taktik Penangkapan. Fakultas Perikanan Institut
Pertanian Bogor.
Hidayat, S. dan Sedarmayanti. 2002. Metodologi Penelitian.
Mandar Maju. Bandung.
Laevastu, T. and I. Hella. 1970. Fisheries Oceanography.
Fishing News (Books) Ltd. London.
Laevastu, T. and M.L. Hayes. 1991. Fisheries Oceanography
and Ecology. Fishing News. Farnham.
Muhammad, S. 1991. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian dan
Rancangan Percobaan. Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya. Malang.
Mitsugi, S. 1974. Fish Lamps. Japanese Fishing Gear and
Methods Textbook for Marine Fisheries Research Course. Japan.
Nedelec, C. 2000. Definisi Dan Klasifikasi Alat Tangkap
Ikan. Published by Arrangement with the Food and Agriculture Organization of
The United Nation. Diterjemahkan oleh Bagian Proyek Pengembangan Teknik
Penangkapan Ikan Semarang. Balai Pengembangan Penangkapan Ikan. Semarang.
PROPAGASI
A. Latihan dan
Diskusi
1. Mengapa
purse seine di Laut Jawa dan Selat Madura dapat menangkap jenis ikan-ikan
dasar?
2. Mengapa
penarikan tali kolor harus berlangsung cepat?
B. Pertanyaan
(Evaluasi mandiri)
1. What is the
function of fish finder?
2. Where was
purse seine introduced first time in Indonesia?
3. What does it
mean by potential energy?
4. How
important is the purse line?
5. What kind
of fish is ussually caught by purse seine?
C. QUIZ
-mutiple choice (Evaluasi)
D. PROYEK
(menghitung volume area perairan yang dilingkari purse seine)
Post a Comment for "Alat Bantu Penangkapan Ikan (Metode Penangkapan Ikan (MPI))"