Ikan Coelacanth Mulanya dipercaya hanya
sebagai ikan purba yang hidup pada kala Devonian (sekitar 400 juta tahun lalu)
atau lebih tua dari Dinosaurus yang muncul di bumi pada kala Triassic (sekitar
200 juta tahun lalu). Diperkirakan ikan coelacanth ini punah sekitar 80 juta
tahun lalu. Ini diketahui dari jejak hidupnya yang terekam berupa fossil-fossil
purba. Ada beberapa ciri morfologi yang sangat unik pada ikan purba ini, tetapi
yang sangat mudah dikenali yakni bentuk siripnya yang tebal berotot dan sirip
ekornya dengan tambahan ekor kecil di bagian belakang. Para ahli menduga ikan
ini merupakan bentuk transisi evolusi ke hewan tetrapod (berkaki empat) seperti
pada amfibia. Karena itu ikan ini pun dikenal dengan julukan the old
four legs (si tua berkaki empat). Tahun 1938 dunia tiba-tiba
digemparkan dengan ditemukannya seekor ikan coelacanth yang ternyata hidup di
perairan Afrika Selatan, di lepas pantai Sungai Chalumna. Ikan yang dipandang
sebagai fossil hidup ini akhirnya dinamai Latimeria chalumnae,
sebagai penghargaan pada penemunya Marjorie Courtenay-Latimer dan lokasi
ditemukannya. Ciri-ciri utamanya masih mempertahankan ciri-ciri ikan coelacanth
purba yang dianggap telah punah puluhan juta tahun silam. Setelah itu gencar
dilakukan pencarian ikan ini, dan ternyata memang kemudian ditemukan lagi
beberapa ekor, dengan pusat konsentrasi di perairan Afrika Timur seperti di
Kepulauan Komoro, Madagaskar, Tanzania, Kenya dan Zanzibar.
Tahun 1998 dunia ilmu pengetahuan sekali
lagi dihebohkan dengan ditemukannya ikan coelacanth di perairan Sulawesi Utara,
di lokasi yang sangat jauh dari perairan Afrika Timur, yang terpisah jarak
sekitar 10.000 km. Kisah penemuan ikan coelacanth Sulawesi itu juga amat
dramatis. Bermula dari pengalaman Dr. Mark Erdman tahun 1997, yang ketika itu
baru saja menyelesaikan studi doktoralnya dari University of California
Berkeley, dengan melakukan penelitian ekologi terumbu karang di
Sulawesi Utara. Setelah menikah ia mengajak istrinya, Arnaz Mehta, berbulan
madu ke Manado. Ketika disana mereka berjalan-jalan masuk ke pasar mereka
jumpai ada ikan berukuran besar didorong di atas gerobak. Mark Erdman segera
menduga jangan-jangan ini adalah the old four legs yang diketahuinya
dari text book yang pernah dibacanya dalam pendidikan
menengahnya di Amerika. Ia sama sekali tak menduga bahwa ini sebenarnya adalah
temuan yang luar biasa penting. Ia segera meminjam kamera seorang kawan untuk
untuk memotret ikan itu yang dijual di pasar seharga Rp 25.000, dan
mewawancarai nelayan yang membawanya. Sayangnya ia tidak membeli ikan itu,
apalagi menyelamatkan dan mengawetkannya. Ketika ia kembali ke Amerika dan
memberitahu professornya, timbul penasaran luar biasa bahwa ini akan merupakan
temuan besar yang bisa menghebohkan dunia ilmu pengetahuan.
Mark Erdman kembali ke Manado dalam bulan
November 1997 untuk mulai memburu ikan ini. Selama sekitar lima bulan ia
mewawancarai lebih 200 orang nelayan di pantai Sulawesi Utara, tetapi sangat
sedikit nelayan yang tahu tentang jenis ikan itu. Akhirnya ia menjumpai seorang
nelayan yang mengatakan bahwa ia pernah menangkap ikan semacam itu, dan katanya
orang setempat menyebutnya ikan raja laut. Dengan memantau lebih cermat ikan
ikan yang didaratkan selama berbulan-bulan akhirnya harapannya terkabul.
Tanggal 10 Juli 1998, seorang nelayan yang dipanggil Om Lameh Sonathan,
menangkap seekor ikan raja laut ketika memasang jaring cucut pada kedalaman
sekitar 150 meter di dasar laut dekat Pulau Manado Tua, yang masih merupakan bagian
dari Taman Nasional Bunaken. Ikan raja laut itu dalam kondisi sekarat ketika
diserahkan ke Mark Erdman dan masih sempat difoto dalam keadaan berenang. Nyawa ikan itu akhirnya tak terselamatkan, tetapi jasadnya dapat
segera dibekukan, diawetkan dan kemudian diserahkan ke Museum Zoologi LIPI
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) di Cibinong. Ikan itu berukuran panjang
124 cm dengan bobot 29,2 kg.
Publikasi tentang temuan coelacanth
Sulawesi ini pertama kali dimuat dalam jurnal ilmiah Nature tanggal
24 September 1998, sebagai cover story. Pada saat yang hampir
bersamaan di Manado dipusatkan kegiatan Indonesia dalam peringatan International
Year of the Ocean 1998 (IYO 98) yang dicanangkan oleh
PBB/IOC-UNESCO. Kegiatan itu diresmikan oleh Presiden Habibie, dimana beliau
menandatangani piagam “The Ocean Charter” dan “Deklarasi Bunaken” yang
menyatakan pentingnya pembangunan kelautan Nusantara ke depan. Berita, poster
dan informasi tentang temuan besar ikan raja laut itu langsung dipamerkan dan
segera menjadi berita besar dunia yang diliput secara luas di berbagai media
termasuk CNN, ABC News, National Geographic.
Majalah Discover bahkan menempatkannya sebagai top science
stories of 1998.
Sejak itu banyak peneliti dunia dan
Indonesia berlomba untuk mengkaji ikan raja laut ini. Lebih 30 publikasi ilmiah
dihasilkan dari spesimen tunggal ini yang ditelaah dari berbagai aspeknya
termasuk hasil-hasil yang kontroversial. Tim peneliti gabungan Indonesia dan
Perancis akhirnya menobatkan nama ikan raja laut ini sebagai Latimeria
menadoensis, spesies baru bagi ilmu pengetahuan. Spesies baru ini berbeda
dengan yang ada di pantai Afrika Timur. Analisis DNA menunjukkan bahwa Latimeria
menadoensis ini dalam perkembangannya mulai memisahkan diri dari Latimeria
chalumnae sekitar 1,8 – 11,0 juta tahun silam.
Mengingat pentingnya temuan ini dan untuk
menjaga kelestariannya maka Pemerintah Indonesia segera mengeluarkan Keputusan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 055/Kpts- II/2000 tentang perlindungan
ikan coelacantah atau raja laut (Latimeria menadoensis) sebagai satwa
yang dilindungi. Oleh IUCN (International Union for the Coservation of
Nature) spesies ini telah masuk Red-list of Threatened
Species dalam status vulnerable (rentan punah),
sedangkan oleh CITES (Convention of International Trade of Endangered
Species) dimasukkan dalam Appendix 1, yang berarti tidak boleh
diperdagangkan.
Bagaimana sebenarnya kehidupan sang raja
laut ini dalam habitatnya yang asli di dalam laut masih merupakan misteri.
Upaya untuk merekam kehidupannya mendapat perhatian besar antara lain dari Dr.
Hans Fricke (dari Max Planck Institute, Jerman) yang berpengalaman
membuat film kehidupan ikan-ikan coelacanth di Komoro, pantai selatan Afrika
Timur. Ia dengan tim risetnya datang membawa submersible (kapal
selam mini) bernama Jago, ke perairan Sulawesi Utara pada bulan
November 1999 . Kapal selam mini ini berukuran panjang 3,2 m, lebar
2,0 m, dan tinggi 2,5 m dengan bobot 3,033 kg. Kedalaman operasionalnya bisa
sampai sekitar 400 m. Kapal selam Jago ini hanya bisa
menampung dua orang yakni seorang pilot dan seorang ilmuwan. Dalam operasinya
di Laut Sulawesi, Jago menginduk ke kapal riset Baruna
Jaya VIII (dioperasikan oleh LIPI) yang berfungsi sebagai platform pendukung
di permukaan. Tetapi Jago dapat bergerak bebas dalam laut
karena tak ada hubungan fisik atau kabel antara kapal selam ini dengan kapal
pendukungnya di permukaan.
Penyelaman-penyelaman dengan Jago dilaksanakan
dengan menjelajahi dasar laut sampai kedalaman sekitar 400-an meter, mulai dari
perairan pantai utara Sulawesi sampai ke Pulau-Pulau Sangihe dan Teluk Tomini.
Dr. Kasim Moosa, peneliti dari LIPI, ikut serta menyelam dengan Jago dalam
misi pencarian raja laut itu. Ratusan kali Jago menyelam namun
sang raja laut tidak juga dijumpai. Tetapi berbagai jenis mahluk hidup lainnya
dapat terekam. Hampir saja misi yang mahal ini gagal, dan mereka sudah
siap-siap pulang kecewa dengan tangan hampa. Dalam perjalanan kembali ke
Jakarta, rasa penasaran belum juga pupus, dan karenanya mereka melakukan
penyelaman yang terakhir kali. Kegembiraan meledak karena penyelaman Jago yang
terakhir ini baru berhasil menemukan dan merekam dua ekor ikan coelacanth
berukuran antara 120-140 cm, pada kedalaman 155 m. Suhu air pada kedalaman itu
berkisar 17,8-20,1 oC. Ikan raja laut alias coelacanth itu ternyata hidup di
gua-gua bawah laut. Ketika Jago diangkat kembali ke geladak
kapal Baruna Jaya VIII , semua bersorak gembira, bahwa pada
akhirnya sang raja laut dapat dipastikan keberadaannya dan direkam dengan
video.
Tujuh tahun kemudian, Aquamarine Fukushima
dari Jepang, juga berniat untuk memburu sang raja laut ini. Bulan Maret-Juni
2006 mereka datangkan timnya bekerjasama dengan LIPI. Tetapi mereka tidak
membawa submersible berawak seperti yang dari Jerman,
melainkan dengan membawa ROV (Remotely Operated Vehicle) yang merupakan
robot laut yang dilengkapi kamera untuk laut-dalam. ROV itu berukuran kecil,
bisa dioperasikan dari perahu nelayan. ROV yang diturunkan ke dalam laut,
dihubungkan dengan kabel ke alat kontrol yang ada di atas perahu atau kapal.
Operator ROV di perahu atau kapal mengendalikan jalannya ROV dengan
menggunakan joy-stick sambil mengamati monitor komputer di
hadapannya, jadi seperti bermain computer game saja.
Berhari-hari ROV ini menjelajahi dasar dan gua-gua laut dalam di Laut Sulawesi,
dari 11 Maret hingga 4 Juni 2006. Akhirnya, ROV ini berhasil beberapa kali
menjumpai dan merekam dengan video kehadiran sang raja laut di lingkungannya
yang asli pada kedalaman sekitar 150 meter. Perjumpaan ini sontak menjadi
berita dunia, dan hasil rekamannya bisa segera disaksikan orang sejagat lewat
saluran Youtube.
Pagi hari tanggal 19 Mei 2007, kejutan
terjadi lagi. Seekor coelacanth tertangkap dengan pancing secara tak sengaja
oleh dua orang nelayan, Justinus Lahama dan anaknya Delvi Lahama, di dekat
pantai Malalayang, Manado. Mereka baru beberapa menit menurunkan pancingnya
pada kedalaman 70-100 m saat tali pancingnya bergetar dan terasa berat.
Ternyata itu adalah coelacanth, si raja laut, yang berukuran panjang 130 cm.
Ketika baru ditangkap, ikan itu masih hidup, dan diupayakan untuk dipelihara,
namun nasibnya tak beruntung. Larut malam ikan itu mati, mungkin karena luka,
mengalami stress, serta kondisi lingkungan yang tidak sesuai.
Mengejutkan juga, bahwa setelah ikan itu dibedah, ternyata ia sedang mengandung
telur. Di dalam perutnya ditemukan 25 butir telur berukuran relatif besar.
Pada tanggal 23 November 2008, sekali lagi
terjadi kejutan dengan ditemukanya seekor coelacanth oleh nelayan di pantai
Talise, Sulawesi Utara, dengan panjang 110 cm dan berat 20 kg. Ikan ini semakin
menarik perhatian dan menjadi maskot untuk Konferensi Kelautan Dunia (World
Ocean Conference) yang diadakan di Manado pada bulan Mei 2009, yang
dihadiri oleh enam kepala negara.
Pada bulan September-Oktober 2009
Aquamarine Fukushima berhasil lagi merekam dengan ROV ikan coelacanth di
perairan Talise, dekat Manado. Bahkan di suatu gua bawah laut, ditemukan sampai
enam individu hidup berkelompok. Di samping itu juga dapat terekam anakan (juvenile)
ikan coelacanth.
Ternyata ikan coelacanth ini tidak saja
ditemui di perairan Sulawesi Utara. Tim Aquamarine Fukushima (pimpinan Iwata
Masamitsu) bekerjasama dengan LIPI (Lembaga Ilmu Penetahuan Indonesia) pada
bulan November 2010 berhasil menemukan dengan merekam dua ekor ikan purba ini
di perairan sebelah tenggara Pulau Biak, Papua.
Perkembangan lebih mutakhir, tanggal 5
November 2014 tertangkap lagi seekor coelacanth oleh nelayan dari sekitar Pulau
Gangga, Sulawesi Utara. Ini merupakan ikan coelacanth yang ketujuh yang
tertangkap di Indonesia (tempo.co, 15 November 2014).
Dr. Kasim Moosa, peneliti LIPI yang banyak
terlibat dengan penelitian coelacanth, yang juga ikut baik dalam penyelaman
dengan submersible Jago, maupun dengan operasi ROV, berspekulasi
jangan-jangan ikan coelacanth juga terdapat di perairan lain di Nusantara,
tetapi tentunya itu belum dapat dipastikan sampai wujud ikan purba itu
benar-benar dapat ditangkap atau terekam sebagai barang bukti yang autentik.
DAFTAR PUSTAKA
Erdman, M. V. 1999. An account of the
first living coelacanth known to scientists from Indonesian waters. Environmental
Biology of Fishes 54: 439-443.
Erdmann, M.V, R. Caldwell & M.K.
Moosa. 1998. Indonesian ‘king of the sea’ discovered. Nature 395:
335.
Erdmann, M.V., R.L. Caldwell, S.L Jewett
& A. Tjakrawidjaja. 1999. The second recorded living coelacanth from north
Sulawesi. Env. Biol. Fish. 54: 445–451.
Fricke, H., Hissmann, K., Schauer, J.,
Erdmann, M., Moosa, M.K. and Plante, R. (2000). Biogeography of
coelacanths. Nature 403, 38.
Nusantara News 16 November 2010.
Aquamarine Fukushima dan LIPI berhasil temukan 2 ikan coelacanth di Pulau Biak.
http://lipi.go.id/berita.
Pouyaud, I., S. Wirjoatmodjo, I.
Rahmatika, A. Tjakrawidjaja, R. Hadiaty & W. Hadie. 1999. Une nouvelle
espece de coelacanthe preuves genetiques et morphologiques. Life Sciences 322
(4): 261-267.
Post a Comment for "Ikan Purba Coelacanth"