Kerang mutiara
(Pinctada maxima) merupakan salah satu komoditas perikanan penting yang
memiliki nilai ekonomis tinggi dan menjadi andalan usaha budidaya di Indonesia.
Hal ini didukung oleh perairan nusantara yang berpotensi dalam pengembangan
usaha budidaya kerang mutiara. Teknik budidaya kerang mutiara pada mulanya
dikuasai oleh tenaga asing (Jepang) khusus untuk hatchery dan operasi
penyuntikan. Namun seiring dengan perkembangan teknologi bidang kelautan, maka
pada dekade tahun 1980an telah terjadi alih teknologi dari tenaga asing ke
tenaga kerja Indonesia (Hamzah, 2008a; Hamzah dan Setyono, 2010). Dewasa ini
usaha budidaya kerang mutiara semakin meningkat, seiring dengan permintaan
butiran mutiara baik pasar domestik maupun mancanegara. Namun para pengusaha
terutama skala industri sering mengalami kendala dalam penyedian induk alam
yang matang gonad. Penyebab utama kekurangan induk matang gonad adalah
kompetisi antar nelayan penyelam yang menjual kulit cangkang untuk industri
kerajinan perhiasan dan penyedian induk untuk perusahaan budidaya kerang
mutiara.
Budidaya
kerang mutiara (P. maxima) sangat ditentukan oleh proses pembenihan, yang
dimana proses pembenihan sangat menentukan kualitas dan kuantitas kerang yang
akan dihasilkan. Pengaruh kualitas air menjadi faktor penentu bagi pertumbuhan
dan kelangsungan hidup larva. Salah satu parameter kualitas air adalah suhu
yang mempengaruhi laju metabolisme organisme akuatik khususnya kerang mutiara
(P. maxima). Keadaan ini diperkuat hasil penelitian Hamzah (2008b) yang
mengemukakan bahwa kematian massal anakan kerang mutiara rerata sebesar 68,57%
bersamaan dengan naiknya kondisi suhu harian dari level 29°C menjadi 31°C
dengan gradient 2°C di perairan Buton, Sulawesi Tenggara. Kemudian Hamzah
(2009) menyimpulkan bahwa kematian massal anakan kerang mutiara ukuran lebar
cangkang antara 3-4 cm yang terjadi di Laut adalah diduga kuat disebabkan oleh
perubahan kondisi suhu yang terjadi secara ekstrim pada periode waktu yang
singkat. Fase perkembangan stadia larva merupakan masa kritis yang dimana
pengaruh perubahan parameter lingkungan khususnya suhu yang tidak sesuai sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan
hidup larva sehingga dapat menyebabkan kematian (Doroudi dan Southgate, 1999;
Yukihira et al., 2000; Cataldo et al., 2005; Dove dan O’Connor, 2007).
Tiram
mutiara atau kerang mutiara (Pinctada maxima) merupakan salah satu sumber daya
laut yang berpotensi ekonomi tinggi tetapi persediaannya dari alam tidak
sebanding dengan pesatnya kebutuhan pasar untuk produk ini, sehingga populasi
tiram mutiara makin menipis dan harganya pun terus meningkat. Untuk
menanggulangi permasalahan tersebut dapat dilakukan dengan usaha budidaya dan
pemilihan lokasi yang tepat dengan didukung parameter hidrometeorologi yang
sesuai baku mutu untuk biota laut adalah satu faktor yang berpengaruh dalam
keberhasilan usaha budidaya. Usaha budidaya tiram mutiara merupakan salah satu
potensi perairan di Indonesia khususnya di wilayah Perairan Lombok. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menganalisis parameter hidrometeorologi (kecepatan
arus, suhu permukaan laut, dan salinitas) serta pengaruhnya terhadap daerah
potensial untuk budidaya tiram mutiara berdasarkan pola musiman di Perairan
Lombok, Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini memanfaatkan data citra satelit
pada bulan Januari 2006 hingga bulan Desember 2016. Metode yang digunakan yaitu
dengan mengklasifikasikan setiap parameter hidrometeorologi berdasarkan
scoring, kemudian masing-masing parameter di overlay sehingga akan didapatkan
skor tertinggi yang mengindikasikan daerah paling potensial untuk budidaya
tiram mutiara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum di Perairan
Lombok, Nusa Tenggara Barat termasuk sebagai lokasi yang potensial untuk
budidaya tiram mutiara. Parameter-parameter yang dijadikan acuan berada pada kisaran
baik untuk pertumbuhan dan perkembangan tiram Mutiara di Perairan Lombok, Nusa Tenggara
Barat.
KLASIFIKASI TIRAM
MUTIARA ATAU KERANG MUTIARA
Tiram
mutiara termasuk dalam phylum mollusca, phylum ini terdiri atas 6 klas yaitu: Monoplancohora,
Amphineura, Gastropoda, Lamellibrachiata, atau Pellecypoda, Seaphopoda, dan
Cephalopoda. Tiram merupakan hewan yang mempunyai cangkang yang sangat keras
dan tidak simetris. Hewan ini tidak bertulang belakang dan bertubuh lunak (Philum
mollusca).Klasifikasi tiram mutiara sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Sub
kingdom: Invertebrata
Philum
: Mollusca
Klas
: Pellecypoda
Ordo
: Anysomyaria
Famili
: Pteridae
Genus
: Pinctada
Spesies
: Pinctada maxima
Kingdom
|
:
Animalia
|
Superfilum
|
:
Eutrochozoa
|
Filum
|
: Mollusca
|
Subphylum
|
:
Conchifera
|
Kelas
|
: Bivalvia
|
Subclass
|
:
Metabranchia
|
Superorder
|
: Filibranchia
|
Order
|
:
Pterioida
|
Subordo
|
: Pteriina
|
Superfamili
|
:
Pterioidea
|
Family
|
: Pteriidae
|
Genus
|
: Pinctada
|
Spesies
|
: Pinctada maxima
|
Nama lokal
|
: Kerang
mutiara/ tiram mutiara
|
Jenis-jenis
tiram mutiara yang terdapat di Indonesia adalah Pinctada maxima, Pinctada margaritifera,
Pinctada fucata, Pinctada chimnitzii, dan Pteria penguin. Sebagai penghasil mutiara
terpenting adalah tiga spesies yaitu, Pinctada maxima, Pinctada margaritifera
dan Pinctada martensii. Sebagai jenis yang ukuran terbesar adalah Pinctada
maxima (Sutaman, 2000). Wilayah Indonesia yang memiliki potensi yang besar
untuk perkembangbiakan tiram mutiara (Pinctada maxima) adalah wilayah Indonesia
bagian timur seperti Irian Jaya, Sulawesi dan gugusan laut Arafuru (Spj, 2007)
dan lokasi budidaya tiram mutiara (Pinctada maxima) yang telah berkembang
dengan baik berada di Maluku, Sulawesi, Nusa Tenggara, Lampung dan Bali (Kotta,
2018). Meskipun sudah cukup banyak wilayah di Indonesia yang membudidayakan
tiram mutiara (Pinctada maxima) ini, namun masih terdapat kekurangan benih
dalam pembudidayaannya. Selama ini, masyarakat hanya memanfaatkan benih dari alam
yang mana jumlahnya sangat fluktuatif, tergantung musim, dan ukurannya tidak
seragam dan sesuai standar untuk diambil sehingga membutuhkan waktu dan
tambahan biaya dalam hal pemeliharaannya untuk mencapai ukuran yang standar.
Pembudidayaan dengan menggunakan benih dari alam ini dapat menyebabkan jumlah
benih di alam akan semakin berkurang dan menyebabkan menurunnya produksi tiram
mutiara. Mutiara air laut menjadi salah satu kekayaan komoditas khas Lombok,
Nusa Tenggara Barat, yang dikenal hingga luar negeri. Jenis kerang yang banyak
dibudidayakan di pulau ini adalah spesies Pinctada maxima atau biasa dikenal
sebagai ratu mutiara. Dengan memperhatikan beberapa parameter hidrometeorologi
seperti suhu permukaan laut, kecepatan arus, dan salinitas di perairan, dapat
diperoleh informasi lokasi perairan yang tepat sebagai lokasi pembenihan tiram
mutiara (Pinctada maxima). Dalam pembangunan lokasi pembudidayaan tiram mutiara
(Pinctada maxima) harus memperhatikan banyak faktor, utamanya kondisi perairan
yang sesuai. Kondisi perairan yang sesuai akan mendukung serta meningkatkan
hasil budidaya tiram mutiara ini sendiri.
CIRI-CIRI TIRAM
MUTIARA ATAU KERANG MUTIARA
Hamzah
dan Nababan (2011) melaporkan bahwa dilihat dari bentuk morfologi anakan kerang
mutiara (P. maxima) dewasa yang digantung pada kedalaman 2m memiliki warna
cangkang merah-coklat tua yang merupakan warna aslinya dan ditumbuhi
lumut-lumut halus. Pertumbuhan kerang dalam keadaan normal dan sehat dicirikan
dengan hasaky yang tumbuh mekar serta tempelan bysuss pada substrat yang kuat
(Hamzah dan Nababan, 2009). Kaki mengeluarkan sebuah byssus, yang merupakan
seikat benang-benang yang kuat berwarna kecoklatan dari protein. Benang ini
muncul melalui bagian ventral cangkang dan berfungsi sebagai tali tambat untuk
menempelkan kerang pada substrat dan kerang lainnya (Gosling, 2015). Kaki dan
byssus terletak pada daerah anterior, ventral ke mulut dan dikelilingi oleh
labial palps (Southgate dan Lucas, 2008).
HABITAT TIRAM MUTIARA
ATAU KERANG MUTIARA
Romimohtarto
dan Juwana (1999) menyatakan bahwa tiram mutiara jenis Pinctada sp. Banyak
dijumpai di berbagai Negara seperti Filipina, Thailand, Myanmar, Australia dan
perairan Indonesia yang menyukai hidup di daerah batuan karang atau dasar
perairan yang berpasir dengan kedalaman 20 –60 m.
Sebagian
besar spesies Pteriidae menghuni zona littoral dangkal dan daerah sublittoral
landas kontinen. Beberapa spesies ditemukan pada dasar perairan berpasir dengan
kedalaman maksimal sekitar 100-120m (Southgate dan Lucas, 2008). Pada kedalaman
2m kulit cangkang ditumbuhi lumut halus yang mengindikasikan pertumbuhan kerang
dalam keadaan normal. Sementara kerang yang diletakan pada kedalaman dibawahnya
dominan ditumbuhi teritip (biofouling) yang bersifat parasit dan menghambat pertumbuhan,
merusak susunan kulit cangkang, dan berdampak pada kematian bila tidak cepat
dibersihkan (Hamzah dan Nababan, 2009; Hamzah dan Setyono, 2009). Hamzah (2010)
menyatakan bahwa kerang mabe (P. penguin) juga banyak ditemukan pada daerah
teluk-teluk yang memiliki sonasi hutan bakau dan karang serta menyebar pada
kedalaman perairan antara 20–60m. Tingkah laku sebaran larva kerang mutiara, P.
maxima dan P. martensii lebih condong bersifat phototaxis negatif atau tidak
tertarik pada cahaya dan
senang menempel pada substrat yang berwarna gelap (Su et al., 2007; Hamzah, 2013a).
Hal ini juga terjadi pada larva kerang mabe (Pteria penguin) yang cenderung
menempel pada kolektor yang berwarna agak gelap (Hamzah, 2007).
Kerang
mutiara (P. maxima) tersebar pada pertengahan daerah Indo-Pasifik, termasuk
Asia Tenggara, daerah perairan Pilipina, Laut China Selatan, Thailand, Australia,
dari Myanmar ke Pulau Solomon, Papua New Guinea, Polynesia, Micronesia, Jepang
Selatan, Fillipina dan Indonesia, Sementara di Indonesia umumnya banyak
ditemukan di wilayah Indonesia bagian timur seperti Irian jaya, Sulawesi dan
Maluku terutama gugus kepulauan Arafura (Lind et al., 2007; Southgate dan
Lucas, 2008).
MANFAAT TIRAM MUTIARA
ATAU KERANG MUTIARA
Keindahan
mutiara telah lama menjadi perhatian manusia, karena dapat digunakan sebagai perhiasan
atau aksesoris lain. Di Indonesia, mutiara pertama kali dimanfaatkan dan diperdagangkan
di kawasan timur Indonesia yaitu di Pulau Aru, Maluku Tenggara (ANONIMOUS,
1996). Kegiatan ini awalnya hanya bergantung pada hasil alam melalui penyelaman
di daerah yang banyak terdapat kerang mutiara. Semakin lama banyak industri perdagangan
mutiara yang bermunculan di kawasan tersebut dengan mengandalkan hasil tangkapan
alam, sehingga terjadi tangkap lebih (over catting).
Penyebaran
industri mutiara ini semakin meluas hampir keseluruh wilayah Indonesia, tidak
hanya terbatas pada daerah yang merupakan habitat asli kerang mutiara tersebut,
tetapi telah berkembang ke daerah lain yang sesuai untuk membesarkan kerang
mutiara, misalnya di Teluk Lampung, Sumatera, Lombok, Sumbawa dan Sulawesi
(ANONIMOUS, 1996). Permintaan mutiara yang sangat tinggi dari konsumen
internacional, mengakibatkan ketertarikan pengusaha untuk menanam modalnya di
Indonesia atau bekerjasama dengan perusahaan lokal. Perusahaan tersebut tidak hanya
menjual mutiara, tetapi juga membudidayakan kerang penghasil mutiara secara intensif,
sehingga tidak lagi mengandalkan hasil tangkapan alam. Di Indonesia,
jenis-jenis kerang penghasil mutiara yang banyak dibudidayakan antara lain Pinctada
maxima, P. Margaritifera dan Pteria penguin (SUTAMAN, 1993).
JENIS TIRAM MUTIARA ATAU
KERANG MUTIARA
Jenis-jenis
kerang mutiara yang ada di Indonesia
umumnya adalah Pinctada maxima, P. margaritifera, P. fucuta, P. chemnitis dan
Pteria penguin. Tetapi penghasil mutiara yang terpenting ada tiga jenis, yaitu
Pteria penguin, Pinctada maxima dan, P. margaritifera (Sutaman ,1993)
MORFOLOGI TIRAM
MUTIARA ATAU KERANG MUTIARA
Bentuk
luar tiram mutiara tampak seperti batu karang yang tidak ada tanda-tanda
kehidupan. Tetapi di balik kekokohan tersebut terdapat organ yang dapat
mengatur segala aktivitas kehidupan dari tiram itu sendiri. Dalam kelunakan
tubuh tiram tersebut terdapat cangkang yang keras untuk melindungi bagian tubuh
agar terhindar dari benturan maupun serangan hewan lain. Disamping itu, dalam
cangkang yang jumlahnya satu pasang dan mempunyai bentuk yang berlainan itu
terdapat mother of pearl atau lapisan induk mutiara serta nacre yang dapat
membentuk lapisan mutiara. (Sutaman 1993)
Kulit
mutiara (Pinctada maxima)
ditutupi oleh sepasang kulit tiram (Shell, cangkan), yang tidak sama
bentuknya, kulit sebelah kanan agak pipih, sedangkan kulit sebelah kiri agak cembung. Specie ini mempunyai diameter
dorsal-ventral dan anterior-posterior hampir sama sehingga bentuknya agak bundar. Bagian dorsal
bentuk datar dan panjang semacam engsel berwarna hitam. Yang berfungsi untuk
membuka dan menutup cangkang. (Winarto, 2004).
Cangkang
tersusun dari zat kapur yang dikeluarkan
oleh epithel luar. Sel epitel luar ini juga menghasilkan kristal kalsium karbonat (Ca CO3) dalam bentuk
kristal argonit yang lebih dikenal sebagai nacre dan kristal heksagonal
kalsit yang merupakan pembentuk lapisan
seperti prisma pada cangkang.
Menurut
Sutaman (1993) bentuk cangkang bagian luar yang keras apabila dipotong atau
dibelah secara melintang, maka ada tiga lapisan yang akan tampak, yaitu lapisan
periostrakum yang berada paling atas atau luar, dan lapisan prismatik yang
terdapat di bagian tengah. Sedangkan lapisan yang agak ke dalam yang
berhubungan dengan organ dalam disebut lapisan nacre atau lapisan mutiara.
Ketiga
lapisan tersebut, jika dilihat dari zat penyuusunnya masing-masing adalah
sebagai berikut : (1) Lapisan periostrakom adalah lapisan kulit terluar yang
kasar yang tersusun dari zat organic yang menyerupai tanduk. (2) Lapisan
prismatik, adalah lapisan kedua yang tersusun dari Kristal-kristal kecil yang
berbentuk prisma dari hexagonal caltice. (3) Lapisan mutiara atau nacre adalah
lapisan kulit sebelah dalam yang tersusun dari kalsium karbonat (CaCO3).
(Sutaman 1993). Menurut Sutaman (1993) apabila cangkang tiram dibuka, maka akan
terlihat sekumpulan organ tubuh yang berfungsi sebagai pengatur segala
aktivitas kehidupan tiram mutiara itu sendiri. Namun secara umum, organ tubuh
tiram mutiara dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki, mantel dan organ
lain.
1. Kaki
Kaki
tiram mutiara merupakan suatu organ tubuh yang mudah bergerak dan berbentuk
seperti lidah yang dapat memanjang dan memendek. Kaki ini tersusun dari
jaringan otot yang menuju ke berbagai jurusan, sehingga dapat digunakan untuk
bergerak terutama waktu masih muda. Sedangkan setelah agak dewasa dan hidup
menempel pada suatu substrat, kaki tidak lagi dugunakan untuk bergerak, tetapi
menggunakan byssusnya untuk menempel. Selain itu, kaki tiram juga berfungsi
untuk membersihkan kotoran yang mungkin menempel pada insang maupun mantel.
2. Mantel
Mantel merupakan jaringan yang dilindungi oleh
sel-sel epithelial dan dapat membungkus organ bagian dalam. Letaknya berada di
antara cangkang bagian dalam atau epithel luar dengan organ dalam atau mass
viseralis.
Sel-sel
dari epithel luar ini akan menghasilkan Kristal kalsium karbonat (CaCO3 ) dalam
bentuk Kristal aroganit yang lebih dikenal denga nama lapisan mutiara. Sel ini
juga membentuk bahan organik protein yang disebut kokhialin sebagai bahan
perekat Kristal kapur. Apabila potongan mantel ditransplantasikan ke dalam
tubuh tiram akan menghasilkan zat kapur.
3. Organ Dalam
Bagian
ini letaknya agak tersembunyi setelah mantel dan merupakan pusat aktivitas
kehidupannya yang terdiri dari : insang, mulut, jantung, susunan syaraf, alat
perkembangbiakan, otot, lambung, usus dan anus. Berikut merupakan organ bagian
dalam dari tiram mutiara:
1.
Gonad
2.
Hati
3.
Perut
4.
Kaki
5.
Inti
6.
Mantel
7.
Otot adductor
8.
Otot retractor
FISIOLOGI TIRAM
MUTIARA ATAU KERANG MUTIARA
1. Sistem Pencernaan
Seperti
halnya pada jenis kerangan yang lain, tiram mutiara mampu memanfaatkan
phytoplankton yang terdapat secara alamiah di sekitarnya. Tiram mutiara
bersifat filter feeder atau mengambil makanan dengan cara menyaring pakan yang
ada di dalam air laut. Getaran silia pada insang menimbulkan arus air yang
masuk ke dalam ronga mantel. Gerakan silia akan memindahkan phytiplankton yang
ada di sekeliling insang dan dengan bantuan labial palp atau melalui simpul
bibir yang bergerak-gerak akan membawa masuk makanan ke dalam mulut ( Gosling;
2004)
Mulut
terlerak pada bagian ujung depan saluran pencernaan atau disebelah atas kaki.
Makanan yang ditelan masuk ke dari mulut kemudian melaui kerongkongan yang
pendek langsung masuk perut, atau saluran kantong tipis pada perut dengan kulit
luar (cuticle) kasar yang berfungsi untuk memisah-misahkan makanan. Dari perut
sisa makanan (kotoran) akan dibuang melalui saluran usus yang relatif pendek
dan bentuknya seperti hurus S kemudian keluar lewat anus (Velayudhan and Gandhi
1987 dalam Winanto, 2009)
2. Sistem Pernapasan
Insang
merupakan organ yang mempunyai peran fungsional baik dalam pernapasan maupun
osmoregulasi. Sel-sel yang berperan pada proses osmoregulasi adalah sel-sel
chlorida yang terletak pada bagian dasar lembaran-lembaran insang. Insang
berjumlah empat buah, berbentuk sabit, dua insang berada di sisi kanan dan
kiri, menggantung pada pangkal mantel seperti lipatan buku (Velayudhan and
Gandhi 1987 dalam Winanto, 2009).
Air
masuk melalui saluran inhelan akan berhenti pada bagian mantel, lalu secara
cepat dan kompak bekerjasama dengan insang sehingga dapat memanfaatkan udara
yang terangkut dan air dikeluarkan kembali melalui saluran ekshalen. Air serta
darah yang tidak berwarna masuk melaui beberapa filamen tunggal lalu mengalir
ke luar menuju pinggir insang, kemudian melintas ke atas berputar kembali
melalui filamen dan masuk ke branchial atau ctenidial. Dengan bantuan
silia-silia pada branchial dapat menimbulkan arus yang masuk ke bilik palial
dan melintas ke atas, melaui lamela branchial. Jadi selain menjalankan fungsi
pernafasan, filamen pada insang dan mantel dapat memperlancar peredaran darah.
(Gosling, 2004; Velayudhan and Gandhi 1987)
REPRODUKSI TIRAM
MUTIARA ATAU KERANG MUTIARA
Kerang
mutiara bersifat hermaprodit dan salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan
sel kelamin kerang mutiara (P. maxima) yaitu ketersediaan
jumlah makanan di sekitar tempat hidupnya. Jika persediaan makanan cukup, maka
alat reproduksinya betina, sedangkan apabila persediaan makanan kurang maka
alat reproduksinya jantan (Winanto, 2004). Kerang mutiara (P. maxima) telah
mencapai kematangan gonad akhir pada tahun pertama, ditandai kecenderungan
protandrous dengan pemijahan terjadi semua berentetan tahun, dengan suatu
puncak pada bulan September-November dengan suhu antara 27oC dan 29oC
(Southgate dan Lucas, 2008). Menurut Gomez-Robles et al. (2005) puncak
reproduksi P. margaritifera terjadi pada musim panas yaitu pada bulan Agustus
dengan suhu air 29,5°C. Tingginya tingkat kematangan gonad dan pasca vitellogenik
oosit selama musim dingin, berkaitan dengan suhu laut yang hangat yaitu
23-24°C. Selain itu, selama musim dingin, oosit mengalami artesia.
Pemijahan
kerang mutiara biasanya dipicu oleh perubahan kondisi lingkungan, seperti
kenaikan atau penurunan suhu air atau perubahan salinitas, dan perubahan serupa
digunakan untuk menginduksi pemijahan dalam kondisi budidaya (Southgate dan
Lucas, 2008). Proses reproduksi diawali dengan fertilisasi eksternal yang
terjadi di dalam air. Selama proses pemijahan biasanya induk jantan memijah
lebih duluan, kemudian sekitar 30-35 menit baru induk betina mengelurkan sel-sel
telurnya (Southgate dan Lucas, 2008; Saoruddin, 2004 dalam Susilowati dan
Sumantadinata, 2011; dan Hamzah, 2013a). Narita et al. (2008) menambahkan bahwa
bentuk morfologi spermatozoa dari kerang mutiara, P. Fucata martensii dibagi
dalam 3 bagian yaitu acrosoma, nucleus, mitochondrion dan flagellum. Kemudian
telur yang telah dibuahi berbentuk bulat dengan diameter 55-65 μm (Supii,
2007). Menurut Southgate dan Lucas (2008) bahwa perkembangan larva kerang
mutiara membutuhkan 16-30 hari dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
suhu air, nutrisi dan ketersediaan substrat yang tepat untuk proses menempel.
Lebih lanjut Hermawan dkk. (2007) menjelaskan bahwa pada kondisi normal yaitu
suhu berkisar antara 28–300C, larva akan menempatkan diri untuk menetap dan
melekat pada substrat setelah berumur 20–22 hari dengan ukuran 200–250μm
sedangkan pada rentang suhu 24,3–27,20C, larva baru akan menetap dan melekat
pada spat kolektor setelah berumur 32 hari dan berukuran 250–300μm.
Gambar.
Siklus Hidup Kerang Mutiara (P. maxima) (Keterangan: a. telur dan sperma; b.
telur dibuahi; c. pembelahan sel; d. gastrula; e. larva bentukd; f. stadia
umbo; g. spat; h. dewasa) (Sumber: Winanto, 2009)
Siklus
hidup kerang dimulai dengan fertilisasi telur, biasanya dalam perairan terjadi
disekeliling kerang dewasa (Dame, 2012). Fase kehidupan awal kerang mutiara
dimulai dengan penonjolan polar, kemudian membentuk polar lube II yang merupakan
awal proses pembelahan sel. Setelah terjadi fertilisasi, maka akan terjadi fase
pembelahan menjadi 2, 4, 8, 16, dan 32 sel dengan kisaran waktu ±45 menit sampai
±2 jam kemudian mencapai fase morula (multi sel) pada waktu ± 2,5 jam, fase
blastula dicapai pada umur ±3,5 jam dan mulai bergerak berputar-putar selanjutnya
pada waktu ± 7 jam mencapai fase gastrula yang dimana pada fase ini bersifat
fotonegatif serta bergerak dengan silia, kemudian pembentukan granula setelah
pembelahan sel terakhir sudah bersilia setelah berumur antara 7-9 jam (Hamzah,
2008a; dan Hamzah, 2013a).
Gambar.
Morfologi Tahapan Perkembangan Larva (P. maxima) (Keterangan: a. D-veliger; b.
umbo awal; c. umbo tengah; d. eye-spot; e. umbo akhir (pediveliger); f.
plantigrade) (Sumber: Winanto, 2009)
Stadia
awal larva P. maxima (bentuk D) dijumpai setelah 24 jam, larva mempunyai
cangkang prodissocanch I dengan ukuran kira-kira 70 x 60μm (panjang x tinggi)
(Southgate dan Lucas, 2008). Larva stadia veliger bersifat poto-positif, sehingga
nampak berenang-renang disekitar permukaan air (Brusca, 1990 dalam Winanto,
2009). Southgate dan Lucas (2008) menambahkan bahwa fase D-veligers menunjukan
pertumbuhan awal cangkang sekitar 1-2 hari setelah fertilisasi dan setelah itu
bagian umbo mulai timbul pada bagian dorsal cangkang. Fase eye spot ditandai
dengan bintik hitam pada dua sisi cangkang serta mulai menempel pada kolektor
setelah mencapai 15-17 hari. Pada larva P. fucata stadia eye-spot berkembang
pada hari ke-15 dengan ukuran 190 x 180 μm (Alagarswami et al., 1987 dalam
Winanto 2009). Pada fase pedi-veliger (umbo akhir) yang dicapai pada 18–20 hari
terlihat mulai terbentuk kaki (byssus) yang menonjol pada bagian dorsal yang
digunakan untuk menepel. Gerakan larva mulai melambat dan nampak adanya pertumbuhan
organ penempel seperti lidah yang keluar dari dalam tubuh larva. Beberapa larva
yang belum mendapatkan tempat untuk menempel masih melakukan gerakan memutar
lambat dengan terus mencari tempat untuk menempel (Wardana dkk., 2014).
Fase
plantigrade yaitu akhir planktonik dengan ditandai pembentukan cangkang telah
sempurna lengkap dengan anterior, posterior dan byssus, fase ini terjadi
setelah berumur antara 20–22 hari. Selanjutnya pada fase post-larva yang dicirikan
dengan berkembang dan tumbuh dalam keadaan menempel pada kolektor, berumur
antara 22-24 hari. Fase spat (juvenil) berkembang dan tumbuh menjadi fase
juvenil berumur antara 29-30 hari. Saat menjadi spat bentuk morfologi telah lengkap
menyerupai anakan kerang mutiara berumur antara 33-40 hari (Hamzah, 2008; dan
Hamzah, 2013a). Stadia spat pada perkembangan larva kerang, khususnya jenis
Pinctada sp., secara normal dapat terbentuk pada umur 30 hari (Evans et al.,
2007). Benih kerang mutiara dapat dikatakan memasuki stadia juvenil, apabila
benih memiliki ukuran panjang cangkang luar berkisar antara 0,8-1 cm. Ukuran
tersebut dapat dicapai pada benih umur 60 hari atau 3-4 minggu pemeliharaan
dilaut (Wardana dkk., 2014). Menurut Winanto (2004) bahwa selama pertumbuhan
larva mengalami 3 kali periode kritis yaitu pertama pada fase D yaitu larva
pertama kali mulai makan, kedua pada fase umbo dan terakhir pada fase plantigrade
yaitu pada saat larva mengalami perubahan kebiasaan hidup dari planktonis
menjadi spat yang hidupnya menetap di dasar. Kematian larva tertinggi terjadi
pada periode plantonik yaitu dari fase umbo-veliger ke fase pediveliger, dan kematian
kedua terjadi pada periode bentik yaitu fase plantigrade ke fase spat (Supii,
2007; Hamzah, 2008a).
Tiram
mutiara mempunyai jenis kalamin terpisah, kecuali pada beberapa kasus tertentu
ditemukan sejumlah individu hermaprodit terjadi perubahan sel kelamin (sel
reversal) biasanya terjadi pada sejumlah individu setelah memijah atau pada
fase awal perkembangan gonad. Fenomena sex reversal pada tiram mutiara (Pinctada
maxima) menunjukan bahwa jenis kelamin pada tiram teryata tidak tetap.
Bentuk
gonad tebal menggembung pada kondisi matang penuh, gonat menutupi organ dalam
(seperti perut, hati, dan lain-lain). Kecuali bagian kaki pada fase awal, gonad
jantan dan betina secara eksternal sangat sulit dibedakan, keduanya berwarna
krem kekuningan. Namun, setelah fase matang penuh, gonad tiram mutiara
(Pinctada maxima) jantan berwarna putih krem, sedangkan betina berwarna kuning
tua. Pada tiram Pinctada fucata warna gonad ini terjadi sebaliknya.
Menurut
Winanto (2004) bahwa, Tingkat kematangan gonad tiram mutiara dikelompokkan
menjadi 5 fase yaitu :
Fase I : Tahap tidak
aktif/salin/istrahat (Inactife/spent/resting)
Kondisi
gonad mengecil dan bening transparan dalam beberapa kasus, gonad berwarna
oranye pucat. Rongga kosong, sel berwarna kekuningan (lemak). Pada fase ini
sangat sulit untuk dibedakan.
Fase II :
Perkembangan/pematangan (Developing/maturing)
Warna
transparan hanya terdapat pada bagian tertentu, material gametogenetik (sel
kelamin) mulai ada dalam gonad sampai mencapai fase lanjut, gonad mulai
menyebar di sepanjang bagian posterior disekitar otot refraktor dan lebih jelas
lagi dibagian anterior-dorsal. Gamet mulai berkembang disepanjang dinding
katong gonad. Sebagian besar oocyt (bakal telur) bentuknya belum beraturan dan
inti belum ada. Ukuran rata-rata oocyt 60 μm x
47,5 μm.
Fase III : Matang
(Mature)
Gonad
tersebar merata hampir keseluruh jaringan organ, biasanya berwarna krem
kekuningan. Oocyt berbentuk seperti buah pir dengan ukuran 68 x 50 μm dan inti
berukuran 25 μm.
Fase IV : Matang
penuh/memijah sebagian (Fully maturation/partially spawned)
Gonad
menggembung, tersebar merata dan secara konsisten akan keluar dengan sendirinya
atau jika ada sedikit-sedikit trigger (getaran). oosyt bebas dan terdapat
diseluruh dinding kantong. Hampir semua oosyt berbentuk bulat dan berinti,
ukuran oosyt rata-rata 51,7 μm.
Fase V : Salin
(Spent)
Bagian
permukaan gonad mulai menyusut dan mengerut dengan sedikit gonad (kelebihan
gamet) tertinggal didalam lumen (saluran-saluran didalam organ reproduksi) pada
kantong. Jika ada oosyt maka jumlahnya hanya sedikit dan bentuknya bulat,
ukuran rata-rata oosyt 54,4 μm.
Pada
musim tertentu, induk Tiram mutiara di alam yang telah dewasa akan bertelur.
Kemudian, telur-telur tersebut akan di buahi oleh sel kelamin jantan (sperma).
Pembuhan terjadi secara eksternal didalam air. Telur yang telah di buahi akan
mengalami perubahan bentuk. Mula-mula terjadi penonjolan polar, lalu membentuk
polar lobe II yang merupakan awal proses pembelahan sel, dan akhirnya menjadi
multisel. Tahap berikutnya adalah fase trocofor. Dengan bantuan bulu-bulu
getar, trocofor akan berkembang menjadi veliger (larva berbentuk D) yang
ditandai dengan tumbuhnya organ mulut dan pencernaan. Pada tahap ini larva
sudah mulai makan dan tubuhnya telah di tutupi cangkang tipis. Perkembangan
selanjutnya adalah tumbuh vilum, pada fase ini biasanya larva sangat sensitif
terhadap cahaya dan sering dipermukaan air. Selama fase planktonis, larva
biasanya berenang dengan menggunakan bulu-bulu getar atau hanyut dalam arus
air.
Dengan
tumbuhnya vilum larva memasuki stadia umbo, kemudian secara bertahap cangkang
juga ikut berkembang. Bentuk cangkangnya sama mantel sudah berfungsi secara
permanen. Kemudian selanjutnya menjadi podifeliger yang di ikuti tumbuhnya kaki
sebagai akhir stadium planktonis. Gerakan-gerakannya sederhana dari berenang
sampai berputar-putar dilakukan dengan vilum dan kaki. Setelah kaki berfungsi
dengan baik velum akan menghilang, lembar-lembar insang mulai tampak jelas.
Perkembangan akhir larva yaitu perubahan fase plantigrade menjadi spat (bibit)
dan akan menetap. Selanjutnya akan tumbuh berkembang menjadi tiram mutiara
dewasa dan dapat beruba kelaminnya. Banyak ahli yang sependapat bahwa Pinctada maxima terjadi perubahan kelamin
yang bertepatan dengan musim pemijahan setelah telur atau sperma habis di
seburkan keluar, (Mulyanto, 1987).
TINGKAH LAKU TIRAM
MUTIARA ATAU KERANG MUTIARA
Tiram
mutiara jenis Pinctada sp. yang banyak dijumpai di berbagai Negara seperti
Pilipina, Thailand, Birma, Australia dan perairan Indonesia, sebenarnya lebih
menyukai hidup di daerah batuan karang atau dasar perairan yang berpasir.
Disamping itu juga banyak dijumpai pada kedalaman antara 20 m – 60 m. Untuk
perairan Indonesia sendiri jenid tiram Pinctada maximabanyak terdapat di
wilayah Indonesia bagian timur, seperti Irian Jaya, Sulawesi dan gugusan laut
Arafuru. (Sutaman 1993).
Berbeda
dengan jenis ikan yang lain, cara makan tiram mutiara ini dilakukan dengan
menyaring air laut. Sedangkan cara mengambil makanannya dilakukan dengan cara
menggetarkan insang yang menyebabkan air masuk ke dalam rongga mantel. Kemudian
dengan mengerakkan bulu insang, maka plankton yang masuk akan berkumpul di
sekeliling insang. Selanjutnya melalui gerakan labial palp plankton akan masuk
ke dalam mulut (Sutaman 1993).
Kerang
mutiara (P. maxima) termasuk biota laut bersifat plankton feeder, sehingga
dipercaya akan membersihkan air dari kemungkinan terjadinya blooming plankton
yang tidak dikehendaki. Beberapa jenis alga yang umum diberikan untuk pakan
antara lain Isochrysis galbana, Pavlova lutheri/, Monochrysis lutheri, Chromulina
sp., Chaetoceros sp., Nannochloropsis sp., dan Dicrateria sp., Untuk fase
pertumbuhan sampai menjelang spat dapat diberi variasi berbagai jenis alga tersebut.
Namun untuk stadia awal larva, jenis fitoplankton flagelata yang paling penting
untuk pakan adalah Isochrysis galbana dengan ukuran sekitar 7 μm. Adakalanya
digunakan jenis Tetraselmis tetrathele dan Chlorella sp., terutama untuk stadia
spat atau sebagai pakan campuran induk (Winanto, 2004; dan Winanto, 2009).
Menurut Marshall et al. (2010) secara umum, kombinasi dari spesies alga I. galbana
dan C. calcitrans sangat berhasil untuk pemeliharaan larva kerang. Penggunaan
C. calcitrans terbukti menghasilkan hasil yang baik dalam hal pertumbuhan dan
kelangsungan hidup untuk Crassostrea gigas, Venerupis philippinarum dan Pecten
maximus, sedangkan hanya pakan I. galbana saja tidak.
Menurut
CMFRI (1991) dalam Supii (2007) menyatakan bahwa budidaya pada stadia awal
larva (D shape) sampai stadia umbo diberi pakan fitoplankton jenis Isochrysis
galbana dengan kepadatan 5000 sel/ekor/hari. Beberapa jenis mikroalga yang
digunakan sebagai pakan larva Pteria sterna antara lain Nannochloris sp., Pavlova
lutheri, Isochrysis galbana, Phaeodactilum tricornutum, Chaetoceros meulleri,
Chaetoceros calcitran, Thalassiosira weisflogii, Dunaliella salina, Tetraselmis
tetrathele, Tetraselmis suecica, namun mikroalga yang dapat dicerna oleh larva
hanya Nannochloris sp., Pavlova lutheri dan Isochrysis galbana (Winanto, 2009).
Isochrysis galbana dan Pavlova lutheri memiliki kandungan lemak yang tinggi
(Martinez-Fernandez, 2006). Larva kerang mutiara (P. maxima) lebih efektif
diberikan pakan alami jenis Isochrisis galbana sebagai bahan pakan utama
sehingga memberikan perkembangan yang cenderung lebih cepat mencapai fase spat
(hari ke 18) (Hamzah, 2008a). Menurut Brown (1991) dalam Hermawan dkk. (2007)
I. galbana memiliki kandungan gizi yang lebih lengkap yaitu protein 29%,
karbohidrat 12,9% dan lemak 23% serta mempunyai kandungan EPA sebesar 1,88% dan
DHA sebesar 6,76% sedangkan kandungan gizi Chaetoceros sp. Adalah protein 29%,
karbohidrat 9% dan lemak 12%.
Kerang
mutiara (P. maxima) merupakan filter feeder yang menyaring plankton
dengan menggerakan silia, sehingga menimbulkan arus dan kemudian masuk kedalam
rongga mantel. Gerakan silia akan memindahkan fitoplankton yang berada di
sekeliling insang dan dengan bantuan labial palp atau melalui simpul bibir yang
bergerak-gerak akan membawa masuk makanan ke dalam mulut (Velayudhan dan
Gandhi, 1987 dalam Winanto, 2009). Kerang hijau bersifat filter feeder (penyaring
makanan) sehingga kebutuhan makanan tergantung pada perairan sekitarnya
terutama makanan yang terbawa oleh arus (Hermawan dkk., 2007). Pada prinsipnya
mikro alga yang digunakan sebagai pakan larva kerang atau organisme laut
lainnya adalah mempunyai ukuran yang tepat untuk dimakan atau sesuai dengan
bukaan mulut larva/spat, mudah dibudidayakan, cepat tumbuh dengan kepadatan
tinggi dan tidak menghasilkan substansi racun (Ponis et al., 2006). Makanan
yang ditelan masuk dari mulut kemudian melalui kerongkongan yang pendek
langsung masuk perut, atau saluran kantong tipis pada perut dengan kulit luar
(cuticle) kasar yang berfungsi untuk memisah-misahkan makanan. Sisa makanan
akan dibuang melalui saluran usus yang relatif pendek dan bentuknya seperti
huruf S kemudian keluar lewat anus (Velayudhan dan Gandhi, 1987 dalam Winanto,
2009).
PERTUMBUHAN TIRAM
MUTIARA ATAU KERANG MUTIARA
Pertumbuhan
tiram mutiara biasanya sangat tergantung pada temperature air, salinitas,
makanan yang cukup dan presentase kimia dalam air laut. Pada musim panas,
dimana suhu air naik, tiram mutiara dapat tumbuh secara maksimal. Namun jika
suhu dan salinitas sepanjang tahun stabil dengan kondisi lingkungan yang ideal,
maka pertumbuhan pun akan stabil pula, dengan pertambahan maksimum bisa
mencapai 1 cm per bulan. Menurut
Sutaman (1993) kondisi dan kualitas air yang berpengaruh terhadap pertumbuhan,
ukuran dan kualitas mutiara adalah sebagai berikut :
1. Dasar Perairan
Dasar
perairan secara fisik maupun kimia berpengaruh besar terhadap susunan dan
kelimpahan organisme di dalam air termasuk bagi kehidupan tiram mutiara. Adanya
perubahan tanah dasar (sedimen) akibat banjir yang menyebabkan dasar perairan tertutup lumpur sering menimbulkan kematian
pada tiram terutama yang masih muda. Oleh karena itu dasar perairan yang
berpasir atau berlumpur tidak layak untuk lokasi budidaya tiram mutiara. Dasar
perairan yang cocok untuk budidaya untuk budidaya tiram mutiara ialah dasar perairan
yang berkarang atau mengandung pecahan-pecahan karang. Bisa juga dipilih dasar
perairan yang terbentuk akibat gugusan karang yang sudah mati atau
gunungan-gunungan karang.
2. Kedalaman
Kedalaman
air dilokasi budidaya mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kualitas
mutiara. Berdasarkan penelitian semakin dalam letak tiram yang dipelihara,maka
kualitas mutiara yang dihasilkan akan semakin baik. Kedalaman perairan yang
cocok untuk budidaya tiram mutiara ialah berkisar antara 15 m s/d 20 m. Pada
kedalaman ini pertumbuhan tiram mutiara akan lebih baik.
3. Arus Air
Banyak
sedikitnya kelimpahan plankton sebagai makanan alami tiram sangat tergantung
pada kuat tidaknya arus yang mengalir dilokasi tersebut. Tiram mutiara memiliki
sifat filter feeder. Oleh karena itu tiram mutiara akan mudah kelaparan pada
kondisi arus yang terlalu kuat yang terjadi selama berjam-jam dalam sehari.
Lokasi yang cocok untuk budidaya tiram mutiara ialah yang terlindung dari arus
yang kuat. Disamping itu pasang surut yang terjadi mampu menggantikan massa air
secara total dan teratur,sehingga ketersediaan oksigen terlarut maupun plankton
segar dapat terjamin.
4. Salinitas
Kualitas
mutiara yang terbentuk dalam tubuh tiram dapat dipengaruhi oleh kadar salinitas
yang terlalu tinggi, warna mutiara menjadi keemasan. Sedangkan pada kadar
salinitas di bawah 14% atau di atas 55% dapat mengakibatkan kematian tiram yang
dipelihara secara massal. Sebenarnya tiram mutiara ini mampu bertahan hidup
pada kisaran salinitas yang luas,yaitu antara 20% – 50%. Tetapi salinitas yang
terbaik untuk pertumbuhan tiram mutiara adalah 32% – 35%.
5. Suhu
Suhu
memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan lapisan mutiara dan
pertumbuhan tiram itu sendiri. Di beberapa Negara, pertumbuhan tiram mutiara
yang ideal menunjukan kisaran suhu yang berbeda-beda. Di jepang, misalnya,
pertumbuhan yang terbaik berkisar antara 200 C – 250 C, sebab pada suhu di atas
280 C menunjukan tanda-tanda yang melemah. Hal ini bisa dimengerti, karena
rata-rata suhu harian di jepang masih relative rendah, walupun musim panas.
Sedangkan di teluk Klutch India, pertumbuhan yang pesat dicapai pada suhu
anatara 230 C – 270 C. Untuk Negara kita sendiri yang beriklim tropis,
pertumbuhan yang terbaik dicapai pada suhu antara 280 C – 300 C. Pada iklim ini
ternyata sangat menguntungkan untuk budidaya tiram mutiara, sebab pertumbuhan
lapisan mutiara dapat terjadi sepanjang tahun. Sedangkan Negara yang memiliki
empat musim (iklim sub-tropis) biasanya pertumbuhan tiram mutiara tidak terjadi
sepanjang tahun, karena pada suhu air di bawah 130 C (musim dingin) pelapisan
mutiara atau penimbunan zat kapur akan terhenti.
6. Kecerahan
Banyak
sedikitnya sinar matahari yang menembus ke dalam perairan sangat tergantung
dari kecerahan air. Semakin cerah perairan tersebut, maka semakin dalam sinar
yang menembus ke dalam perairan. Demekian pula sebaliknya.
7. Kesuburan Perairan
Tiram
sebagai binatang yang tergolong filter feeder hanya mengandalakan makanan
dengan menyerap plankton dari perairan sekitar, sehingga keberadaan pakan alami
memegang peranan yang sangat penting. Sedangkan keberadaan pakan alami itu
sendiri sangat berkaitan erat dengan kesuburan suatu perairan. Pada kondisi
perairan yang kurang subur (tercemar), komposisi pakan alami jumlahnya akan
sangat sedikit, sehingga kurang mendukung untuk penyediaan pakan yang
diperlukan tiram. Padahal tiram yang dipelihara dalam laut, jelas tidak mungkin
diberi pakan tambahan sebagaimana ikan atau udang yang dipelihara dalam tambak.
Oleh karena itu lokasi budidaya pada kondisi perairan yang subur mutlak
diperlukan.
PERAN TIRAM MUTIARA ATAU
KERANG MUTIARA DI PERAIRAN
Peranan
kerang mutiara sebenarnya hampir sama dengan organisme benthos lainnya yang
memiliki peranan yang penting dalam ekosistem perairan. Saat organisme ini mati
akan membusuk dan kemudian meninggalkan nutrisi yang digunakan kembali oleh
tanaaman air dan hewan air lainnya dalam rantai makanan. Selain itu dapat juga
digunakan untuk melihat kualitas air pada suatu perairan. Karena organisme ini
tidak seperti ikan yang bisa bergerak banyak dan jauh sehingga mereka kurang
mampu menghindar dari efek sedimen dan polutan lain yang mengurangi kualitas
air. Oleh karena itu, mereka dapat memberikan informasi mengenai kualitas air
dan siklus hidup mereka memungkinkan penelitian yang dilakukan ahli geologi
akuatik untuk menentukan setiap penurunan kualitas lingkungan.
Kerang
mutiara termasuk biota laut bersifat plankton feeder, sehingga dipercaya akan membersihkan
mutu air dari kemungkinan adanya blooming plankton yang tidak dikehendaki.
Namun apabila kegiatan budidaya ini dalam kapasitas yang besar dan melebihi daya
dukung dari perairan diduga dapat juga menyebabkan krisis plankton yang
merupakan produser primer dalam suatu ekosisitim perairan(Supi dan Arthana,
2008).
PENULIS
Putu
Ayu Weda Astuti
FPIK
Universitas Brawijaya Angkatan 2015
EDITOR
Gery
Purnomo Aji Sutrisno
FPIK
Universitas Brawijaya Angkatan 2015
DAFTAR PUSTAKA
Al
Habib, A. H., A. W. Fitri., N. P. F Anggraeni dan D. Sucahyono. 2018. Pemetaan
Daerah Potensial Budiday Tiram Mutiara (Pinctada Maxima) Menggunakan Citra Satelit
Berdasarkan Parameter Hidrometerologi Terhadap Pola Musiman di Perairan Lombok,
Nusa Tenggara Barat. Prosiding SNFA (Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya).
Hal 1-13.
Dwiponggo.,
A. 1976. “ Mutiara”. Jakarta : Lembaga Penelitian Perikanan Laut.
Google
image.2015. http://www.googleimage.com/ diakses pada 1 November 2015
Hamzah
M.S Dan Bisman Nababan., 2009. “Studi Pertumbuhan Dan Kelangsungan Hidup Anakan
Kerang mutiara (Pinctada maxima) Pada Kedalaman Berbeda Di Teluk Kapontori,
Pulau Buton”. Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional, Perhimpunan
Biologi Indonesia XIX, pada Tgl. 9-10 Juli 2008 di Univ. Hasanuddin, Makasar.
Hamzah,
A. S. 2016. Perkembangan dan Kelangsungan Hidup Larva Kerang Mutiara (Pinctada maxima) pada Kondisi Suhu yang
Berbeda. SKRIPSI. FPIK universitas Halu Oleo Kendari. Hal 1-110.
Ikenoue
and Kafuku 1992., Tiram Mutiara (Pinctada maxima”) Artikel (online).http//:yantotokan.blogspot.com/2011/…/tiram-mutiara-pinctada–maxima.ht…
diakses pada 1 November 2015.
Muhditernate,
2011., “Budidaya Tiram Mutiara (Pinctada maxima)”Artikel (online). http//:
muhditernate.wordpress.com/…/budidaya–tiram–mutiara–pinctada–ma… diakses pada 1
November 2015.
Mulyanto.,
1987. “Teknik Budidaya Laut Tiram Mutiara di Indonesia”. Direktorat Jenderal
Perikanan – International Development Research Centre, Jakarta.
Romimohtarto,
K. dan S. Juwana.1999. Biologi Laut. Ilmu Tentang Pengetahuan Biota Laut. Puslitbang
Oceanografi-LIPI. Jakarta: 527 hal.
Sudjana.,
1991. “Desain dan Analisis Eksperimen, Edisi III”.Bandung: Tarsito.
Sutaman.,
1993. Teknik Budidaya Tiram Mutiara dan Proses Pembuatan Mutiara, Yogyakarta :
Penerbit Kanisius.
Winanto.,
2004. “Memproduksi Benih Tiram Mutiara”. Depok : Penebar Swadaya.
Zipcodezoo.2015.http://www.zipcodezoo.com/
diakses pada 1 November 2015.
Post a Comment for "Tiram Mutiara Atau Kerang Mutiara; Klasifikasi, Morfologi, Habitat Dll"