Udang windu (Penaeus
monodon) merupakan asli Indonesia yang harus tetap
dikembangkan. Meskipun saat ini, produksinya masih kalah dengan udang vannamei
(Litopenaeus vannamei), tetapi pasar untuk udang windu masih terbuka lebar,
sehingga tetap perlu didukung dengan ketersediaan induk dan benih yang kontiyu.
Udang windu merupakan salah satu komoditas unggulan di Asia (FAO 2008). Hal ini
dikarnakan udang windu memiliki beberapa kelebihan, diantaranya memiliki ukuran
panen yang lebih besar, rasa yang manis, gurih, dan kandungan gizi yang tinggi.
Besarnya potensi budidaya dari udang windu memacu para petambak untuk
memaksimalkan produksi (Amri 2003). Dalam dunia perdagangan, udang windu
(Penaeus monodon) dikenal dengan sebutan udang pancet, jumbo tiger prawn, giant
tiger prawn, black tigerprawn atau black tiger shrimp (Murtidjo, 2003).
Udang
Windu (Penaeus monodon) merupakan crustasea, pertumbuhan dan reproduksi
crustasea diatur oleh kombinasi hormone neuropeptide, ecdysteroids (hormone
moulting) dan metil farnesoeate isoprenoid (MF). Pertumbuhan pada udang
merupakan penambahan protoplasma dan pembelahan sel yang terus menerus pada
waktu ganti kulit. Secara umum dinyatakan bahwa laju pertumbuhan Crustacea
merupakan fungsi dan frekuensi ganti kulit dan pertambahan berat badan setiap
proses ganti kulit (Moulting). Ciri udang mengalami pertumbuhan adalah dengan
adanya peroses moulting (ganti kulit), biasanya cara untuk mempercepat proses
moulting dengan cara ablasi, namun cara ini tidak dapat dilakukan pada benur
udang dikarnakan ukurun benur yang masih sangat
kecil. Selain ablasi proses moulting pada udang dapat dilakukan melalui penambahan
ecdysteron. Dengan diketahui titer ecdysteron pada proses moulting pada udang,
maka proses ini dapat diatur melalui pemberian ecdyteron pada udang (Gunamalai
2006).
Keberadaan
udang windu (Penaeus monodon) di Indonesia saat ini memang hampir kalah
bersaing dengan udang vannamei (Litopenaeus vannamei). Meskipun harganya
sedikit lebih tinggi dari udang vannamei, namun udang windu (Penaeus monodon)
dinilai lebih sulit dalam proses budidayanya. Oleh sebab itu udang vannamei
(Litopenaeus vannamei) menjadi primadona budidaya di Indonesia. Direktur
jenderal perikanan budidaya kementerian kelautan dan perikanan (KKP) Slamet
Subiyakto menjelaskan, meski petani banyak yang berminat untuk membudidayakan
udang vannamei (Litopenaeus vannamei), namun udang windu justru dinilai
memiliki peluang pasar lebih besar
KLASIFIKASI UDANG WINDU
Kingdom
|
:
Animalia
|
Fillum
|
: Arthropoda
|
Subfillum
|
: Crustacea
|
Kelas
|
: Malacostraca
|
Ordo
|
: Decapoda
|
Famili
|
: Penaeidae
|
Genus
|
: Penaeus
|
Spesies
|
: Penaeus monodon
|
MORFOLOGI UDANG WINDU
Secara
morfologi, tubuh udang windu terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian kepala
hingga dada dan abdomen yang meliputi bagian perut dan ekor. Bagian kepala dada
disebut cephalothorax, dibungkus kulit kitin yang tebal yang disebut carapace.
Bagian ini terdiri dari kepala dengan 5 segmen dan dada dengan 8 segmen. Bagian
abdomen terdiri atas 6 segmen dan 1 telson (Murtidjo 2003).
Bagian
kepala, dada terdapat anggota-anggota tubuh lain yang berpasang – pasangan
berturut-turut dari muka kebelakang adalah sungut kecil (antennula), sirip
kepala (Scophocerit), sungut besar (antenna), rahang (mandibulla), alat-alat pembantu
rahang (maxilla) yang terdiri dari dua pasang maxilliped yang terdiri atas tiga
pasang, dan kaki jalan (periopoda) yang terdiri atas lima pasang, tiga pasang
kaki jalan yang pertama ujung-ujungnya bercapit yang dinamakan chela (Suyanto
dkk 2003).
Bagian
perut terdapat lima pasang kaki renang (pleopoda), pada ruas ke enam
kaki renang mengalami perubahan bentuk menjadi ekor kipas (uropoda). Ujung ruas
keenam kearah belakang membentuk ekor (telson) (Suyanto dkk 2003). Udang windu
termasuk hewan heterosexual yaitu mempunyai jenis kelamin jantan dan betina
yang dapat dibedakan dengan jelas. Jenis udang windu betina dapat diketahui
dengan adanya telikum pada kaki jalan ke-4 dan ke-5. Telikum berupa garis tipis
dan akan melebar setelah terjadi fertilisasi. Sementara jenis
kelamin udang windu jantan dapat diketahui dengan adanya petasma yaitu tonjolan
diantara kaki renang pertama (Murtidjo 2003).
Tubuh
udang windu terdiri dari dua bagian yaitu kepala dan dada (cephalothorax) dan
perut (abdomen). Pada bagian cephalothorax terdiri dari 13 ruas, yaitu 5 ruas
kepala dan 8 ruas dada. Bagian kepala terdiri dari antenna, antenulle,
mandibula dan 6 dua pasang maxillae. Kepala dilengkapi dengan 3 pasang
maxilliped dan 5 pasang kaki jalan (periopoda). Bagian perut atau abdomen terdiri
dari 6 ruas yang tersusun seperti genting. Pada bagian abdomen terdapat 5 pasang
kaki renang (Pleopod) dan sepasang uropods (mirip ekor) yang membentuk kipas
bersama-sama telson yang berfungsi sebagai alat kemudi (Tricahyo, 1995). Tubuh
udang windu dibentuk oleh 2 cabang (biramous), yaitu exopodite dan endopodite.
Udang windu mempunyai tubuh berbuku-buku dan aktifitas berganti kulit luar atau
eksoskleton secara perodik yang biasa disebut dengan istilah moulting (Mujiman
dan Suyanto, 1999).
Udang
penaeid dapat dibedakan dengan yang lainnya oleh bentuk dan jumlah gigi pada
rostrumnya. Udang windu mempunyai 2-4 gigi pada bagian tepi ventral rostrum dan
6-8 gigi pada tepi dorsal (Mujiman dan Suyanto, 1999). Udang windu betina mempunyai
thelicum sebagai alat reproduksinya. Letak thelicum berada diantara pangkal
kaki jalan ke-4 dan ke-5 dengan lubang saluran kelaminnyua terletak diantara pangkal
kaki ke-3. Sedangkan alat kelamin udang jantan disebut petasma yang terletak
pada kaki renang pertama. Udang windu bersifat kanibalisme yaitu suka memangsa
jenisnya sendiri. Hal ini terjadi jika udang windu kekurangan pakan.
Morfologi
udang windu warna carapace dan bagian tubuh bergaris-garis tebal melintang
berwarna merah dan putih. Antena berwarna coklat keabu-abuan. Kaki jalan dan
kaki renang berwarna coklat dan pinggirnya merah. Bila berada di tambak
terutama yang dangkal, warnanya berubah menjadi coklat tua atau gelap dan
sering berwarna kehitam-hitaman (Sudarmini dan Sulistiyono, 1988).
HABITAT UDANG WINDU
Udang
windu bersifat bentik, dan menyukai dasar perairan yang lembut, biasanya terdiri
dari campuran lumpur dan pasir. Udang windu lebih suka bersembunyi di rumpon
dan membenamkan diri dalam lumpur pada saat moulting, hal ini dilakukan udang
untuk menghindari pemangsaan. Menurut Mudjiman (2003), udang dewasa bertelur di
laut kemudian larva yang menetas bergerak ke daerah muara. Semakin dewasa udang
akan bergerak secara berkelomok menuju ke laut untuk melakukan perkawinan.
Udang
windu tersebar di sebagian besar daerah Indo-Pasifik Barat, Afrika Selatan,
Tanzania, Kenya, Somalia, Madagaskar, Saudi Arabia, Oman, Pakistan, India,
Bangladesh, Srilangka, Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Philipina,
Hongkong, Taiwan, Korea, Jepang, Australia, dan Papua Nugini (Khairul Amri,
2003).
REPRODUKSI UDANG WINDU
Jenis
kelamin jantan dan betina dari udang windu, dapat dilihat dari alat kelamin
luarnya dan kaki jalan (periopod). Alat kelamin jantan disebut petasma, yang
terdapat pada kaki renang pertama, sedangkan lubang saluran kelaminnya
(gonophore) terletak diantara pangkal kaki jalan ke tiga. Alat kelamin betina
disebut thelycum, terletak di antara kaki jalan
keempat dan kelima (Pratiwi, 2008).
Alat
kelamin utama disebut dengan gonad terdapat di dalam bagian cephalotorax. Pada
udang jantan dewasa, gonad akan menjadi testis yang berfungsi sebagai penghasil
mani (sperma). Pada udang betina, gonad akan menjadi indung telur (ovarium),
yang berfungsi menghasilkan telur. Ovarium yang telah matang akan menghasilkan
telur yang banyak. Telur akan merekat pada ovarium dan terangkai seperti buah anggur
yang meluas sampai ekor. Sperma yang dihasilkan oleh udang jantan, pada waktu
kawin akan dikeluarkan dalam kantung seperti lendir yang dinamakan kantung sperma
(spermatophora). Spermatophora dilekatkan pada thelicum udang betina dan disimpan
terus disana hingga saat peneluran dengan bantuan petasma. Apabila udang betina
bertelur, spermatophora akan pecah dan sel-sel sperma akan membuahi telur di
luar badan induknya (Pratiwi, 2008)
Pemijahan
di alam terjadi sepanjang tahun dengan puncak-puncak tertentu pada awal dan
akhir musim penghujan. Penurunan kadar garam pada awal dan kenaikan pada akhir
musim penghujan dibarengi dengan perubahan suhu yang mendadak diduga memberi
rangsangan pada induk yang matang telur untuk memijah. Pada saat inilah benur
dapat ditangkap pada jumlah yang besar. Sedangkan pada pembenihan buatan
prinsipnya diperlukan induk betina matang telur yang sudah dikawini oleh udang
jantan di dalam bak peneluran atau didalam bak larva. Langkah berikutnya adalah
menetaskan telur dan memelihara larva dari hasil tetasan tersebut sampai
mencapai tingkat post larva umur 5-10 hari (Prawidihardjo et al. dalam
Poernomo, 1976).
FISIOLOGI UDANG WINDU
Daya
tahan hidup organisme dipengaruhi oleh keseimbangan osmotik antara cairan tubuh
dengan air (media) lingkungan hidupnya. Pengaturan osmotik itu dilakukan
melalui mekanisme osmoregulasi. Mekanisme ini dapat dinyatakan sebagai
pengaturan keseimbangan total konsentrasi eklektrolit yang terlarut dalarn air
media hidup organisme. Osmoregulasi ini erat kaitannya dengan daur hidup udang
windu tersebut. Udang Windu memiliki dua lingkungan dalam daur hidupnya yakni
laut dan estuary (muara sungai) (Musida, 2015).
Udang
windu mempunyai tekanan osmotik yang berbeda dengan lingkungannya, oleh karena
itu udang harus mencegah kelebihan air atau kekurangan air, agar proses-proses
fisiologis didalam tubuhnya dapat berlangsung dengan normal (Musida, 2015).
TINGKAH LAKU DAN CIRI-CIRI UDANG WINDU
Udang
windu (Penaeus monodon) memiliki sifat-sifat dan ciri khas yang membedakannya
dengan udang-udang yang lain. Udang windu (Penaeus monodon) bersifat
Euryhaline, yakni secara alami bisa hidup di perairan yang berkadar garam
dengan rentang yang luas, yakni 5-45%. Kadar garam ideal untuk pertumbuhan
udang windu (Penaeus monodon) adalah 19-35%. Sifat lain yang juga menguntungkan
adalah ketahanannya terhadap perubahan temperature yang dikenal dengan eurythemal
(Suryanto dkk 2004).
Boyd
(1998), menyatakan bahwa selama proses moulting udang menyerap Kalsium dan
Magnesium. Kandungan zat tersebut sangat dibutuhkan dalam jumlah yang tinggi.
Pergantian kulit ini merupakan indikator terjadinya pertumbuhan. Selama udang
berganti kulit biasanya udang tidak bernafsu makan, udang tidak banyak bergerak
dan dalam kondisi yang lemah. Ada 3 faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pada
Udang Windu, yaitu faktor fisika, faktor kimia dan faktor biologi.
Udang
windu bersifat omnivora dan seringkali bersifat kanibal karena memakan
udang yang sedang moulting. Udang windu tergolong hewan nocturnal karena
sebagian besaraktifitasnya seperti makan dilakukan malam hari. Kulit udang
windu tidak elastis dan akan berganti kulit selama pertumbuhan. Frekuensi pergantian
kulit ditentukan oleh jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi, usia dan
kondisi lingkungan. Setelah kulit lama terlepas udang windu dalam kondisi lemah
karena udang baru belum mengeras. Pada saat ini udang mengalami pertumbuhan
sangat pesat diikuti dengan penyerapan sejumlah air, semakin cepat udang
berganti kulit maka pertumbuhan semakin cepat (Murtidjo 2003).
MANFAAT UDANG WINDU
Udang
windu merupakan komoditi ekspor perikanan utama yang mempunyai potensi cukup
tinggi dan dagingnya gurih serta bergizi. Disamping itu udang tersebut sangat
disukai karena seluruh tubuhnya dapat dimanfaatkan sebagai penunjang kebutuhan
ekonomi masyarakat, seperti kulitnya dapat dijadikan campuran pembuatan pelet,
dagingnya dapat diolah sebagai bahan makanan seperti file udang, kerupuk, abon
dan terasi (Pratiwi, 2008).
PERAN UDANG WINDU DI
PERAIRAN
Udang
di ekosistem aslinya bersifat pemakan segala (omnivora), detritus dan sisa-sisa
organik lainnya baik hewani maupun nabati. Dalam mencari makan udang mempunyai
pergerakan yang terbatas, tetapi udang selalu didapatkan di alam oleh manusia,
karena udang mempunyai sifat dapat menyesuaikan diri dengan makanan yang tersedia
di lingkungannya dan tidak bersifat memilih (Pratiwi, 2008).
PENULIS
Sabrina
Maysarah
FPIK
Universitas Brawijaya Angkatan 2015
EDITOR
Gery
Purnomo Aji Sutrisno
FPIK
Universitas Brawijaya Angkatan 2015
DAFTAR PUSTAKA
Boyd,
C. E. 1998. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Alabama, USA : Agricultural
Experiment Station, Auburn University.
Google
image. 2015. www.google.com diakses pada 10 november 2015 pukul 18:00 wib
http://aquaculture04.blogspot.com/2017/12/tiger-shrimp-penaeus-monodon.html
http://aquaculture04.blogspot.com/2017/12/tiger-shrimp-penaeus-monodon.html
Khairul,
Amri. 2003. Budidaya Udang Vaname.
Musida.
2015. http://www.musida.web.id/?q=indo/mengapa-ikan-perlu-melakukan-osmoregulasi
Poernomo,
A.1976. Usaha Mini Hatchery dan Pertokolan Udang Windu, FaktorPendukung
Strategis bagi Keberhasilan Budidaya Udang Pola Sederhana. Puslitbangkan.
Jakarta.34 hal.
Pratiwi,
R. 2008. Aspek Biologi Udang Ekonomis Penting. Jurnal Oseana. 33(2): 1-24.
Sudarmini,
E dan B. Sulistiyono, 1988. Biologi Udang Windu dan Perkembangannya. Balai
Budidaya Air Payau Jepara.
Zipcodezoo.
2015 www.zipcodezoo.com diakses pada 10 november 2015 pukul 19:00 wib
mantap artikelnya sangat membantu dalam mengerjakan tugas
ReplyDeleteAlhamdulillah
Deleteterima kasih
ReplyDeletesama"
Delete