Berita
ini bersumber dari sosial media bahwa satu keluarga meninggal akibat keracunan
ikan buntal. Halini menjadi pertanyaan kita Kenapa hal itu bisa terjadi?
Padahal bila kita lihat di jepang olahan ikan buntal sangat populer disana
bahkan menjadi primadona masyarakat disana. Artikel ini mengulik mengenai
seberapa bahayanya racun ikan buntal dan bagaimana cara penanganan dan memasak
ikan buntal yang benar sehingga hal ini tidak terjadi lagi dan kita bisa berhati-hati
dalam memasak maupun memakan olahan ikan buntal.
Di
Asia ikan buntal menyebar di Jepang, India, Myanmar, Thailand, Singapura dan
Philipina. Di Indonesia sendiri, ikan buntal tersebar di seluruh perairan
seperti Pulau Weh, Sumatera (Bagan Siapi-api, Sibolga, Deli), Pulau Bintang,
Pulau Bangka, Pulau Jawa (Jakarta, Karawang, Subang, Cilacap, Semarang,
Surabaya), Madura, Kalimantan (Pemangkat, Singkawang, Pontianak, Sungai Kapuas,
Banjarmasin, Sungai Mahakam). Selain memiliki kandungan metabolit primer yang
cukup
lengkap
terutama asam aminonya, ikan buntal juga memiliki kandungan metabolit sekunder
seperti racun tetrodotoksin (TTX). Racun ini biasanya digunakan sebagai alat
pertahanan diri dari serangan predator. Beberapa kasus keracunan yang terjadi
di Indonesia diantaranya pada tahun 2010 dan 2008 di Cirebon. Kasus keracunan
ikan buntal juga terjadi di beberapa daerah seperti Tapanuli Tengah, Bengkulu
dan Maluku. Meskipun berbahaya, tetrodotoxin ternyata dapat dimanfaatkan
terutama pada bidang farmasi. Tetrodotoksin dapat digunakan sebagai obat
anastesi lokal (dapat memblok syaraf). Tetrodotoksin yang dicampur dengan
bupivacaine dan dexamethasone dapat meningkatkan waktu anastesi. Obat berbahan
dasar dari tetrodotoksin yang pertama kali dipasarkan adalah Tectin, obat ini
dikembangkan oleh WEX Pharmaceutical Inc. Dalam dosis kecil, obat ini sangat
mampu mengurangi rasa sakit kronis yang dialami oleh pasien kanker. Famili
diodontidae dan tetraodontidae dianggap sebagai evolusi lanjutan di antara
famili lain dari golongan teleostei yang memiliki banyak kelenjar kulit sebagai
ciri-cirinya. Pada umumnya, sekresi lendir ikan teleostei memiliki fungsi
sebagai pelumas untuk pergerakan dan mekanisme perlindungannya. Selain itu,
untuk beberapa famili ikan yang lain (ostraciidae, grammistidae, soleidae, siluridae
dan tetraodontidae), sekresi lendir ini bermanfaat sebagai pertahanan kimia
dari serangan predator, dan beberapa jenis racun yang dihasilkan (pahutoxin,
deacetoxypahutoxin, pardaxin, grammistins, pavoninins dan tetrodotoxin) telah
berhasil diidentifikasi (Boylan dan Scheuer, 1967; Randall et al., 1971;
Hashimoto dan Oshima, 1972; Clark dan George, 1979; Goldberg et al., 1982; Tachibana,
1984; Kodama et al., 1985, 1986; Gopalakrishnakone, 1987; Saitanu, et al.,
1991; Freitas et al., 1992). Kamiya et al. (1988) menemukan beberapa
agglutininnya dan Nair (1988) berhasil menunjukkan sebagian iktiotoksin dari kulit
ikan yang dapat menyebabkan hemolisis. Tetrodotoksin (TTX) 6 adalah neurotoksin
terkenal yang dapat ditemukan di beberapa jenis ikan (Noguchi dan Hashimoto,
1973; Kodama dan Ogata, 1984; Yasumoto et al., 1986).
Studi
perilaku melaporkan beberapa spesies ikan mampu menolak jaringan-jaringan ikan
buntal yang beracun (Yamamori et al., 1980; Saito et al., 1984). Yamamori et al.
(1987) melaporkan hasil respon indra yang terdapat pada ikan jenis Rainbow
Trout dan Arctic Char terhadap TTX dan saksitoksin. Dari hasilnya, penulis
menyarankan adanya indra reseptor khusus penanganan racun pada ikan-ikan tersebut,
yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan biologis untuk persiapan
menghindari proses pencernaan mangsa beracun. Kelenjar kulit yang dimiliki sebagian
spesies ikan buntal dari marga takifugu memiliki kandungan konsentrasi TTX yang
tinggi (Kodama et al., 1985; Kodama et al., 1986), dan untuk ikan buntal jenis
Arothron immaculatus, laporan awal oleh Gopalakrishnakone (1987) menyatakan
bahwa ikan ini memiliki banyak kelenjar sel dengan bukaan bagian dalam yang
berporos ke luar. Sebagai tambahan, kulit ikan buntal marga tetraodon yang
berasal dari perairan air tawar memiliki kadar racun TTX tertinggi yang pernah dicatat
sampai saat ini (Saitanu et al., 1991). Toksisitas ikan buntal terkait erat
dengan adanya racun yang mampu melumpuhkan (tetrodotoksin dan saksitoksin).
Sekresi lendir yang dikumpulkan dari C. spinosus dapat larut dengan mudah dalam
air dan menunjukkan sifat mirip deterjen, seperti yang pernah dibahas
sebelumnya oleh Kalmanzon et al. (1991) untuk sekresi yang berasal dari ikan
kudu-kudu Ostracion cubicus, yang dapat dijumpai di kawasan Laut Merah. Tetrodotoxin
merupakan neurotoxin yang memiliki berat molekul rendah (319,27) dan memiliki
struktur yang sangat unik yang dapat dilihat pada Gambar 1. Racun ini sangat
polar sehingga dapat larut dalam air dan tidak larut dalam senyawa organik. Berbagai
penelitian mengenai isolasi racun tetrodotoxin telah dilakukan, Hasan et
al.(2008) menggunakan aquades dingin untuk mengekstrak liver ikan buntal, dan
menggunakan berbagai macam pelarut organik untuk mencucinya. Nilai randemen
ekstrak dapatdilihat di Tabel 1.
Toksisitas Ikan
Buntal
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sampel ikan buntal memiliki kadar racun yang
tinggi (Tabel 1). Menurut Meyer et al. (1982) suatu zat dianggap sangat toksik
jika nilai LC50<30 ppm, toksik jika nilai LC5030-1000 ppm, dan kurang toksik
jika nilai LC50>1000 ppm.
Rumus Kimia
Tetradotoxin
Tabel 1
Kadar Racun Ikan
Buntal
Tingkat
toksisitas ikan buntal bervariasi tergantung pada jenis organ tubuh, geografi,
musim, dan jenis kelamin. Racun TTX pada ikan betina lebih tinggi daripada
jantan karena di ovarium terdeteksi TTX lebih banyak bila dibandingkan dengan
testis ikan (Hashimoto dan Kamiya, 1970). Menurut Noguchi dan Arakawa (2008)
racun TTX pada ikan buntal terdistribusi di organ hati dan ovarium (paling
tinggi), diikuti oleh usus dan kulit. Daging dan testis merupakan organ yang
tidak toksik atau toksisitasnya lemah, kecuali pada spesies Lagochephalus
lunaris dan Chelonodon patoca. Tingkat toksisitas pada organ hati umumnya
sangat tinggi sepanjang tahun, kecuali pada musim pemijahan dimana racun dari
hati akan ditransfer ke organ ovarium. Racun TTX pada telur yang dipijahkan
dari ovarium berfungsi untuk melindungi telur dari predator. Selain itu, ketika
ada predator ikan buntal akan menggelembungkan dirinya 2-3 kali ukuran normal
dan racun TTX akan diekskresikan dari kulit untuk mengusir musuh. Tetrodotoksin
(TTX) memiliki struktur kimia yang unik dan mampu secara spesifik memblokade
alur pengionan natrium melalui eksitabilitas membran sel, namun belum banyak
yang dapat diketahui mengenai biogenesis dan metabolismenya di dalam inang
hewan seperti ikan buntal. Sedikitnya infromasi mengenai ini sebagian
dikarenakan sukarnya menyiapkan, baik secara biosintesis maupun kimiawi, racun
berlabel isotop yang sesuai untuk mempelajari metabolismenya. Selain itu,
kendala dalam reduksi toksisitas pasca memodifikasi struktur kimianya juga
turut mempersulit pemantauan metabolisme dan prekursor TTX dengan metode
bioassay.
Struktur kimia
untuk (dimulai kiri atas, searah jarum jam) a. tetrodotoksin, b. asam
tetrodonic, c. 4-epl tetrodotoksin dan d. anhidrotetrodotoksin.
Dalam
aspek kimia pada ekologi laut,tidak hanya membahas tentang biota laut yang
memproduksi zat kimia untuk mencegah serangan predator, tetapi juga
mengungkapkan substansi kimia sebagai media perantara berbagai interaksi inter
dan intra-spesifik dalam predasi, kompetisi, simbiosis-mutualisme, proses
reproduksi, serta interaksi suatu organisme dengan lingkungan fisiknya
(Stachowicz, 2001). Metabolit sekunder bagi hewan laut berperan membantu dalam
pencarian makanan, pengenalan dengan populasinya, penentuan habitat dan
pasangan simbiotik yang sesuai. Selain fungsi tersebut, Stachowicz (2001)
melaporkan bahwa metabolit sekunder juga berperan dalam pengaturan dan
sinkronisasi siklus reproduksi, serta pemberi sinyal jika ada predator yang
membahayakan. Sebagian kecil invertebrata laut menghasilkan sendiri substansi
kimia untuk pertahanan diri. Sebagian besar hewan kelompok ini memanfaatkan zat
kimia yang dihasilkan oleh organisme lain, atau mengembangkan hubungan
simbiotik dengan organisme penghasil senyawa aktif (defensive compound).
Metabolit sekunder adalah senyawa yang disintesis oleh makhluk hidup bukan
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, akan tetapi digunakan untuk mempertahankan
eksistensinya dalam berinteraksi dengan ekosistem (Sumaryono, 1994). Metabolit
sekunder dihasilkan oleh organisme untuk melindungi diri dari dari organisme
lain (predator) dengan cara menghambat ataupun membunuhnya. Tujuan dari
pembentukan metabolit sekunder tetap merupakan sesuatu yang belum banyak
diketahui, tetapi banyak ahli berpendapat bahwa metabolit sekunder merupakan
produk detoksikasi dari metabolit yang beracun dan tidak dapat dibuang oleh
organisme tersebut (Mannito, 1981).
Pada
prinsipnya cara pendeteksian dan penghindaran diri dari predator dapat
dilakukan oleh invertebrata laut dengan cara :
1.Mengeluarkan
zat kimia dari tubuhnya secara aktif sebagai sinyal terhadap adanya predator
yang mendekat.
2.Mengeluarkan
zat kimia secara pasif, artinya zat kimia terpancar jika predator sudah melukai
tubuh invertebrata.
3.Mengenali
bau yang secara langsung ditimbulkan oleh predator Biosintesis metabolit
sekunder sangat beragam tergantung dari goIongan senyawa yang bersangkutan.
Jalur yang biasanya dilalui dalam pembentukan metabolit sekunder ada tiga
jalur, yaitu jalur asam asetat, jalur asam sikimat, dan jalur asam mevalonat.
JaIur asam
asetat poliketida
meliputi golongan yang besar bahan alami yang digolongkan bersarna berdasarkan
pada biosintesisnya. Poliketida adalah senyawa fenol yang berasal dari jalur
asetatmalonat, mempunyai kerangka dasar aromatik yang disusun oleh beberapa
unit yang terdiri dari dua atom C. Senyawa poliketida merupakan suatu rantai
poliketometilen [-(CH2 – CO) n-]. Metabolit sekunder yang merupakan turunan
poliketida antara lain : quinon, benzophenon & xanthone, depsine &
depsidon, aflatoksin, tetrasiklin dan antibiotik makrolida. Keanekaragaman
struktur dapat dijelaskan sebagai turunan rantai poli-ß-keto, terbentuk oleh
koupling unit-unit asam asetat (C2) via reaksi kondensasi, misalnya n CH3CO2H
[CH3C0] n – Termasuk poliketida adalah asam temak, poliasetilena,
prostaglandin, antibiotika makrolida, dan senyawa aromatik seperti antrakinon
dan tetrasiklina. Pembentukan rantai poliß-keto dapat digambarkan sebagai
sederet reaksi Claisen, keragaman melibatkan urutan ß-oksidasi dalam
metabolisme asam lemak. Jadi, 2 molekul asetil-KoA dapat ikut serta datam
reaksi Claisen membentuk asetoasetil-KoA, kemudian reaksi dapat berlanjut
sampai dihasilkan rantai poli-ß-keto yang cukup. Akan tetapi studi tentang
enzim yang terlibat dalam biosintesis asam Iemak belum terungkap secara rinci.
Namun demikian, dalam pembentukan asam lemak melibatkan enzim asam Iemak sintase
seperti yang dibahas di atas.
Jalur asam
sikimat
merupakan jalur alternatif menuju senyawa aromatik, utamanya L-fenilalanin.
L-tirosina. dan L-triptofan. Jalur ini berlangsung dalam mikroorganisme dan
tumbuhan, tetapi tidak berlangsung dalam hewan, sehingga asam amino aromatik
merupakan asam amino esensial yang harus terdapat dalam diet manusia maupun
hewan. Zantara pusat adalah asam sikimat, suatu asam yang ditemukan dalam
tanaman IlIicium sp. beberapa tahun sebelum perannya dalam metabolisme ditemukan.
Asam ini juga terbentuk dalam mutan tertentu dari Escherichia coli. Adapun
contoh reaksi yang terjadi dalam biosintesis asam polifenolat tercantum dalam
Gambar 3 — 7. Dalam biosintesis L-triptofan dan asam 4-hidroksibenzoat juga
terjadi zantara asam korismat. Jalur shikimat menghasilkan metabolit sekunder
antara lain : cinnamic acid, gallic acid, dan senyawa-senyawa aromatik.
Jalur asam
mevalonat
(jalur isoprenoid) Jalur mevalonat merupakan salah satu jalur biosintesa
metabolit sekunder dengan precursor berupa senyawa lima atom C yang bercabang
seperti tergambar di bawah ini. Metabolit sekunder yang merupakan turunan dari
mevalonat meliputi : terpen, steroid dan karotenoid. Terpenoid merupakan bentuk
senyawa dengan keragaman struktur yang besar dalam produk alami yang diturunkan
dan unit isoprena (C5) yang bergandengan dalam model kepala ke ekor
(head-to-tail), sedangkan unit isoprena diturunkan dari metabolisme asam asetat
oleh jalur asam mevalonat (mevalonic acid : MVA). Terdapat 3 jenis metabolit acid:
1.
Metabolit turunan asam amino Beberapa contoh metabolit sekunder turunan asam
amino adalah jenis-jenis antibiotik, seperti : cycloserine, antibiotik β lactam
(penicillin, cephalosporin), antibiotik peptida (bacitracin) dan chromopeptida
(actinomycin).
2.
Metabolit turunan langsung dari karbohidrat Contoh metabolit sekunder yang
merupakan turunan langsung dari karbohidrat sebagai precursornya adalah
mannitol dan gluconic acid. Metabolit-metabolit sekunder tersebut diturunkan
secara langsung dari glukosa tanpa memecah rantai karbonnya
3.
Metabolit hasil kombinasi biosintesis a. Asam amino – isoprenoid Sebuah unit
beratom C5 dari dimetilalil difosfat seringkali digabungkan dengan sebuah
struktur yang diturunkan dari satu atau lebih asam amino (triptofan dan
metionin), contohnya : ergot alkaloid pada Claviceps sp. Selain itu penggabungan
antara asam amino triptofan, sebuah isoprenoid dan dua unit asetat pada
Penicillium cyclopium menghasilkan cyclopiazonic acid (suatu mikotoksin) b.
Poliketida – isoprenoid Contoh: antibiotik siccanin yang dihasilkan oleh
Helminthosporium siccans c. Poliketida – komponen siklus Krebs Penicillium
spiculisporum dapat menghasilkan decylcitrat yang merupakan substitut dari asam
sitrat atau asam homositrat. Decylcitrat dihasilkan dari penggabungan antara
lauroil-CoA (poliketida) dan asam oksaloasetat (komponen siklus Krebs).
Organisme laut yang mempunyai struktur pergerakan fisik terbatas mampu
mengembangkan berbagai sistem mekanisme pertahanan diri mereka dari predator
dan harus berkompetisi untuk mendapatkan ruang tumbuh, sinar dan makanan
(Harbone, 1994). Banyak organisme laut mengembangkan sistem mekanisme pertahan
diri dengan memproduksi toksin atau senyawa bioaktif (metabolit sekunder) yang
secara fungsional belum diketahui (Amsler et al., 2001). Metabolit sekunder
diturunkan secara biosintetik dari metabolit primer dan umumnya berfungsi untuk
mempertahankan diri terhadap keadaan lingkungan yang tidak menyenangkan,
terhadap perusakan, serangan dari luar dan sebagainya (Romimohtarto dan Juwana,
2001). Metabolit sekunder pada mulanya diasumsikan sebagai hasil samping atau
limbah dari organisme sebagai akibat dari produksi metabolit primer yang
berlebihan. Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, terbukti bahwa
metabolit sekunder diproduksi oleh organisme sebagai respon terhadap
lingkungannya (William et al., 1989 dalam Murniasih, 2005). Biota laut yang
mempunyai pergerakan fisik terbatas, dalam hal ini adalah gastropoda pada
umumnya mampu mengembangkan sistem pertahan diri dengan memproduksi senyawa
kimia (chemical defense). Senyawa kimia yang dihasilkan oleh invertebrata laut
ini biasanya berguna untuk mempertahankan diri dari predator, media kompetisi,
mencegah infeksi bakteri hingga mencegah sengatan sinar ultraviolet (Harper et
al., 2001) .
Cara Memasak
Ikan Buntal
1.
Ada banyak spesies ikan buntal. Mereka tidak sembarangan memasak ikan buntal
jenis apa pun. Para chef profesional berlisensi hanya menggunakan torafugu atau
tiger puffer. Jenis ini memiliki kandungan racun yang lebih sedikit dibanding
jenis ikan buntal lainnya.
2.
Pertama, buang kulitnya. Mereka mengiris kulir bagian mulut dan menarik
kulitnya seperti menguliti kaki kambing.
3.
Mereka kemudian akan mencuci hingga tak ada lagi lendir atau yang mereka sebut
dengan jeli. Kemudian, lumuri dengan garam.
4.
Untuk menghilangkan duri, mereka menahan kulit ikan buntal, dan memotong duri
menggunakan pisau tajam, dalam sekali gerakan. Mungkin, kalau dibayangkan, ini
seperti kamu mempreteli biji jagung, ya?
5.
Buang mata ikan buntal.
6.
Nah, sekarang bagian yang paling penting dan harus tepat; membelah. Hati-hati,
kamu harus tahu letak hati dan ovarium. Karena kedua organ tersebut paling
banyak kandungan racunnya. Kalau salah langkah dan kamu memecahkan kedua organ
tersebut, racun itu akan keluar dan menyebar ke seluruh bagian ikan.
7.
Setelah sudah membuang organ dalam yang sangat beracun, sekarang kamu bisa
mengiris daging ikan buntal. Nah, bagian ini juga memerlukan kehati-hatian.
Pasalnya, tak semua orang Jepang juga bisa mengiris daging ikan untuk sashimi.
Pokoknya, mereka yang sudah lihai kemudian mengiris daging ikan buntal sangat
tipis hingga tersisa tulangnya saja.
8.
Kemudian, sang koki akan membelah kepala ikan buntal menjadi dua atau tiga
bagian. Bagian ini hanya bisa dimakan setelah direbus saja. Tapi ingat, jangan
mencoba di rumah, ya! Kamu harus tetap punya lisensi resmi sebelum boleh
menyajikan fugu.
Daftar Pustaka
https://www.fimela.com/lifestyle-relationship/read/2502923/ini-8-langkah-yang-dilakukan-koki-saat-memasak-ikan-buntal
Wibowo
A., T. Anggraini., A. Pertiwiningrum., dan S. Triatmojo. 2016. Eco Leather
Penyamakan Ikan Buntal. Yogyakarta: ATK Press Hal. 1-107
Post a Comment for "Buntal Beracun, Berbahayakah Jika Dimakan? Berikut Penjelasannya"