Udang yang hidup ditambak air payau ada beberapa
jenis, yaitu udang windu (Penaeus monodon), udang vaname (Litopenaeus
vannamei), udang putih (Penaeus merguiensis) dan lain-lain. Secara alami, benih
udang masuk ke dalam tambak bersama air pasang dari laut sehingga biasa disebut
udang laut. Udang (golongan crustacea) yang datang ke laut banyak yang berasal
dari keluarga panaeidae (Suyanto dan Takarina, 2009).
Udang
vaname (Litopenaeus vannamei) saat ini telah banyak dibudidayakan di Indonesia.
Para pembudidaya sudah banyak beralih ke udang vaname karena merupakan
komoditas ekspor serta memiliki permintaan pasar yang cukup tinggi. Produksi
udang vaname juga menunjukkan peningkatan. Pada periode tahun 2009 – 2013,
menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2013) produksi udang vaname
mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2009, jumlah produksi
mencapai 170.969 ton. Pada tahun 2010, mengalami peningkatan menjadi sebesar
205.578 ton. Pada tahun 2011 dan 2012 masing-masing mengalami peningkatan
menjadi sebesar 246.420 dan 251.763 ton. Pada tahun 2013 mengalami peningkatan
produksi yang cukup besar yakni menjadi sebesar 386.314 ton.
Udang
vaname (L. vannamei) adalah salah satu spesies udang yang bernilai ekonomis dan
merupakan salah satu komoditas unggulan nasional. Udang vaname memiliki
beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan udang windu, yaitu dapat
dipelihara dengan kisaran salinitas yang lebar (0,5-45 0⁄00 ), dapat ditebar
dengan kepadatan yang tinggi hingga lebih dari 150 ekor/m2, lebih resisten
terhadap kualitas lingkungan yang rendah karena udang memiliki sifat euryhaline
yang artinya udang dapat hidup pada kisaran salinitas lebar. Hal ini sesuai
pendapat Bray, et al. (1994) bahwa salah satu kelebihan udang vaname yaitu
bersifat eurihalin, udang ini mampu hidup pada perairan dengan salinitas
sekitar 0,5-45 0⁄00 , dan waktu pemeliharaan lebih pendek yakni sekitar 90-100
hari per siklus (Hudi dan Shahab 2005). Udang vaname juga memiliki nafsu makan
yang tinggi dan dapat memanfaatkan kadar protein rendah, udang putih
membutuhkan pakan dengan kadar protein 20%-35% (Briggs et al., 2004), sehingga
pada sistem budidaya dengan pola semi intensif biaya pakan dapat diminimalisir
(Burhanuddin, 2009). Karena keunggulan-keunggulannya tersebut, udang vaname ini
memiliki prospek yang baik untuk dibudidayakan.
Namun,
udang vaname juga memiliki kelemahan, salah satunya juga sering terserang
berbagai penyakit. Menurut Arafani, et al. (2016), pada budidaya udang vaname
kemunculan penyakit merupakan kerugian besar, berbagai penyakit akibat infeksi
bakteri dan virus menyebabkan budidaya terganggu. Virus bercak putih atau white
spot syndrome virus (WSSV) merupakan salah satu penyakit yang paling mengancam
industri tambak udang dan krustasea lainnya di seluruh dunia. Penyakit WSSV
pada udang menyebabkan gagal panen, menurunkan minat petambak untuk melakukan
budidaya udang, serta mematikan tambak-tambak produktif. Virus ini termasuk
genus Whispovirus dari famili Nimaviridae dengan amplop triminar. WSSV merupakan
virus jenis double-standed DNA (dsDNA) yang memiliki virion yang besar (80 –
120 x 250 – 380 nm) dan berbentuk batang/elips. Vektor WSSV yaitu rotifer,
moluska, cacing polychaeta, crustacean termasuk Artemia salina, copepoda,
isopoda dan larva Euphydradae.
WSSV
memiliki kemampuan menimbulkan penyakit (virulensi) yang sangat tinggi. Udang
yang terinfeksi dapat mengalami kematian masal beberapa hari setelah terjadinya
infeksi. WSSV menjadi semakin sulit diatasi karena banyaknya inang jenis
krustacea yang dapat berfungsi sebagai reservoir alami (Hossain, et al., 2001),
kemampuannya yang cukup lama untuk bertahan dilingkungan, serta minimnya
pengetahuan tentang virus ini pada level molekuler. Penyakit bintik putih telah
diketahui disebabkan oleh virus WSSV dan teknik deteksi menggunakan PCR
(Polymerase Chain Reaction) telah dikembangkan untuk diagnosa cepat agar dapat
mencegah masuknya virus pada sistem budidaya.
Berdasarkan
hal di atas, untuk mengatasi permasalahan infeksi virus di tambak, perlu
dilakukan upaya untuk mendeteksi secara cepat dan akurat serta seleksi terhadap
udang yang dibudidayakan. Salah satu cara untuk mendeteksi penyakit WSSV
tersebut dapat dilakukan dengan deteksi gen dari agen pembawa penyakit tersebut
dengan menggunakan metode berbasis DNA seperti PCR (Polymerase Chain Reaction).
PCR mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan metode diagnosa lain, antara
lain spesifik (mampu mendeteksi suatu pathogen penyebab penyakit pada tingkat
DNA, sensitif (mampu mendeteksi penyakit dalam tahap subklinis atau carrier),
cepat (keseluruhan proses pemeriksaan penyakit dengan metode PCR dapat
diselesaikan dalam waktu 5 jam), efisien (PCR dapat melakukan pemeriksaan
terhadap 48-96 sampel sekaligus) dan praktis (hanya menggunakan satu alat saja
dapat memeriksa penyakit udang. Deteksi dini dengan menggunakan teknik PCR
terhadap berbagai virus terutama virus WSSV menjadi kunci dalam keberhasilan
budidaya udang vaname di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Jawa
Tengah. Pengujian PCR dapat juga digunakan saat menyeleksi benur siap tebar di
tambak, sehingga benur berkualitas karena bersifat Specific Pathogen Free
(SPF).
MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud
dari Praktik Kerja Magang (PKM) ini adalah untuk membandingkan dan menerapkan
teori yang telah diterima selama perkuliahan dengan kondisi di lapang, serta
sebagai pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan mengenai deteksi white spot
syndrome virus (WSSV) pada udang vaname (L. vannamei) di Balai Besar Perikanan
Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, Jawa Tengah.
Adapun
tujuan dari praktik kerja magang ini, yaitu mengetahui proses deteksi dini
terhadap virus WSSV pada udang vaname dengan menggunakan metode PCR (Polymerase
Chain Reaction).
KEGUNAAN
Kegunaan
dari Praktik Kerja Magang ini adalah untuk menambah pengetahuan, pengalaman,
dan ketrampilan tentang masalah-masalah yang dihadapi dalam kegiatan magang
serta sebagai sumber informasi untuk penelitian lebih lanjut bagi deteksi White
spot syndrome virus (WSSV) pada udang vaname (Litopenaeus vannamei).
WAKTU DAN TEMPAT
Praktik
Kerja Magang (PKM) ini dilaksanakan di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau
(BBPBAP) Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 25 Juni sampai 10 Agustus 2018.
TINJAUAN PUSTAKA
KLASIFIKASI DAN
MORFOLOGI UDANG VANAME (LITOPENAEUS VANNAMEI)
Klasifikasi
udang vaname menurut Wyban dan Sweeney (1991) adalah sebagai berikut:
Phylum :
Arthropoda
Class : Crustacea
Subclass :
Malacostracea
Seri :
Eumalacostraca
Superordo :
Eucarida
Ordo :
Decapoda
Subordo :
Dendrobrachiata
Infraordo :
Penacidea
Superfamily : Pecidea
Family : Penaeidae
Genus : Penaeus
Subgenus :
Litopenaeus
Spesies :
Litopenaeus vannamei
Menurut
Manoppo (2011), tubuh udang vaname berwarna putih transparan sehingga lebih
umum dikenal sebagai “White shrimp”. Tubuh sering berwarna kebiruan karena
lebih dominannya kromatofor biru. Panjang tubuh dapat mencapai 23 cm. Udang
vaname dapat dibedakan dengan spesies lainnya berdasarkan pada eksternal
genitalnya. Panjaitan (2012) menambahkan bahwa udang vaname mempunyai tubuh
beruas-ruas seperti udang penaeid lainnya, dimana pada tiap ruasnya terdapat
sepasang anggota badan. Udang vaname termasuk ordo decapoda yang dicirikan
memiliki sepuluh kaki terdiri dari lima kaki jalan dan lima kaki renang. Tubuh
udang vaname secara morfologis dibedakan menjadi dua bagian yaitu cephalotorax
atau bagian kepala dan dada serta bagian abdomen atau perut. Bagian
cephalotorax terlindung oleh kulit chitin yang tebal disebut carapace. Secara
anatomi cephalotorax dan abdomen terdiri dari segmen-segmen atau ruas-ruas,
dimana masing-masing segmen tersebut memiliki anggota badan yang mempunyai
fungsi sendiri-sendiri. Morfologi udang vaname dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar
1. Udang vaname (Litopenaeus vannamei) (Amri dan Kanna, 2008).
HABITAT UDANG VANAME
(L. VANNAMEI)
Habitat
udang vaname usia muda adalah air payau, seperti muara sungai dan pantai.
Semakin dewasa udang jenis ini semakin suka hidup di laut. Ukuran udang
menunjukan tingkat usai. Dalam habitatnya, udang dewasa mencapai umur 1,5
tahun. Pada waktu musim kawin tiba, udang dewasa yang sudah matang telurnya
atau calon spawner berbondong-bondong ke tengah laut yang dalamnya sekitar 50
meter untuk melakukan perkawinan. Udang dewasa biasanya berkelompok dan
melakukan perkawinan, setelah betina berganti cangkang (Nadhif, 2016).
Di
alam udang ini menyukai dasar berlumpur pada kedalaman dari garis pantai sampai
sekitar 72 m. Hewan ini juga telah ditemukan menempati daerah mangrove yang
masih belum terganggu. Udang ini nampaknya dapat beradaptasi dengan perubahan
temperatur dan tekanan di alam. Udang vaname dapat beradaptasi dengan baik pada
level salinitas yang sangat rendah (Manoppo, 2011).
PENYAKIT YANG BIASA
MENYERANG UDANG VANAME (L. VANNAMEI)
Akhir-akhir
ini muncul beberapa penyakit yang menyerang udang. Telah diketahui adanya
infeksi penyakit oleh virus atau virus-like pada komoditas udang di Indonesia,
terutama oleh white spot baculo virus (WSBV) dan monodon baculo virus (MBV),
yang saat ini sering disebut dengan penyakit bercak putih atau white spot
syndrome virus (WSSV). Kematian udang pada usia satu sampai dua bulan di tambak
sudah menjadi hal yang umum sebagai akibat serangan virus bercak putih, yang
mengakibatkan ribuan hektar tambak tidak bisa berproduksi lagi. Hal ini
berdampak terhadap kerugian negara yang diperkirakan mencapai 2,5 trilyun
rupiah per-tahun. Pada tambak udang, virus ini bisa mengakibatkan total
kematian 100% pada 2 sampai 10 hari penyerangan. Mekanisme penyerangan WSSV ke
tubuh udang awalnya bersifat intrasitoplasmik masuk ke dalam sel inang,
kemudian pada tingkat serangan yang lebih tinggi deoxyribonucleic acid (DNA)
virus masuk ke dalam DNA inang dan mengambil alih proses transkripsi dan
translasi sesuai proses dalam DNA virus. Pada tahap transkripsi dan translasi
tersebut gen WSSV mengekspresikan suatu protein non struktural yang dinamakan
protein ICP11, yang diduga sangat berperan pada infeksi WSSV (Kilawati dan
Maimunah, 2015).
Model
Morphogenesis white spot syndrome virus (WSSV) pada sel inang penularan virion
WSSV menggunakan selubung protein dengan motif penyerangan sel. WSSV masuk
kedalam sel. Selubung viron WSSV menyatu dengan endosome dan nukleokapsid
telanjang yang terangkut dalam nukleus, seperti pada baculovirus, Nukleokapsid
telanjang WSSV menyerang membran nukleus, dan genome WSSV dilepaskan dalam
nucleus. Genome WSSV mulai mereplikasi, Dalam sitoplasma, mitokondria mulai
mengalami kerusakan. Dalam nukleus stroma virus awalnya kelihatan seperti
materi bebas yang berisi butir-butiran kecil. Sel kromatin terakumulasi dekat
membran nukleus dan Retikulum Endoplasma Kasar (REK) yang membesar dan aktif,
Dinding kromatin terjadi perubahan dalam zona cincin yang tebal. Stroma virus
dengan kepadatan rendah mulai membentuk gelembung yang akan terbentuk selubung
virus. Gelembung mungkin terbentuk dengan membran materi yang dibentuk dalam
zona cincin, seperti pada baculovirus, Partikel WSSV yang baru terkumpul dalam
nukleus yang didalamnya ada elektron dense. Selubung yang kosong akan diisi
dengan nukleus akan terganggu, Virion WSSV telah kompit bentuknya dan siap
untuk lepas dari sel yang terinfeksi untuk memulai siklus dalam sel lain yang
dapat diinfeksi. Udang yang terinfeksi WSSV akan mengalami perubahan tingkah
laku yaitu menurunnya aktivitas berenang, berenang tidak terarah, dan sering
kali berenang pada salah satu sisinya saja. Selain itu udang cenderung
bergerombol di tepi tambak dan berenang ke permukaan. Pada fase akut terdapat
bercak-bercak putih pada karapas dengan diameter 0.5 – 3.0 mm, dan bercak putih
ini pertama kali muncul pada cephalothorax, segmen ke 5 dan ke 6 dari abdominal
dan terakhir menyebar keseluruh kutikula tubuhnya. Pada kasus WSSV adanya
bintik atau spot putih pada bagian karapas sudah menjadi tanda umum, tetapi
pada induk udang warnanya menjadi merah. Udang yang terserang penyakit ini
dalam waktu singkat dapat mengalami kematian (Mahardika, et al., 2004).
WHITE SPOT SYNDROME
VIRUS (WSSV)
KLASIFIKASI DAN
MORFOLOGI
White
spot syndrome virus atau virus penyebab bercak putih ini diberi nama system ectodermal
and mesodermal baculovirus karena virus ini menyerang organ yang berasal dari
jaringan ektodermal dan mesodermal, sedangkan Takasih et al, (1994) memberi
nama Baciliform virus karena virus ini berbentuk batang dengan ukuran 83-275 nm
(Wijayanti, 1999)
Sedangkan
menurut pendeteksian virus, virus ini tergolong ke dalam klasifikasi sebagai
berikut:
Famili : Nimriviridae
Genus : Whisporus
Spesies : White spot syndrome virus (WSSV)
Nama
Nimaviridae berasal dari bahasa latin yang berarti 1 benang atau perpanjangan
pada ujung partikel virus yang berbentuk
seperti ekor. Keberadaan ekor dan adanya perulangan pada genom DNA inilah yang
membuat mirip dengan kelompok baculovirus, namun secara filogenetik DNA
Nimaviridae berbeda dengan DNA virus pada umumnya (Vlak et al, 2002).
PATOGENITAS
Udang
yang terserang WSSV akan menunjukan gejala klinis berupa nafsu makan berkurang,
lemah, anoreksia, lethargi, bagian abdomen berwarna kemerahan dan bintik putih,
serta lepasnya kutikula dari tubuh (Bower, 1996).
Fase
awal infeksi WSSV adalah adanya bintik putih pada kulit yang menyebar ke
seluruh tubuh dan berkembang semakin banyak diikuti dengan melebarnya bintik
putih menjadi bercak (Rochman, 1995) Bercak putih timbul karena adanya deposit
kalsium oleh epidermis kutikula (Lighter, 1996) Menurut Techner (1995) bercak
putih timbul karena adanya deposit kasium oleh epidermis kutikula (Lighter,
1996) Menurut Techner (1995) bercak putih timbul karena adanya deposite.
METODE DETEKSI
PENYAKIT
Diagnosa
penyakit atau deteksi virus ini bisa dilakukan dengan beberapa teknik. Metode
yang sederhana dapat dilakukan menggunakan teknik histologi dengan pewarnaan
H&E. Metode lain adalah dengan metode molekuler yaitu Polymerase Chain
Reaction (PCR) dan Reverse Transcriptase- Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
dengan teknik yang lebih cepat dan tepat menggunakan spesifik primer. Selain
itu, saat ini telah tersedia beberapa kit komersial yang memudahkan dalam
proses pengerjaannya. Teknik terkini lainnya adalah Quantitative PCR (qPCR) ataupun
Quantitative RT-PCR (qRT-PCR) yang dapat mendeteksi secara kuantitatif dan
sangat akurat di dalam mendeteksi adanya infeksi (Koesharyani dan Gardenia,
2015).
Deteksi
secara molekuler merupakan metode deteksi yang sangat sensitif dan spesifik,
namun prosedur analisisnya mulai dari ektraksi DNA/RNA, amplifikasi dan
elektroforesis harus dikerjakan secara aseptis di dalam laboratorium yang
terkontrol dan memerlukan alat laboratorium yang khusus dan rumit. Tetapi
dengan berkembangnya metode diagnosa, saat ini telah ada teknik diagnosa
berbasis molekuler yang dapat dikerjakan langsung di lapangan “on the spot”
menggunakan Pockit (iiPCR) metode ini adalah salah satu teknik deteksi dengan
menggunakan portable-PCR (Rapid Test on the spot). Teknik ini dapat dengan
mudah dikerjakan oleh petani di lapangan (tambak atau hatchery) dan dapat
dikerjakan di luar laboratorium dengan proses amplifikasi yang bersifat
semi-kit tanpa proses elektroforesis dan hasil akhir secara kualitatif dapat
dilihat langsung pada mesin amplifikasi (Koesharyani dan Gardenia, 2015).
POLYMERASE CHAIN
REACTION (PCR)
DEFINISI DAN CARA
KERJA
PCR
(Polymerase Chain Reaction) adalah suatu teknik sintesis dan amplifikasi DNA
secara in vitro. Teknik ini pertama kali dikembangkan oleh Karry Mullis pada
tahun 1985. Teknik PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi segmen DNA dalam
jumlah jutaan kali hanya dalam beberapa jam. Dengan diketemukannya teknik PCR
di samping juga teknik-teknik lain seperti sekuensing DNA, telah merevolusi
bidang sains dan teknologi khususnya di bidang diagnosa penyakit genetik,
kedokteran forensik dan evolusi molekular (Handoyo dan Rudiretna, 2001).
PCR
merupakan teknologi yang mampu melipat gandakan sedikit fragmen DNA yang
terdapat dalam komplek makromolekul genom dari berbagai sumber (hewan,
tumbuhan, bakteri, dan virus) menjadi 2n kali lipatnya secara enzimatis.
Teknologi ini juga dikenal dengan tingkat sensitifitas yang cukup tinggi karena
hanya membutuhkan secuplik sampel DNA saja untuk mendapatkan jutaan kopi DNA
baru. Teknologi PCR sudah banyak digunakan pada penelitian hayati (kesehatan,
lingkungan, dan pertanian) yang kemudian juga pengurutan kode genetika manusia
berhasil diselesaikan, berbagai jenis obat-obatan baru ditemukan,
spesies-spesies baru berhasil diidentifikasi dan penanganan penyakit-penyakit
berbahaya seperti kanker dan penyakit menular bisa lebih dini dideteksi
(Budiarto, 2015).
KELEBIHAN DAN
KELEMAHAN PCR
Keunggulan
PCR dikatakan sangat tinggi. Hal ini didasarkan atas spesifitas, efisiensi dan
keakuratannya. Spesifitas PCR terletak pada kemampuannya mengamplifikasi
sehingga menghasilkan produk melalui sejumlah siklus. Keakuratan yang tinggi
karena DNA polymerase mampu menghindari kesalahan pada amplifikasi produk.
Masalah yang berkenaan dengan PCR yaitu biaya PCR yang masih tergolong tinggi.
Selain itu kelebihan lain metode PCR dapat diperoleh pelipatgandaan suatu
fragmen DNA (110 bp, 5x10-9 mol) sebesar 200.00 kali setelah dilakukan 20
siklus reaksi selama 220 menit. Reaksi ini dilakukan dengan menggunakan
komponen dalam jumlah sangat sedikit, DNA cetakan yang diperlukan hanya sekitar
5 µg oligonukleotida yang diperlukan hanya sekitar 1 mM dari reaksi ini biasa
dilakukan dalam volume 50-100 µl. DNA cetakan yang digunakan juga tidak perlu
dimurnikan terlebih dahulu sehingga metode PCR dapat digunakan untuk
melipatgandakan suatu sekuen DNA dalam genom bakteri hanya dengan mencampukan
kultur bakteri di dalam tabung PCR (Yusuf, 2010).
Menurut
Brookes (1999), metode PCR mempunyai kelemahan yaitu hanya bisa digunakan kalau
sudah diketahui informasi sekuens DNA yang hendak dikloning, sangat mudah
terkontaminasi, biaya peralatan reagen yang mahal, interpretasi hasil PCR yang
positif belum tervalidasi untuk semua penyakit infeksi (misalnya infeksi pasif
atau laten), serta teknik prosedur yang kompleks dan bertahap membutuhkan
keahlian khusus untuk melakukannya.
METODE PRAKTIK KERJA
MAGANG
METODE PELAKSANAAN
Metode
yang digunakan dalam Praktik Kerja Magang (PKM) ini adalah metode deskriptif.
Menurut Suryabrata (1991), metode deskriptif adalah suatu metode yang
menggambarkan keadaan atau kejadian-kejadian pada suatu daerah tertentu. Dalam
metode ini pengambilan data dilakukan tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan
penyusunan data, tapi meliputi analisis dan pembahasan tentang data tersebut.
Metode ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara umum, sistematis, aktual
dan valid mengenai fakta dan sifat-sifat populasi daerah
tersebut.Informasi-informasi yang akurat dan faktual perlu dicari untuk
menunjang terpenuhinya data yang dibutuhkan. Penggunaan metode deskriptif di
harapkan dapat menggali data-data mengenai deteksi WSSV pada udang vaname (L.
vannamei) dengan menggunakan PCR. Setelah data diperoleh, dianalisis dan
dilakukan verifikasi, kemudian data disusun untuk laporan kerja magang.
TEKNIK PENGUMPULAN
DATA
Pengumpulan
data pada Praktik Kerja Magang (PKM) ini dilakukan dengan dua macam data, yaitu
pengambilan data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dengan cara
mencatat hasil observasi, wawancara serta partisipasi aktif, sedangkan data
sekunder yaitu data atau informasi yang dikumpulkan dan dilaporkan oleh
seseorang untuk suatu tujuan tertentu maupun sebagai pengetahuan ilmiah.
DATA PRIMER
Data
primer merupakan data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian, dalam hal
ini data diperoleh dari informasi langsung dengan menggunakan instrumen yang
telah ditetapkan. Data primer dapat berupa observasi, wawancara serta
partisipasi aktif.
OBSERVASI
Menurut
Purhantara (2010), observasi merupakan pengamatan peneliti pada obyek
penelitiannya. Instrumen yang digunakan dapat berupa lembar pengamatan, panduan
pengamatan dan alat perekam. Data yang diperoleh melalui observasi sangat rinci
serta kaya dengan macam-macam informasi yang bila dilakukan secara lisan tidak mungkin diperoleh. Metode observasi ini
dibagi menjadi 2 yakni observasi langsung dimana peneliti secara langsung
mengamati apa yang ingin diperoleh sebagai data dan observasi tidak langsung
dimana peneliti menggunakan dokumentasi seperti: foto dan video dalam
pengumpulan data. Observasi yang dilakukan dalam Praktik Kerja Magang ini
antara lain, mengamati secara langsung bagaimana proses uji PCR untuk dapat
mendeteksi virus yang ada pada udang vaname. Observasi berarti mengumpulkan
data langsung dari lapangan. Proses observasi dimulai dengan mengidentifikasi
tempat yang hendak diteliti. Data yang didapatkan dari observasi berupa gambar
lokasi penelitian, gambar alat dan bahan, gambar prosedur percobaan dan gambar
hasil percobaan.
WAWANCARA
Wawancara
merupakan salah satu teknik pengumpulan data, dimana pelaksanaanya dapat
dilakukan secara langsung pada subyek atau responden. Menurut Purhantara (2010), wawancara adalah proses
percakapan dengan maksud untuk mengontruksi mengenai orang, kejadian dan kegiatan
yang dilakukan antara dua pihak, yaitu pewawancara dan responden. Wawancara
dilakukan bertujuan untuk memperoleh jawaban yang bertolak pada masalah
penelitian yang dilakukan. Wawancara yang dilakukan pada Praktik Kerja Magang
dengan melakukan tanya jawab langsung dengan kepala laboratorium, teknisi alat,
peneliti yang berada di Laboratorium Manajemen Kesehatan Hewan Akuatik (MKHA),
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara. Dari hasil wawancara
tersebut kemudian akan didapatkan data atau informasi awal mengenai prosedur
deteksi virus dengan teknik PCR, alat dan bahan yang digunakan, serta tahapan
atau proses yang akan dilakukan. Metode ini kebanyakan digunakan untuk
memperoleh informasi secara langsung, mendalam, tidak terstruktur, dan
individual. Data yang didapatkan dari proses wawancara adalah daftar alat
bahan, prosedur serta metode dan hasil dari penelitian sebelumnya jika ada.
PARTISIPASI AKTIF
Dalam
memperoleh informasi tidaklah cukup dengan cara obsevasi saja, hal ini juga dapat
dilakukan melalui partisipasi aktif untuk memperkuat data yang telah kita
peroleh sebelumnya. Sugiyono (2009), menyatakan bahwa dalam observasi
partisipasi, peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang
diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Sambil melakukan
pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data.
Dengan observasi partisipan ini, maka data yang diperoleh akan lebih lengkap,
rinci dan sampai mengetahui pada tingkat makna dari setiap perilaku yang
nampak. Dalam observasi partisipasi, peneliti mengikuti apa yang dikerjakan
orang, mendengarkan apa yang diucapkan narasumber dan berpartisipasi dalam
semua aktivitas. Kegiatan partisipasi aktif dalam praktik kerja magang ini,
yaitu kegiatan yang dimaksudkan meliputi persiapan sampel, pembuatan media,
deteksi WSSV menggunakan PCR.
DATA SEKUNDER
Data
sekunder adalah data atau informasi yang dikumpulkan dan dilaporkan oleh
seseorang sebagai pengetahuan ilmiah. Data ini biasanya diperoleh dari pustaka
atau laporan peneliti terdahulu. Menurut Sugiono (2009), data sekunder adalah
sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data bisa melalui
perantara orang lain maupun melalui dokumen. Dalam Praktik Kerja Magang (PKM)
ini, data sekunder diperoleh melalui melalui laporan-laporan pustaka serta data
yang diperoleh dari pihak lembaga pemerintah maupun masyarakat sekitar,
landasan teoritis dari buku-buku yang
berkaitan dengan pembahasan masalah atau dari informasi lain yang relevan yang
terkait dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Data sekunder tersebut
meliputi sejarah berdirinya lokasi dan letak geografis serta struktur
organisasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
KEADAAN UMUM LOKASI
PRAKTIK KERJA MAGANG
Secara
aspek ekonomi, persyaratan lokasi budidaya telah terpenuhi. Selain BBPBAP
Jepara dekat dengan pasar, BBPBAP Jepara terletak pada 3 km dari pusat kota
sehingga sarana produksi mudah diperoleh, sarana transportasi lancer,
komunikasi dengan para konsumen serta para distributor juga mudah, sehingga
dalam pemasaran komoditas mudah dilakukan. BBPBAP Jepara terletak di tepi
pantai laut Jawa, hal ini memenuhi secara aspek teknis, karena sumber air laut
terpenuhi sepanjang tahun namun bukan merupakan daerah banjir. Wilayah BBPBAP
Jepara terletak jauh dari pabrik atau tempat industri lainnya, sehingga air
yang digunakan juga terbebas dari sumber polutan.
Selain
itu, ketersediaan air tawar untuk kebutuhan budidaya juga tercukupi dengan
baik. Secara aspek sosial juga memenuhi persyaratan, yaitu terdiri dari
kompleks kampus 10 ha dan areal pertambakan 54.5472 ha. Kompleks kampus terdiri
dari perkantoran, perumahan, asrama unit pembenihan, laboratorium, dan lapangan
olahraga. Sehingga dibutuhkan banyak tenaga kerja dari penduduk sekitar BBPBAP
Jepara, meskipun mayoritas karyawan bukan berasal dari kota tersebut.
SEJARAH DAN LATAR
BELAKANG BERDIRINYA BBPBAP JEPARA
Pada
tahun 1971, diawali dengan berdirinya lembaga Research Center Udang (RCU) yang
berada di bawah Badan Penelitian dan Perikanan, Departemen Pertaniam. Sasaran
utamanya adalah meneliti siklus hidup udang windu (Penaeus monodon) dari proses
kematangan telur (gonad), perkembangan larva hingga dewasa secara terkendali
untuk selanjutnya dibudidayakan di tambak.
Pada
tahun 1978 berdasarkan SK Menteri Pertanian RI No. 306/Kpts/Org/5/1978 tentang
susunan organisasi dan tatalaksana balai, telah diatur dan ditetapkan lembaga
yang semula bernama Research Center Udang menjadi Balai Budidaya Air Payau
(BBAP). BBAP Jepara ini merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang berada di
bawah Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian. Seiring dengan
perkembangan kemajuan teknologi akuakultur, dimana komoditas yang dikembangkan
tidak hanya terbatas pada udang windu saja, tetapi juga komoditas ikan
bersirip, Echinodermata dan Molusca air.
Pada
periode ini BBAP Jepara telah berhasil menorehkan prestasi gemilang yang
menjadi pendorong bagi perkembangan industri udang secara nasional.
Keberhasilan yang diraih adalah dengan diterapkannya teknik pematangan gonad
induk udang dengan cara ablasi mata, sehingga hal tersebut dapat mengatasi
kesulitan penyediaan induk matang telur yang pada masa itu merupakan masalah
yang serius. Dengan keberhasilan penemuan teknik ablasi mata tersebut telah
berpengaruh positif terhadap perikanan usaha pembenihan (hatchery).
Selanjutnya
selain keberhasilannya dalam hal teknik ablasi mata, pada periode 1979-1988
BBAP Jepara juga telah berhasil melakukan pengkajian teknologi pembenihan udang
skala rumah tangga (backyard hatchery). Dalam waktu yang singkat usaha backyard
hatchery ini telah berkembang meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir dan
nelayan sekitar Jepara. Sejak tahun 1993 usaha ini mulai berkembang ke
daerah-daerah lain di Indonesia. Pada era masa kepemimpinan Presiden KH.
Abdulrahman Wahid telah dibentuk Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan yang
merupakan cikal bakal Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hingga akhirnya berdasarkan
SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. : 26C/MEN/2001, BBAP Jepara mengalami
perubahan nama dan status (eselonisasi) menjadi Balai Besar Perikanan Budidaya
Air Payau (BBPBAP), peningkatan status dari eselon III menjadi eselon II.
Kedudukan BBPBAP Jepara merupakan Unit Pelaksana Teknis yang secara
administrative dan teknis bertanggung jawab pada DIrektorat Jenderal Perikanan
Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (BBPBAP Jepara, 2017).
LETAK GEOGRAFIS DAN
KEADAAN SEKITAR
Balai
Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara terletak di Jalan CIk
Lanang, Desa Bulu, Kecamatan Jepara, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Telepon
(0291) 591125 dan FAX (0291) 591724. Website bbpbapjepara.djpb.kkp.go.id dan
alamat email bbpbapjpr@gmail.com Secara
astronomis, BBPBAP Jepara terletak pada 1100 390 11 BT dan 60 350 10 LS.
Kondisi topografinya adalah pantai dengan perairan berkarang, pasir landai,
dimana pada datarannya adalah cenderung liat sehingga air laut sesuai untuk
budidaya. BBPBAP Jepara terletak pada ketinggian antara 0.5 – 3 meter di atas
permukaan air laut. Daerah tersebut menjadi daerah yang bebas banjir pada musim
hujan. Batas-batas wilayahnya meliputi :
- Sebelah Utara : Pantai Utara Jawa
- Sebelah Selatan : Pantai Kartini
- Sebelah Timur : Desa Kauman
- Sebelah Barat : Pulau Panjang
STRUKTUR ORGANISASI
Penjelasan
struktur organisasi BBPBAP Jepara dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Organisasi BBPBAP Jepara
Dari
gambar struktur organisasi BBPBAP Jepara di atas, dapat disimpulkan struktur
BBPBAP Jepara termasuk dalam bentuk organisasi fungsional dan staff. Dimana
bentuk fungsional dalam pelaksanaannya kepala balai dapat memerintah langsung
kepada pelaksana kelompok fungsional dan
kelompok fungsional ini juga dapat berhubungan secara langsung kepada kepala
balai apabila dalam pelaksanaan mengalami hambatan maupun memberikan saran
dalam pelaksanaannya. Dalam hubungannya antara kepala balai dengan kepala sub
bagian tata usaha, kepala seksi pelayanan teknis dan informasi dan kepala seksi
sarana teknis tergolong dalam bentuk staff, dimana dalam pelaksanaannya kepala
memerintahkan kepada satuan organisasi di bawahnya dalam bidang pekerjaan
tertentu, pimpinan tiap bidang kerja berhak memerintahkan kepada pelaksana
sepanjang menyangkut bidang kerjanya.
Apabila
dalam pelaksanaannya mengalami hambatan maupun pelaksana ingin memberikan suatu
masukan sub bagian harus menyampaikan kepada kepala bagian untuk disampaikan
kepada kepala balai, sub bagian tidak berwenang untuk berhubungan secara
langsung kepada kepala balai. Bentuk organisasi fungsional dan staff sesuai
dengan pendapat Sutarto (1991) yang menyatakan bahwa bentuk organisasi
fungsional dan staff adalah suatu organisasi yang wewenang dari puncak pimpinan
dilimpahkan kepada satuan-satuan organisasi di bawahnya dalam bidang pekerjaan
tertentu, pimpinan tiap bidang kerja dapat memerintah semua pelaksana yang ada
sepanjang menyangkut bidang kerjanya dan di bawah puncak pimpinan atau pimpinan
satuan diangkat pejabat yang tidak memiliki wewenang komando tetapi hanya dapat
memberikan nasehat tentang bidang keahlian tertentu.
TUGAS DAN FUNGSI
BBPBAP JEPARA
Tugas
pokok Laboratorium MKHA BBPBAP Jepara antara lain :
1.
Melayani diagnosa penyakit (biomolekuler)
2.
Merekomendasikan dan menerapkan teknik pengendalian HPI serta pengelolaan lingkungan budidaya secara sistematis, komprehensif, terintegrasi dan
terkoorinasi
3.
Memantau daerah sebaran dan perkembangan HPI wilayah kerjanya dan menyimpan
data sebagai data standart
4.
Menyediakan dan menyebarkan teknologi pengendalian HPI
5.
Mengoperasionalkan laboratorium terkait dan menyediakan informasi status
penyakit ikan di wilayah kerjanya
6.
Menguji penggunaan bahan kimia/antibiotik/herbal therapy dan material lainnya
7.
Melakukan pengambilan dan penyimpanan specimen untuk dikoleksi dan mengiriim ke
laboratorium rujukan
8.
Memonitor kesehatan ikan dan lingkungan dilakukan secara berkala, aktif dan
proaktif terhadap kasus penyakit
9.
Melaporkan hasil monitoring HPI dan lingkungan secara berkala dan insidentil
Laboratorium
hama dan penyakit ikan BBPBAP Jepara juga memiliki fungsi untuk melakukan
pemeriksaan dan pengujian hama dan penyakit ikan yakni dari golongan penyakit
viral, bacterial, cendawan maupun parasit. Laboratorium tersebut mencakup
laboratorium biologi molekuler, laboratorium parasitology dan laboratorium
basah.
Metode
pemeriksaan dan pengujian hama dan penyakit ikan yang dilakukan di Laboratorium
Pengujian Mutu Perikanan Budidaya BBPBAP Jepara meliputi pemeriksaan gejala
klinis, identifikasi, isolasi bakteri, virus maupun jamur, baik dengan uji
biokimia, konvensional, histopatologi, imunologi dan biologi molekuler dengan
PCR. Pengelolaan sampel di laboratorium bisa dilihat pada Lampiran 1.
LABORATORIUM
MANAJEMEN KESEHATAN HEWAN AKUATIK (MKHA)
Laboratorium
Biologi Molekuler merupakan laboratorium yang menjadi bagian dari Laboratorium
Kesehatan Hewan Akuatik di BBPBAP Jepara. Peralatan yang terdapat pada
laboratorium MKHA sebagai berikut:
ALAT DAN BAHAN
ALAT
Alat-alat
yang digunakan untuk mengambil histopatologi ikan antara lain (Lampiran 6):
- Lemari
Es : untuk tempat penyimpanan sampel.
- Autoclave : untuk sterilisasi alat dan bahan.
- Sentrifuge
10.000 rpm : untuk memisahkan supernatan.
- Thermall
Cycler : untuk penggandaan DNA dan RNA.
- Inkubator : untuk inkubasi sampel.
- Laminary
air flow : untuk tempat melakukan
kegiatan ekstraksi DNA.
- Timbangan
digital : untuk menimbang bubuk agarose.
- Oven : untuk mencairkan agarose yang
memadat.
- Micropipet :
untuk pemindahan larutan sampel skala microlit.
- Keranjang
alat : untuk tempat blue,
yellow dan white tip.
- Cetakan
agar : untuk pembuatan sumur pada agarose.
- Gunting : untuk
menghaluskan dan memotong sampel.
- Pinset : untuk
pemindahan sampel benur udang.
- Gayung
air : untuk pengambilan
air.
- Pellet
pastel : untuk
menghaluskan sampel saat ekstraksi DNA.
- Spin
down : untuk perlakuan
putaran agar seluruh komponen berada di bawah tabung
- Bunsen : untuk tempat spiritus.
- Blue
Tip : untuk
dipasangkan dengan mikropipet kapasitas volume maksimal 1.000 µl dengan
ketelitian 1µl.
- Tangki
elektroforesis : untuk menghantarkan
arus listrik dan terjadi running DNA target.
- UV
Transimmulator : untuk menvisualkan
DNA setelah di loading atau running dalam DNA elektroforesis
- Toples
supernatan : untuk tempat pembuangan
supernatan.
- Saringan
sampel : untuk menyaring benur
udang.
- Tube
eppendorf : untuk tempat sampel
yang akan di ekstraksi.
- Rak
mikrotube : untuk tempat
mikrotube.
- Yellow
tip : untuk dipasangkan
dengan mikropipet yang memiliki kapasitas volume 5-10 µl dan memiliki tingkat
ketelitian hingga 0,05 µl.
- Refraktometer : untuk alat ukur salinitas
perairan.
- pH
meter : untuk alat
ukur pH perairan.
- DO
meter : untuk alat
ukur DO perairan.
BAHAN
Bahan-bahan
yang digunakan untuk pengamatan histopatologi ikan antara lain (Lampiran 7):
- Akuades : sebagai pemudar warna.
- Kantong
plastik : sebagai tempat
sampel udang.
GT
buffer : sebagai
penjaga struktur DNA selama proses
Penghancuran
dan purifikasi sehingga memudahkan penghilangan protein dan RNA.
- Bubuk
agarose : sebagai bahan
pembuat gel agarose.
- Larutan
TBE : sebagai perendaman gel agarose selama proses elektroforesis.
- Nuclease
free water : sebagai pelarut.
- Sarung
tangan : sebagai pelindung tangan.
- Alkohol
70 % : sebagai peluruh lemak dan protein.
- Larutan
Etbr : sebagai bahan yang digunakan untuk
memvisualisasi
potongan-potongan DNA selama proses
elektroforesis
- Tisue : sebagai pembersih sisa
larutan
- Marker : sebagai bahan yang berfungsi untuk
mengetahui Ukuran DNA hasil amplifikasi
SARANA DAN PRASARANA
LABORATORIUM MANAJEMEN KESEHATAN HEWAN AKUSTIK (MKHA)
Selain
didukung tenaga kerja yang cekatan dan professional. Laboratorium MKHA BBPBAP
Jepara juga didukung sarana dan prasarana yang memadai.
SARANA LABORATORIUM
MKHA
Adapun
sarana yang dalam menunjang kegiatan di Laboratorium MKHA meliputi :
- Laboratorium
Mikrobiologi,
berfungsi sebagai ruang untuk mengamati, menganalisa dan menguji kasus-kasus
penyakit yang diakibatkan oleh penyakit backterial, seperti bakteri Vibrio.
- Laboratorium
Biologi Molekuler,
berfungsi sebagai ruang untuk mengamati, menganalisa dan menguji kasus-kasus
penyakit ikan/udang yang diakibatkan oleh penyakit viral seperti WSSV, TSV,
IMNV, IHHNV, VNN, YHV, KHV, MBV, MrNV dan Iridovirus.
- Laboratorium Parasit, berfungsi sebagai
ruang untuk mengamati, menganalisa dan menguji kasus-kasus penyakit yang
diakibatkan oleh parasit seperti cacing, caligus dan lain-lain.
- Laboratorium
Histopatologi,
berfungsi sebagai ruang untuk mengamati, menganalisa dan menguji kasus-kasus
penyakit yang diakibatnya terhadap kerusakan jaringan.
- Laboratorium Basah, berfungsi sebagai
tempat memelihara sisa ikan yang tidak diisolasi.
- Ruang kepala
laboratorium,
berfungsi sebagai tempat kepala laboratorium menjalankan tugasnya.
- Ruang penerimaan
contoh,
berfungsi sebagai tempat penerimaan sampel dari pelanggan.
- Ruang administrasi, berfungsi sebagai
tempat pembuatan dokumen administrasi.
- Laboratorium Bahan, berfungsi sebagai
tempat menyimpan bahan-bahan yang akan digunakan pada kegiatan laboratorium,
dan
- Tempat parkir, berfungsi sebagai
tempat memakirkan kendaraan pegawai/tamu.
PRASARANA
LABORATORIUM MKHA
BBPBAP
Jepara memiliki prasarana yang mendukung tugas pelaksana. Prasarana tersebut
antara lain kendaraan bermotor roda 2 sebanyak 6 buah dan kendaraan bermotor
roda 4 sebanyak 1 buah, wifi sebanyak 1 buah, laptop sebanyak 7 buah.
PEMELIHARAAN UDANG
VANAME
PENCEGAHAN PENYAKIT
WSSV
Menurut
Kurniawan dan Tompo (2013), serangan WSSV terjadi saat musim pancaroba yaitu
pada bulan Oktober dan Mei. Dan prevalensi tinggi kejadian serangan virus WSSV
terjadi pada musim penghujan dan pancaroba yaitu pada bulan Desember dan bulan
Mei. Jika dikaitkan antara pola keberadaan virus WSSV di saluran pertambakan
dengan bulan dan musim, nampak bahwa virus WSSV akan muncul pada masa pancaroba
menuju musim penghujan dan pada akhir musim hujan. Secara umum kondisi kualitas
air di perairan pada saat musim hujan, cenderung tidak stabil dan berfluktuasi,
serta pada kondisi ekstrim akan terjadi penurunan kualitas perairan secara
drastis. Pada kondisi hujan yang tinggi dapat menurunkan kadar salinitas air,
kadar pH, dan kadar DO dalam air. Keadaan ini dapat memicu plankton untuk turun
ke dasar perairan dan mengalami pembusukan. Pembusukan dapat meningkatkan kadar
amonia, yang menjadi racun bagi organisme air. Rentetan alami tersebut dapat
menjadi stressor alami yang efektif dan dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh
udang vaname.
Aplikasi
probiotik pada BBPBAP jepara dari strain Bacillus sp. dengan dosis 0,5 ppm
diberikan setiap 1 minggu sekali guna menaikan sistem imun tubuh. Probiotik
dari jenis Bacillus yang diberikan adalah probiotik pabrikan dengan merk dagang
Pro1. Tujuan aplikasi probiotik ini adalah untuk meningkatkan sistem kekebalan
tubuh udang dan mendominasi bakteri dalam lingkungan air sehingga memperbaiki
kualitas perairan. Hal ini sesuai dengan pendapat Moriarty et al. (2006), yaitu
penambahan probiotik dari jenis Bacillus dapat meningkatkan sistem kekebalan
tubuh udang serta memperbaiki kualitas air kolam budidaya.
PENGUKURAN KUALITAS
AIR
Pengelolaan
kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga tercapai kualitas air yang
diinginkan sesuai peruntukannya untuk menjamin agar kondisi air tetap dalam
kondisi alamiahnya. Kualitas air adalah kondisi kualitatif air yang diukur dan
atau di uji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metode tertentu. Dalam
budidaya domestikasi udang putih, untuk mengetahui fluktuasi kualitas air pada
tambak petak Bandengan BBPBAP Jepara dilengkapi dengan berbagai peralatan uji
kualitas air yang digunakan sebagai pengontrol air tambak setiap harinya.
Peralatan tersebut meliputi pH-meter yang digunakan untuk mengukur kadar pH
perairan. Selain itu juga digunakan DO meter untuk mengetahui kadar DO yang
juga dikombinasikan dengan thermometer untuk mengukur suhu perairan serta
refraktometer yang digunakan untuk mengukur salinitas perairan. Untuk
pengukuran kandungan alkalinitas, amoniak, nitrit dan nitrat dilakukan setiap
minggu melalui Laboratorium Fisika dan Kimia Air. Alat yang digunakan dalam
pengamatan kualitas air pada tambak petak Bandengan BBPBAP Jepara dapat dilihat
pada Gambar 3.
(a)
(b)
(c)
Gambar 3. (a) DO-meter, (b) pH-meter, (c) Refraktometer
Pada
kegiatan pemeliharaan udang vaname di lokasi Praktik Kerja Magang (PKM) yaitu
BBPBAP Jepara lokasi bandengan dilakukan pengontrolan kualitas air sebanyak dua
kali dalam sehari yaitu pada pagi hari pukul 05.30 WIB dan sore pukul 16.00 WIB
karena dalam waktu tersebut pagi dikarenakan belum terpengaruh sinar matahari
dan sore hari dikarenakan puncaknya reaksi kimia matahari. Pola perubahan suhu
perairan menunjukkan fluktuasi nilainya pada jam: 05.30; 12.00; dan 16.00
(Muarif, 2015). Menurut Boyd (2015) radiasi matahari, suhu udara, cuaca, dan
iklim akan mempengaruhi besarnya suhu perairan. Penyebabnya dikarenakan pada
pagi hari temperatur perairan masih dipengaruhi oleh temperatur udara malam
hari, sedangkan temperatur pada siang hari mulai naik karena dipengaruhi oleh
penyinaran dari matahari dan pada puncak terjadi pada sore hari karena air
masih menyimpan panas dari penyinaran matahari di sepanjang hari (Rompas,
2002). Kualitas air berkaitan erat dengan kondisi kesehatan udang karena
kualitas air yang baik mampu mendukung pertumbuhan secara optimal. Data hasil
pengukuran kualitas air dapat dilihat pada Lampiran 3. Adapun parameter
kualitas air yang diamati selama praktik meliputi suhu, pH, oksigen terlarut,
dan salinitas.
SUHU
Pengamatan
kisaran suhu di tambak pemeliharaan induk udang vaname di tambak Bandengan
BBPBAP Jepara dilakukan pada pukul 05.30 dan 16.00 WIB. Nilai suhu menunjukkan
nilai dalam kisaran optimal, yaitu berkisar antara 27,70C sampai 320C. Hal ini
didukung oleh pendapat Haliman dan Adijaya (2005), bahwa suhu yang optimal
untuk pertumbuhan udang antara 26-320C. Jarak suhu terendah dan tertinggi tidak
terlalu tinggi karena kedalaman tambak yang relatif stabil dan mencapai
ketinggian yang diharapkan sehingga fluktuasi suhu tidak terlalu berfluktuatif
walaupun dalam kondisi cuaca hujan. Pengukuran suhu menggunakan alat DO meter
yang didalamnya dapat menggukur nilai suhu sekaligus, dapat dilihat pada Gambar
4 dan hasil data pengukuran suhu pada setiap petakan tambak dapat dilihat pada
Lampiran 3.
Gambar 4. Pengukuran Suhu Air dengan DO meter
PH
Berdasarkan
hasil pengukuran pH di tambak pemeliharaan udang vaname di Bandengan BBPBAP
Jepara berkisar antara 7,6 sampai 8,4. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumeru dan
Anna (1992), bahwa pH air yang baik untuk pemeliharaan dan pembesaran udang adalah
7,0-8,5. Berdasarkan data hasil pengukuran pH harian di lapangan, pH dalam
kisaran normal, hal ini terjadi karena sebelum pengisian air sudah dilakukan
penebaran kapur pada petakan untuk menstabilkan pH, jadi pH air sudah stabil
sebelum penebaran udang vaname.
Menurut
Widigdo (2013), proses fotosintesis di perairan memanfaatkan CO2
(karbondioksida) terlarut sehingga mengubah sistem kesetimbangan HCO3 - CO2 dan
hidrolisasi yang ada. Kondisi yang demikian ini akan meningkatkan pH perairan.
Pada malam hari fotosintesis tidak terjadi, sementara respirasi yang
menghasilkan CO2 tetap berlangsung sehingga terjadi penambahan CO2 dalam
perairan. Penambahan CO2 ini dapat menurunkan pH perairan menjadi lebih masam.
Dengan demikian, setiap hari terjadi fluktuasi pH akibat proses respirasi dan
fotosintesis. Nilai pH 7 dikatakan netral, lebih besar dari 7 adalah basa dan
lebih kecil dari 7 adalah asam. Pengukuran pH menggunakan alat pH meter, dapat
dilihat pada Gambar 5 dan hasil data pengukuran suhu pada setiap petakan tambak
dapat dilihat pada Lampiran 3.
Gambar 5. Pengukuran pH dengan pH-meter
OKSIGEN TERLARUT
(DISSOLVED OXYGEN)
Pengukuran
DO dilakukan untuk mengetahui perubahan DO selama pemeliharaan berlangsung
karena merupakan salah satu parameter kualitas air yang sangat diperlukan bagi
kehidupan udang. Pengelolaan konsentrasi oksigen yang baik merupakan hal yang
penting dilakukan untuk menunjang keberhasilan budidaya udang.
Berdasarkan
hasil pengamatan oksigen terlarut di tambak pemeliharaan induk udang vaname di
tambak Bandengan BBPBAP Jepara, memiliki fluktuasi nilai oksigen terlarut pada
pagi hari yang berkisar antara 4,8 sampai 7,6 ppm dan pada sore hari berkisar
antara 5,65-9,89 ppm. Hal ini masih dikatakan layak oleh Amri dan Kanna (2008),
bahwa oksigen yang baik untuk pertumbuhan udang adalah 4-7 ppm.
Kisaran
DO rendah biasanya terlihat pada malam hari sampai pagi hari karena terjadi
kompetisi penggunaan oksigen antara udang, fitoplankton dan mikroorganisme yang
ada dalam perairan. Sedangkan pada siang hari kondisi oksigen cukup tersedia
karena tersuplai dari hasil fotosintesis plankton, kincir air, pompa air dan
difusi dari udara sehingga pada siang hingga sore hari DO akan cenderung
tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Widigdo (2013) yang menyatakan bahwa,
sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah proses fotosintesis dari
fitoplankton yang ada di dalamnya. Pemasangan kincir air (paddle wheel) tiap
petakannya yang sesuai dengan kebutuhan udang juga membantu dalam kebutuhan
oksigen. Berikut merupakan pengukuran oksigen terlarut menggunakan DO-meter
seperti yang disajikan pada Gambar 6. Dan hasil pengukuran DO pada setiap
petakan tambak dapat dilihat pada Lampiran 3.
Gambar 6. Pengukuran DO menggunakan DO-Meter
SALINITAS
Salinitas
adalah jumlah kadar garam yang terkandung dalam suatu perairan dan dinyatakan
dalam parts per thousand (ppt) atau o⁄oo. Salinitas masing-masing tambak
berbeda-beda pada setiap tambak. Salinitas air tambak di tambak Bandengan
BBPBAP Jepara yang teramati berkisar antara 27,3 sampai 32,9 o⁄oo. Perbedaan
salinitas ini terjadi karena waktu proses pengisian air awal berbeda-beda
sehingga salinitas tambak dipengaruhi oleh salinitas air laut pada saat
pemasukan air. Salinitas air tambak ini sudah sesuai dengan kebutuhan udang
untuk tumbuh dan berkembang. Selain itu juga pernyataan terebut diperkuat oleh
pernyataan Haliman dan Adijaya (2005) yaitu udang merupakan spesies yang
toleran terhadap salinitas dan dapat hidup pada rentang salinitas 15 – 45 o⁄oo.
Dengan demikian, salinitas tidak menjadi masalah selama budidaya berlangsung.
Pengukuran salinitas air tambak menggunakan alat refraktometer seperti yang
disajikan pada Gambar 7 dan hasil pengukuran salinitas setiap petakan tambak
dapat dilihat pada Lampiran 3.
Gambar 7. Pengukuran Salinitas dengan Refraktometer
SAMPLING PANJANG DAN
BERAT UDANG VANAME
Sampling
induk udang vaname di tambak Bandengan BBPBAP Jepara dilakukan setiap satu
minggu sekali yakni pada hari Kamis. Sampling dilakukan pada satu titik agar
udang tidak mengalami stress dan berpengaruh pada nafsu makan udang putih
(Litopenaeus vannamei). Sampling dilakukan dengan cara jala ditebar ke petak
pemeliharaan induk udang yaitu B5 kemudian udang yang sudah terjerat di jala
diambil dan dimasukkan ke dalam bak yang sudah diisi dengan air terlebih
dahulu. Selanjutnya diambil beberapa sampel udang vaname (Litopenaeus vannamei)
jantan dan betina dan kemudian ditimbang menggunakan timbangan digital serta
diukur panjang total dimulai dari rostrum hingga telson. Tujuan sampling udang
ini antara lain untuk mengetahui berat rata-rata udang per ekor, untuk
mengetahui kondisi kesehatan udang, serta untuk mengetahui kondisi dasar
petakan yang digunakan selama proses pemeliharaan udang. Sampling dilakukan setiap
minggu pada hari kamis. Seperti yang dikemukakan oleh Handajani dan Widodo
(2010), untuk mengetahui pertumbuhan dan sintasan udang serta jumlah pakan yang
akan di berikan maka dilakukan sampling panjang dan berat tubuh udang. Sampling
sebaiknya dilakukan satu minggu sekali. Selama praktik kerja magang, telah
dilakukan sampling sebanyak 4 kali. Cara sampling induk udang putih dapat
dilihat pada gambar 8. Hasil sampling udang yang diperoleh selama praktik kerja
magang dapat dilihat pada Lampiran 4.
(a)
(b)
Gambar 8 . (a) Pengambilan Sampel Udang (b) sampel udang yang diukur
TEKNIK PCR
Uji
PCR ini dilakukan dengan tujuan yaitu pada BBPBAP Jepara menghasilkan induk
yang SPF (Specific Pathogen Free). Uji PCR ini digunakan untuk mendeteksi WSSV
(White Spot Syndrome Virus). Primer yang digunakan disesuaikan dengan The
Office International des Epizooties (OIE, 2009) yaitu menggunakan primer 146F
(5’-GTA-ACTGCC-CC-TCC-ATC-TCC-A-3’) dan 146R (5’-TAC-GGC-ACG-TGC-TGC-ACC-TTG-T-3’)
dan memiliki target 941 bp. Skema pemeriksaan WSSV dengan metode PCR adalah
sebagai berikut (Lampiran 2).
PENGAMBILAN SAMPEL
Sampel
udang vaname diambil secara random sampling oleh petugas yang berasal dari
salah satu lokasi tambak di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara.
Kemudian sampel diserahkan pada bagian administrasi dan diisi form pengajuan
analisa serta diberi kode sampel. Bagian administrasi melapor kepada manajer
teknis yang nantinya akan menugaskan analis untuk melakukan pengujian. Deteksi
penyakit WSSV (White Spot Syndrome Virus) dengan menggunakan metode PCR
(Polymerase Chain Reaction) yang dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler,
BBPBAP Jepara. Sampel benur udang vaname, sampel udang ukuran sedang dan sampel
induk terdapat pada gambar 9.
(a)
(b)
(c)
Gambar 9. (a) benur vaname, (b) udang ukuran sedang, (c)
induk vaname (Dokumentasi Laboratorium Biomolekuler BBPBAP Jepara, 2018)
STERILISASI PERALATAN
Sterilisasi
merupakan suatu prosedur untuk membebaskan suatu bahan atau benda dari semua
bentuk kehidupan. Proses yang digunakan untuk mematikan semua organisme yang
terdapat pada suatu benda. Sterilisasi peralatan dilakukan dalam proses
pengujian, terutama sterilisasi secara fisik, yaitu melalui pemanasan.
Sterilisasi bertujuan untuk mensterilkan peralatan dari hal-hal yang dapat
mengkontaminasi (Dwidjoseputro, 1994).
Pada
proses sterilisasi alat yang akan digunakan disterilkan terlebih dahulu
menggunakan autoklaf. Alat-alat seperti mikrotube 0.2 ml, 0.5 ml dan 1.5 ml
serta pellet pastle dimasukkan terlebih dahulu ke dalam plastik. Sedangkan
untuk tip 0.5 - 20 µl, 1 – 200 µl, 20 – 1000 µl diatur sedemikian rupa di dalam
tempat mikrotip lalu dibungkus dengan plastik sebelum dimasukkan ke dalam
autoklaf. Menurut Dwidjoseputro (1994), sterilisasi alat dan bahan pada suhu
121°C selama 15 menit dengan tekanan 1 atm. Setelah proses sterilisasi selesai,
autoklaf didiamkan hingga tekanannya menjadi 0 atm. Sterilisasi juga dilakukan
pada saat proses ekstraksi sampel. Peralatan yang sering digunakan pada proses
ekstraksi sampel diantaranya adalah gunting dan pinset. Kedua peralatan
tersebut dicelupkan ke dalam alkohol 70% setelah itu dibakar ujung hingga
setengah bagiannya dengan api bunsen dan dibiarkan hingga api padam.
Peralatan
yang telah disterilkan kemudian dikeluarkan dan dikeringkan dalam incubator
dengan pengaturan suhu 80° selama 1 jam. Hal tersebut dimaksudkan agar uap air
yang terdapat di dalam peralatan dapat cepat kering serta terhindar dari
kontaminasi terhadap peralatan yang lain. Kemudian peralatan tersebut disimpan
di dalam lemari steril. Proses sterilisasi peralatan dapat dilihat pada Gambar
10.
(a)
(b)
Gambar 10. (a) Sterilisasi autoclave, (b) peralatan
steril Preparasi Sampel
Sebelum
memulai proses ekstraksi DNA dilakukan preparasi sampel terlebih dahulu. Agar
terhindar dari kontaminasi terhadap sampel, maka gunting dan pinset yang akan
digunakan untuk ekstraksi dibakar dengan alkohol 70% di atas api bunsen selama
beberapa menit agar peralatan tersebut steril. Dalam melakukan preparasi sampel
semua peralatan harus dalam kondisi steril, agar pada saat ekstraksi tidak
terjadi kontaminasi dari lingkungan luar. Organ target yang diambil dari sampel
udang vaname adalah kaki renang. Untuk pengambilan organ target pada sampel seringkali
dipilih kaki renang ataupun insang. Sedangkan untuk sampel yang berupa benur
dikarenakan ukurannya yang terlalu kecil, maka proses ekstraksi dilakukan
dengan cara menghaluskan atau menggerus seluruh bagian tubuhnya.
Menurut
Hidayani, et al. (2015), pengambilan kaki renang dan insang dilakukan dengan
memotong organ tersebut secara langsung. Kaki renang merupakan salah satu organ
yang tersusun dari sel epitel subkutikular, salah satu jaringan target WSSV.
Sel epitel kutikular merupakan salah satu lokasi yang paling disukai WSSV dan
dapat menjadi lokasi pertama masuknya virus. Pemisahan organ yang digunakan
dilakukan secara aseptik dan dimasukkan ke dalam botol yang telah diisi larutan
ethanol.
Pada
proses ekstraksi sampel harus menggunakan tempat dan alat yang berbeda. Hal ini
dimaksudkan agar terhindar dari kontaminasi silang DNA virus. Organ sampel yang
akan digunakan dimasukkan ke dalam mikrotube yang sudah diberi label sesuai
kode laboratorium. Kemudian sisa sampel yang tidak digunakan untuk ekstraksi
dibungkus dengan alumunium foil dan dimasukkan ke dalam plastik (jika berupa
benur) atau jika sampel berukuran sedang bisa langsung dimasukkan ke dalam
plastik. Plastik bagian luar diberi kode sampel beserta tanggal pengujian. Hal
ini dimaksudkan untuk verifikasi apabila terjadi kesalahan dalam pengujian.
Proses preparasi sampel dapat dilihat pada Gambar 11.
(a)
Gambar 11. (a) sampel dihaluskan memakai gunting, (b)
Proses penggerusan sampel memakai pellet pastel
EKSTRAKSI DNA
Ekstraksi
DNA merupakan suatu proses untuk menghasilkan DNA template atau cetakan DNA
dengan cara menggerus organ target dengan bantuan bahan yang mampu untuk
melisiskan organ target (Surfianti, et al., 2010).
Organ
target yang biasa digunakan dalam ekstraksi DNA udang adalah insang atau kaki
renang (pleopoda). Ekstraksi DNA dapat dilakukan dengan berbagai metode,
tergantung dari acuan yang digunakan. Pada Laboratorium Pengujian Mutu
Perikanan Budidaya BBPBAP Jepara mengacu pada The Office International des
Epizooties, OIE (2009) tentang Manual of Diagnostics Test for Aquatic Animal
chapter 2.2.2, sehingga metode ekstraksi DNA menggunakan metode lisis buffer.
Menurut
Handoyo (2001), dalam proses ekstraksi DNA bertujuan untuk mengeluarkan DNA
dari nukleus, mitokondria, atau organel dan biasanya dilakukan dengan
penambahan lisis buffer untuk mencegah terjadinya kerusakan DNA. Pada saat
ekstraksi DNA dilakukan penumbukan sampel agar bahan sampel menjadi halus dan
komposisinya menyatu. Pada dasarnya ekstraksi DNA terdiri dari beberapa tahap,
yaitu : homogenisasi, separasi, presipitasi, pencucian dan pelarutan DNA.
Ekstraksi pada organisme eukariot dilakukan melalui proses penghancuran dinding
sel, penghilangan protein dan RNA, dan pengendapan DNA dan pemanenan.
Tahap
pertama dalam melakukan ekstraksi DNA adalah homogenisasi. Proses homogenisasi
dimaksudkan untuk menyatukan komponen-komponen dalam supernatant sesuai dengan
fraksi berat komponen untuk mendapatkan DNA template. Proses homogenisasi
dilakukan dengan cara apabila udang vaname berukuran benur maka sampel harus
disaring terlebih dahulu. Kemudian ditumbuk atau dihaluskan dengan menggunakan
gunting dan pinset yang sudah disterilisasi. Sampel sebanyak dimasukkan ke
dalam tabung eppendorf dan diberi kode sampel. Sama halnya dengan sampel yang
berukuran sedang, setelah diambil bagian organ target yaitu insang atau kaki
renang, sampel dimasukkan ke dalam tabung eppendorf dilakukan pemberian 500 µl
Lisis Buffer. Sampel ditumbuk lagi dengan menggunakan pellet pastle pada tabung
tersebut, hal ini dimaksudkan agar dalam proses penghancuran sel komposisinya
menyatu, sehingga DNA dapat keluar. Selanjutnya sampel di vortex sebentar lalu
disentrifugate dengan kecepatan 10.000 rpm selama 5 menit. Cairan bening atau
supernatant dituangkan ke dalam wadah hingga hanya tersisa endapannya saja dan
ditambahkan 500 µl larutan lisis buffer. Tujuan penambahan larutan lisis buffer
atau penyangga adalah untuk mempertahankan pH dan juga untuk melisiskan sel dan
membrane fosfolipid bilayer, karena sampel bersifat basa. Kemudian sampel
diinkubasi di Heating Block pada suhu 95°C selama 10 menit. Perlakuan tersebut
dimaksudkan untuk mendegradasi protein dan lipid yang terdapat di dalam sel.
Proses penambahan lisis buffer dan inkubasi sampel dapat dilihat pada Gambar
12.
(a)
(b)
Jika
sudah maka ditunggu hingga tube dalam keadaan dingin. Tahap kedua adalah
separasi DNA, yaitu memisahkan DNA dari komponen pengganggu seperti protein,
lemak, dll dengan cara sentrifugasi selama 10 menit.dengan kecepatan 10.000
rpm. Dalam penataan tube pada alat sentrifugasi harus dalam keadaan seimbang.
Terdapat beberapa tube yang berisi aquades sebagai larutan penyeimbang sesuai
dengan volume yang dibutuhkan. Hal ini dilakukan agar sentrifugasi berjalan
sempurna.
Tahap
ketiga dalam ekstraksi DNA berikutnya yaitu presipitasi sekaligus pencucian
DNA. Presipitasi merupakan suatu proses koagulasi atau penggumpalan DNA yang
larut dalam fase air menjadi padat. Hal yang perlu dilakukan mula-mula yaitu
disiapkan tube baru dan diberi kode sesuai dengan kode sampel. Sampel yang
sudah disentrifuse tadi kemudian diambil supernatant sebanyak 200 µl dan
dipindahkan ke dalam tube baru tersebut. Sedangkan untuk presipitasi DNA dari
fase air dengan cara ditambahkan 400 µl ethanol absolut (96%). Kemudian
divortex hingga homogen dan disentrifuse lagi dengan kecepatan 10.000 rpm
selama 5 menit. Presipitasi DNA tidak terlarut sebelum sentrifugasi membentuk
pellet seperti gel pada dinding dan dasar mikrotube. Proses sentrifugasi dan
proses vortex untuk menghomogenkan sampel dapat dilihat pada Gambar 13.
(a)
(b)
(c)
Gambar 13. (a) Tube penyeimbang sentrifugasi (b) Proses
sentrifugasi, (c) Proses vortex untuk menghomogenkan sampel
Tahap
keempat dalam proses ekstraksi DNA adalah pelarutan DNA dengan cara dibuang
cairan atau supernatant yang berada dalam tube sebelumnya hingga tersisa
endapan pellet saja dan kemudian dikeringkan dengan cara membuka tube tersebut
selama 10 menit. Pada saat dikeringkan tube dalam posisi terbalik dan berada di
atas kertas tissue. Proses pembuangan supernatant dan pengeringan sampel dapat
dilihat pada Gambar 14.
(a)
(b)
Gambar 14. (a) Supernatant dibuang, (b) Tube dibalik
Jika
sudah kering maka dilarutkan dengan nuclease free water 25 µl, dengan tujuan
untuk menghilangkan zat-zat yang tidak diinginkan pada sampel dan juga untuk
meningkatkan pelarutan DNA sehingga bahan yang digunakan dapat lebih mudah
hancur dan mempermudah prosesnya (Hossain, 2001). Sampel pada tube divortex
sebentar hingga larutan nampak homogen. Setelah itu disiapkan mikrotube, dengan
diberi label sesuai kode sampel. sampel yang berada dalam tube diambil sebanyak
1 - 2 µl dan dipindahkan ke mikrotube tersebut.
Menurut
Koesharyani, et al. (2015) faktor-faktor yang mempengaruhi ekstraksi DNA
biasanya tergantung pada kecepatan ekstraksi dan komposisi penambahan lisis
buffer yang digunakan saat ekstraksi. Proses ekstraksi DNA dari sel adalah
langkah pertama dalam prosedur pemisahan DNA dan substansi lain yang tidak
diinginkan dengan sangat hati-hati sehingga tidak menyebabkan kerusakan DNA.
AMPLIFIKASI
Amplifikasi
DNA merupakan proses penggandaan DNA template dengan bantuan enzim dan primer
serta suhu yang sudah diatur sehingga diperoleh sejumlah DNA tertentu.
Amplifikasi atau perbanyakan DNA target bertujuan meningkatkan jumlah DNA virus
yang ada sehingga dapat dideteksi dengan elektroforesis. Amplifikasi harus
dikerjakan secara aseptis di dalam laboratorium yang terkontrol dan memerlukan
alat laboratorium yang khusus, seperti thermal cycler (Hidayani, 2015). Jika
sudah dilakukan amplifikasi maka dapat menghasilkan perbanyakan DNA target yang
lebih akurat, cepat dan spesifik, serta tidak memerlukan jumlah sampel yang
banyak. Pada proses amplifikasi DNA terdapat 5 tahap, yaitu pre-denaturation,
denaturation, annealing, extension dan extra extension.
Adapun
komponen-komponen yang diperlukan untuk amplifikasi DNA adalah sebagai berikut
:
a)
(Deoxyribonuleotide triphosphate) dNTP yang memberikan energy dan nukleosida
untuk sintesis DNA
b)
Enzym DNA Polymerase yang akan memanjangkan primer yang menempel pada cetakan.
Biasanya digunakan Taq Polymerase yang tahan terhadap suhu tinggi
c)
Magnesium chlorida (MgCl2) yang merupakan sumber trace element
d)
Larutan PCR Buffer
e)
Sepasang primer yang terdiri dari F (forward) dan R (Reverse) yang akan
menentukan urutan DNA yang disintesis
f)
Template yaitu DNA target yang diekstraksi dari sampel udang dan berfungsi
sebagai cetakan DNA yang diperbanyak (amplifikasi)
Dalam
pembuatan PCR Mix untuk deteksi virus WSSV yang dilakukan di Laboratorium
Manajemen Kesehatan Hewan Akuatik BBPBAP Jepara yaitu dengan menggunakan Master
Mix. Adapun Master Mix ini terdiri dari dNTP, enzim Taq Polymerase, MgCl2 dan
larutan PCR buffer. Adapun komposisi master mix untuk deteksi WSSV yang
digunakan dalam proses amplifikasi dibuat dengan mencampurkan bahan-bahan yang
dilihat pada Tabel 1 berikut:
Tabel
1. Komposisi Master Mix
Komposisi
master mix
|
Jumlah
|
DDW
|
15.875 µl
|
5x PCR
Buffer
|
5 µl
|
MgCl2
|
1.5 µl
|
dNTP Mix
|
0.5
|
Primer
146-F
|
0.5 µl
|
Primer
146-R
|
0.5 µl
|
Taq DNA
polymerase
|
0.125
|
Sampel DNA
|
1 µl
|
Total
volume
|
25 µl
|
Apabila
semua bahan telah dicampur, kecuali template DNA, kemudian dibagikan ke dalam
mikrotube 0.2 ml dengan volume masing-masing 24 µl. Selanjutnya ditambahkan
template DNA, termasuk kontrol negatif dan kontrol positif, kemudian di spin
down. Prinsip kerja alat ini seperti mini centrifuge hanya saja tidak terdapat
pengaturan waktu dan kecepatan. Selanjutnya, sampel dan kontrol yang telah
homogen dimasukkan ke dalam mesin PCR atau thermal cycler dan diatur sesuai
dengan pengujian yang akan dilakukan karena masing-masing virus memiliki syarat
amplifikasi pengaturan suhu yang berbeda-beda.
Menurut
Prayoga dan Wardani (2015), proses PCR berlangsung dalam tiga tahap, yakni
tahap denaturasi, tahap penempelan (annealing), dan tahap pemanjangan
(extension). Tahap denaturasi dilakukan dengan menaikkan suhu hingga suhu 93 –
950 C dan bertujuan untuk memecah DNA target dari dua untai menjadi untaian DNA
tunggal yang saling terpisah. Tahap annealing dilakukan pada suhu 50 – 620 C
setelah tahap denaturasi dan bertujuan agar primer menempel pada DNA target.
Tahap extension berlangsung pada suhu 720 C setelah tahap annealing dan
bertujuan agar enzim polimerase dapat melakukan sintesis sehingga berlangsung
proses pemanjangan untaian DNA baru. Setiap tahap PCR tersebut harus dilakukan
secara berurutan dan satu perjalanan dari tahap denaturasi hingga tahap
extension dinamakan satu siklus (cycle). Satu
proses PCR membutuhkan sekitar 30 – 40 siklus.
Adapun
pengaturan suhu pada thermal cycler untuk deteksi WSS step 1 dapat dilihat pada
Tabel 2 berikut :
Tabel
2. Pengaturan Suhu Thermal Cycler
No.
|
Reaksi
|
Temperature
|
Waktu
|
Jumlah Siklus
|
1.
|
Predenaturasi
|
950C
|
3 menit
|
1
|
2.
|
Denaturasi
|
950C
|
20 detik
|
|
3.
|
Annealing
|
620C
|
20 detik
|
40
|
4.
|
Extension
|
720C
|
30 detik
|
|
5.
|
Final Extension
|
720C
|
5 menit
|
1
|
Hold
|
40C
|
∞
|
1
|
Pada
dasarnya thermal cycler PCR untuk amplifikasi DNA virus memiliki prinsip yang
sama, dimana terdiri dari 5 tahap yaitu pre-denaturation, denaturation,
annealing, extension dan extra extension. Alat PCR memiliki prinsip memecah
rantai ganda (double-stranded) menjadi rantai tunggal (single-stranded).
Pemecahan rantai ganda menjadi tunggal memerlukan waktu 30 detik dan suhu
tinggi 95°C proses ini disebut juga dengan denaturasi. Biasanya untuk beberapa
produk master mix sebelum dimulai fase denaturasi, terdapat fase pre-denaturasi
yang bertujuan untuk menstabilkan enzim-enzim yang berada dalam mastermix agar
dapat bekerja secara optimal sebelum proses PCR dimulai.
Menurut
Handoyo dan Rudiretna (2001), denaturasi merupakan proses yang penting dimana
jika proses ini tidak lengkap kurang dari 30 detik akan menyebabkan renaturasi
secara cepat, sedangkan waktu denaturasi yang terlalu lama dapat mempengaruhi
kerja enzim taq polymerase dan mempengaruhi keberhasilan proses PCR. Penurunan
suhu (annealing) merupakan pelekatan primer pada DNA unta tunggal pada suhu
55°C. Primer akan menempel pada pangkal (forward) dan ujung (reverse)
masing-masing DNA tunggal. Dengan suhu yang tepat maka akan mengurangi
kesalahan penempelan primer pada ujung 5’ dan 3’. Setelah proses penempelan
primer selesai, maka diteruskan dengan extension atau pemanjangan primer yang
telah menempel pada template suhu 72°C dengan bantuan enzyme polymerase (Taq
Polymerase). Lama proses extention ditentukan oleh panjangnya DNA target yang
akan dilipatgandakan dengan suhu yang digunakan karena Taq Polymerase tahan
panas sampai suhu 100°C. Proses penempelan primer (annealing) merupakan
penempelan primer pada DNA yang telah terbelah pada tempat yang spesifik. Bila
suhunya dinaikkan lagi sampai 72°C, maka primer dengan bantuan enzim DNA
polymerase akan membentuk untaian DNA sesuai dengan runtakan membentuk untaian
DNA sesuai dengan urutan DNA yang terbelah, proses ini disebut dengan elongasi
(extension). Adapun extra extension atau final elongasi berfungsi untuk
penstabilan amplifikasi hasil PCR.
Proses
denaturation, annealing dan extension akan terjadi pada siklus yang berulang 35
kali. Pada akhir reaksi akan terbentuk 2n DNA untai ganda, dimana n adalah
jumlah ulangan siklus sekitar 108 - 109 kali dari jumlah DNA target awal. Extra
extension pada suhu 72°C selama 7 menit untuk memberi kesempatan enzyme
polymerase yang belum menyelesaikan reaksinya sehingga tidak ada sintesa DNA
baru yang belum selesai. Setelah proses amplifikasi suhu 4°C atau pada freezer
dengan pengaturan suhu -20°C atau dapat juga langsung digunakan untuk proses
elektroforesis.
Dalam
mendeteksi virus pada udang seperti White spot syndrome virus diperlukan teknik
amplifikasi pada PCR. Analisis menggunakan PCR konvensional untuk pencegahan
terjadinya false negatif dilakukan melalui pengecekan kualitas DNA/RNA hasil
ekstraksi sampel udang menggunakan primer set. Pengecekan tersebut dilakukan
sebelum DNA/RNA sampel tadi diamplifikasi menggunakan primer spesifik untuk
virus yang diduga menginfeksi udang tersebut (Koesharyani, 2015). Proses
penambahan larutan mix dan proses PCR pada Thermal Cycler dapat dilihat pada
Gambar 15.
(a)
(b)
Gambar 15. (a) Penambahan
larutan mix (b) Proses PCR pada Thermal Cycler
PEMBUATAN BUFFER TBE
Untuk
membuat larutan buffer TBE dengan cara memasukkan 900 ml aquades dalam gelas
beaker dengan kapasitas 1 liter. Kemudian siapkan Tris Base 100 ml dimasukkan
dalam beaker yang berisi aquades dan dihomogenkan, buffer TBE ini dapat
digunakan untuk merendam gel agarose selama proses elektroforesis.
Menurut
Handoyo (2001), reaksi PCR hanya akan berlangsung pada kondisi pH tertentu.
Oleh karena itu untuk melakukan proses PCR diperlukan buffer PCR. Fungsi buffer
di sini adalah untuk menjamin pH medium. Selain buffer PCR diperlukan juga
adanya ion Mg2+, ion tersebut berasal dari berasal MgCl2. MgCl2 bertindak
sebagai kofaktor yang berfungsi menstimulasi aktivitas DNA polimerase. Dengan
adanya MgCl2 ini akan meningkatkan interaksi primer dengan template yang
membentuk komplek larut dengan dNTP (senyawa antara). Dalam proses PCR
konsentrasi MgCl2 berpengaruh pada spesifisitas dan perolehan proses. Umumnya
buffer PCR sudah mengandung senyawa MgCl2 yang diperlukan. Tetapi disarankan
sebaiknya antara MgCl2 dan buffer PCR dipisahkan supaya dapat dengan mudah
dilakukan variasi konsentrasi MgCl sesuai yang diperlukan. Larutan buffer TBE
dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Buffer TBE
PEMBUATAN ETHIDIUM
BROMIDE (10MG/ML)
Ethidium
Bromide (EtBr) merupakan bahan yang digunakan untuk memvisualisasi
potongan-potongan DNA selama proses elektroforesis. Hal ini terjadi karena EtBr
dapat memendarkan sinar UV ketika disinari sinar UV Transilluminator, akan
tampak citra berupa pita-pita pada gel yang merupakan molekul-molekul DNA yang
bergerak sepanjang gel setelah dielektroforesis. Pada pembuatan larutan EtBr
(10 mg/ml) dapat dibuat dengan cara menambahkan 1 gram Et Br dalam 100 ml
aquades kemudian diaduk dengan magnetik stirrer beberapa jam sampai terlarut
(Arafani, et al., 2016). Pembuatan Ethidium Bromide dapat dilihat pada Gambar
17.
Gambar 17. Pembuatan Ethidium
bromide
PEMBUATAN GEL AGAROSE
Menurut
Arafani, et aI. (2016), gel agarose dibuat dengan melarutkan suatu bahan
agarose tersebut ke dalam larutan buffer. DI Laboratorium MKHA BBPBAP Jepara
yang digunakan adalah gel agarose 1.5% yang dibuat dengan cara memasukkan 1.5
gram agarose dalam 100 ml larutan Tris Boric EDTA (TBE), kemudian dipanaskan
dengan microwave oven sampai larutan menjadi bening atau homogen.
Setelah
larutan agarose homogen, kemudian dihomogenkan hingga dingin dan suhunya turun
sekitar 50°C - 70°C. Gel agarose ini dicetak dengan pencetak sumur (sisir) yang
disesuaikan dengan jumlah sampel yang diuji. Hal yang perlu diperhatikan saat
menuangkan gel agarose adalah menghindari adanya gelombang pada gel. Untuk cetakan kecil yang berisi 8
sampel dituangkan 15 ml gel agarose cair. Sedangkan untuk cetakan besar berisi
17 sampel dituangkan 30 ml gel agarose cair. Kemudian dibiarkan dingin selama
30 menit dan gel siap digunakan. Proses pembuatan gel agarose dapat dilihat
pada Gambar 18.
(a)
(b)
Gambar 18. (a) bubuk agarose,
(b) Pembuatan gel agarose
ELEKTROFORESIS
Elektroforesis
merupakan metode standar untuk separasi sebuah molekul besar, seperti protein,
DNA, RNA dari campuran molekul yang serupa. Metode ini digunakan untuk
memisahkan komponen atau molekul bermuatan berdasarkan perbedaan tingkat
migrasinya dalam sebuah medan listrik. Jika molekul bermuatan negatif melalui
suatu medium maka molekul akan bergerak dari muatan negatif menuju positif.
Kecepatan gerak molekul tergantung pada rasio muatan terhadap massanya dan
bentuk molekulnya (Handoyo, 2001).
Pada
gel agarose yang siap digunakan ditambahkan larutan TBE ke dalam alat
elektroforesis hingga gel agarose terendam. Sampel marker diambil sebanyak 2 µl
kemudian disuntikkan ke dalam lubang sumur dengan hati-hati pada lubang pertama
lalu 5 µl kontrol positif disuntikan pada lubang sumur kedua dan 5 µl kontrol
negatif disuntikan ke lubang sumur ketiga, dilanjutkan dengan penyuntikan
sampel sebanyak 5 µl ke lubang sumur berikutnya . Setelah semua sampel
disuntikkan, kemudian memasang tutup elektroforesis dan menghidupkan listrik
dengan voltase diatur 150 V.
PEWARNAAN DNA
Perpendaran
pita-pita DNA akan diamati dalam UV Transilluminator dan penentuan ukuran
fragmen dilakukan dengan cara membandingkan mobilitas atau kecepatan pergerakan
fragmen dengan DNA standar yang telah diketahui dalam kontrol positifnya.
Visualisasi DNA lebih mudah menggunakan bahan kimia yang dapat berpendar pada
sinar terutama sinar UV. Oleh karena itu bahan kimia yang dipakai adalah
larutan Ethidium Bromida (EtBr), karena sifatnya yang karsinogenik, penggunaan
dan penyimpanan larutan EtBr harus bersifat hati-hati. Pewarnaan dilakukan
dengan perendaman dalam larutan EtBr selama 5-10 menit.
Ethidium
Bromide akan berinteraksi dengan basa dari molekul DNA dan akan memberikan
warna orange fluoresance yang dapat dilihat di bawah sinar ultraviolet. Untuk
menghilangkan kandungan background EtBr yang masih tersisa pada gel agarose,
maka dilakukan perendaman gel agarose tersebut pada aquades steril selama 15
menit (Arafani, 2016). Proses pewarnaan DNA dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19. Larutan pewarna EtBr
PEMBACAAN HASIL
Pengamatan
hasil elektroforesis dengan melalui pewarnaan gel yang akan berpendar apabila
dilihat dengan menggunakan sinar ultraviolet. Agarose yang telah digunakan
untuk proses elektroforesis diangkat pelan-pelan dengan menggunakan spatula ke
dalam UV Transilluminator. Selanjutnya hasil yang telah diperoleh tersebut
diamati kemudian diatur pencahayaannya, dekat, jauh dengan menggunakan lensa
kamera yang berada di UV Transilluminator. Apabila band sampel sejajar pada
kontrol positif maka dimungkinkan sampel terinfeksi penyakit WSSV dan apabila
band sampel tidak sejajar dengan kontrol positif atau sejajar dengan kontrol
negatif maka sampel tersebut tidak terinfeksi penyakit WSSV. Hasil yang
diperoleh didokumentasikan dan dicetak dengan digital foto sistem yang
digunakan untuk laporan hasil pemeriksaan PCR. Menurut Handoyo (2001), langkah
dalam pembacaan hasil elektroforesis diantaranya :
1.
Gel agarose direndam dalam laruan Ethidium Bromide (5 µg/ml) selama 5 menit
2.
Kemudian gel agarose direndam dalam akuades selama 15 menit untuk menghentikan
proses pewarnaan
3.
Hasil positif WSS bila terlihat perpendaran pita DNA dengan ukuran 941 bp
4.
Hasil negatif apabila tidak terlihat perpendaran pita DNA dengan ukuran 941 bp
5.
Mendokumentasikan hasil
Elektroforesis
gel agarose merupakan metode yang banyak digunakan untuk pemisahan protein, DNA
dan RNA. Molekul asam nukleat dipisahkan sesuai dengan ukurannya dengan
menggunakan medan listrik, dimana molekul yang bermuatan negatif akan
bermigrasi ke arah anoda (kutub positif). Urutan migrasi ini ditentukan oleh
berat molekul, yang mana molekul dengan berat molekul kecil akan bermigrasi
lebih cepat daripada molekul dengan berat molekul besar. Namun dapat pula
digunakan sebagai teknik preparatif untuk memurnikan molekul sebelum digunakan
dalam metode-metode lain seperti UV transilluminator. Hasil PCR dari sampel
udang vaname dapat dilihat pada Lampiran 3.
Menurut
Hidayani, et al. (2015), pembacaan hasil visualisasi hasil elektroforesis
sesuai buku panduan memiliki tingkat infeksi yang terdiri dari sangat ringan,
ringan sedang dan berat. Infeksi WSSV sangat patogenik pada kondisi udang yang
diberikan tekanan, hal ini karena mekanisme pertahanan tubuh udang tidak dapat
mencegah atau menahan perbanyakan WSSV di bawah kondisi stress. WSSV dapat
menyebar dengan cepat ke berbagai organ seperti jantung, epidermis, otot maupun
sistem pencernaan meski dalam jumlah yang kecil. Menurut Norizan et al (2017),
pembacaan hasil PCR dapat dikatakan positif apabila lane sampel positif
terinfeksi WSSV satu garis lurus dengan kontrol positif, apabila tidak satu
garis lurus dinyatakan negatif WSSV. Proses pembacaan hasil elektroforesis
dapat dilihat pada gambar 20. Hasil sampling udang yang diperoleh selama
praktik kerja magang dapat dilihat pada Lampiran 5.
Gambar 20. Pembacaan hasil
elektroforesis
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Adapun
kesimpulan dari praktek kerja magang ini adalah deteksi WSSV pada udang vaname
(Litopenaeus vannamei) dengan metode PCR di Balai Besar Perikanan Budiaya Air
Payau diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
•
Teknik uji virus dengan menggunakan PCR adalah suatu teknik yang digunakan
untuk mendeteksi adanya virus pada udang dari stadia naupli sampai dewasa
dengan bantuan alat Thermal cycler
•
Rangkaian kerja PCR terdiri dari ekstraksi, amplifikasi dan elektroforesis
•
Kegiatan amplifikasi merupakan kegiatan inti dari uji PCR yaitu perbanyakan DNA
target untuk meningkatkan DNA virus dengan Thermalcycler (mesin PCR) sehingga
dapat dideteksi dengan elektroforesis, yang terdiri dari 3 prinsip kerja PCR
yaitu Denaturation, Annealing dan Extention.
•
Hasil dari Praktik Kerja Magang yang dilakukan di BBPBAP Jepara terhitung mulai
tanggal 25 Juni hingga 10 Agustus di dapat total sampel yang menggunakan uji
PCR konvensional sebanyak 9 sampel
negatif WSSV dan 1 sampel positif WSSV.
SARAN
Saran
yang dapat diberikan yaitu sebaiknya pada saat penutupan mikrotube kegiatan
ekstraksi sampel udang harus pas pada bagian ujung mikrotube dan harus sangat
berhati-hati agar menghindari kemungkinan kontaminasi silang agar mendapatkan
hasil uji PCR sesuai yang diharapkan.
PENULIS
Gery
Purnomo Aji Sutrisno
FPIK
Universitas Brawijaya Angkatan 2015
DAFTAR PUSTAKA
Amri,
K. dan I. Kanna. 2008. Budi Daya Udang Vaname Secara Intensif, Semi Intensif,
dan Tradisional. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 168 hlm.
Arafani,
L. Ghazali., M. Ali dan Muhamad. 2016. Pelacakan virus bercak putih pada udang
vaname (Litopenaeus vannamei) di Lombok dengan real-time polymerase chain
reaction. Jurnal Veteriner. 17(1): 88-95.
Bower
SM. 1996. Synopsis of infection Disease and Parasites of commercially Exploited
Shell fish : White Spot Syndrome of Panaeid Shrimp.
http://www-sci.pac.dfo-mpo.Gc.ca.html/. Diakses pada tanggal 20 Agustus 2018.
Boyd,
C.E. 2015. Water Quality. Switzerland: Springer.
Bray,
W.A., A.L. Lawrence, and J.R. Leung-Trujillo. 1994. The effect of salinity on
growth and survival of Penaeus vannamei, with observations on the interaction
of IHHN virus and Salinity. Aquaculture, 122:133-146.
Briggs,
M., Smith, S.F., Subasinghe, R., & Phillips, M. 2004. Introduction and
Movement of Penaeus vannamei and Penaeus stylirostis in Asia and the Pacific.
RAP Publication 2004/10.
Brookes,
A. J. 1999. The essence of SNP’s. Genes Dev. 234: 177-186.
Budiarto,
B.R. 2015. Polymerase Chain Reaction (PCR) : Perkembangan dan Perannya dalam
Diagnostik Kesehatan. BioTrends. 6(2): 29-38.
Burhanuddin.
2009. Riset Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) dengan Umur Tokolan
Berbeda. Seminar Nasional Hasil Riset Kelautan dan Perikanan.
Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya. 2013. Volume Produksi Udang 2009-2013. Departemen
Kelautan dan Perikanan.
Haliman,
R.W. dan D. S. Adijaya. 2005. Udang Vannamei, Pembudidayaan dan Pr Spek Pasar
Udang Putih yang Tahan Penyakit. Jakarta: Penebar Swadaya. 75 hlm.
Handajani,
H., dan W. Widodo. 2010. Nutrisi Ikan. Surabaya. Umm Press. 103 hlm.
Handoyo,
D. dan A. Rudiretna. 2001. Prinsip umum dan pelaksanaan polymerase chain
reaction (PCR). Jurnal Unitas. 9(1): 17-29.
Hossain,
M. S., S.K. Otta, I. Karunasagar and I. Karunasagar. 2001. Detection of White
spot syndrome virus (WSSV) in wild captured shrimp and in non-cultured
crustaceans from shrimp ponds in Bangladesh by polymerase chain reaction.
Journal Fish Pathology, 3(6): 93-95.
Hudi,
L dan A. Shahab. 2005. Optimasi produktivitas budidaya udang vaname
(Litopenaeus vannamei) dengan menggunakan metode respon surface dan non linear
programming. Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi II. 28.1-28.9.
Kilawati,Y
dan Y. Maimunah. 2015. Kualitas lingkungan tambak intensif Litopenaeus vannamei
dalam kaitannya dengan prevalensi penyakit White spot syndrome virus. Research
Journal of Life Science. 2(1): 50-59.
Koesharyani,
I dan L. Gardenia. 2015. Metode deteksi cepat White spot syndrome virus (WSSV)
dan infectiuos myonecrosis virus (IMNV) menggunakan portabel/mobile polymerase
chain reaction. Jurnal Akuakultur. 10 (1): 43-49.
Kurniawan,
K dan A. Tompo. 2013. Prevalensi dan Waktu
Infeksi White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada Saluran Pertambakan di
Kecamatan Sidayu Kabupaten Gresik dan Kecamatan Tanggulangin Kabupaten
Sidoarjo. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur. 801-805.
Mahardika,
K., Zafran dan I. Koesharyani. 2004. Deteksi White spot syndrome virus (WSSV)
pada udang windu (Penaeus monodon) di Bali dan Jawa Timur menggunakan metode
polymerase chain reaction (PCR). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 10(1):
55-60.
Manoppo,
H. 2011. Peran Nukleotida sebagai Imunostimulan terhadap Respon Imun
Nonspesifik dan Resistensi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Skripsi. Bogor:
IPB. Tidak dipublikasikan.
Moriarty,
D. J. W, Decamp, O and Lavens, P. 2006. Probiotic in Aquaculture. Aqua Culture
Asia Pacific Magazine. 89 hlm.
Muarif,
2016. Karakteristik Suhu Perairan di Kolam Budidaya Perikanan. Jurnal Mina
Sains. 2(2): 96-101.
Nadhif,
M. 2016. Pengaruh Pemberian Probiotik pada Pakan dalam Berbagai Konsentrasi
terhadap Pertumbuhan dan Mortalitas Udang Vaname (Litopenaeus vannamei).
Skripsi. Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya.
Norizan,
N., F. S. Harrison., M. Hasan., N. Musa., N. Musa., M. E. A. Wahid., S.
Catherine dan Zainathan. 2017. First detection of white spot syndrome virus
(wssv) in wild mudcrab Scylla spp. (de Hann, 1883) from Setiu wetlands,
Malaysia. Journal Science and Technology. 2-25
Prayoga,
W dan A. K. Wardani. 2015. Polymerase Chain Reaction Untuk Deteksi Salmonella
sp. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 3(2): 483-488.
Purhantara.
2010. Metode Penelitian Kualitatif untuk Bisnis. Graha Ilmu: Yogyakarta. 178
hlm.
Rochman,
1995. Mengamati White spot secara Selular. Techner Edisii 18 (thIII/1995).
Hal:7-9.
Sugiono.
2009. Metode Penelitian Bisnis. Alfabeta: Bandung. 540 hlm.
Sumeru,
S. U., dan S. Anna. 1992. Pakan Udang Windu (Panaeus moonodon). Yogyakarta:
Kanisius. 96 hlm
Suryabrata.
1991. Metodologi Penelitian. CV. Rajawali: Jakarta. 96 hlm.
Suyanto,
S dan E. P. Takarina. 2009. Panduan Budidaya Udang Windu. Penebar Swadaya:
Jakarta. 116 hlm.
Techner,
1995. Penyakit Ganas White Spot. Techner Edisi 18 (th III/1995). Hal:4-5.
Vlak,
J. M., Bonami J. R., Flegel T. W., Kou G. H., Lightner D. V., LO, C. F., Loh P.
C., Walker, P. J. 2002. http // www.plant Wageningen-urnl/dews/2001-
14-en/html. Diakses pada tanggal 18 Agustus 2018.
Wang,
Y. G, Shariff, P. M. Sudha, P S. Srinivasa Rao., M. D. And L. T. Tan. 1998.
Managing White Spot Disease in Shrimp. Info Fish International. 3/98. P:30-36.
Widigdo,
B. 2013. Bertambak Udang Dengan Teknologi Biocrete.Jakarta: Kompas Media
Nusantara.
Wijayanti,
A., E. Susanti., C.purbomartono.1999. Pedoman Praktis Analisis Penyakit Udang.
BBPBAP Jepara.
Wyban,
J. W dan Sweeney, J. N. (1991). Intensive Shrimp Production Technology. The
Oceanic Institute Shrimp Manual. Honolulu, Hawai, USA. 158 pages.
Yusuf,
Z. K. 2010. Polymerase Chain Reaction (PCR). Jurnal Saintek. 5(6): 1-6.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Pengelolaan sampel di Laboratorium MKHA BBPBAP Jepara
Lampiran
2. Skema pemeriksaan WSSV yang menyerang udang
vannamei
dengan
metode PCR
Lampiran 3. Pengukuran kualitas air naupli udang vaname
Lampiran 3. (Lanjutan) pengukuran kualitas air udang vaname ukuran
sedang
Lampiran 3. (Lanjutan) pengukuran kualitas air udang vaname ukuran
indukan
Lampiran
4. Data Sampling Induk Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)
Lampiran 5. Hasil PCR WSSV pada
udang vannamei
Lampiran 6. Alat yang Digunakan
Lampiran 7. Bahan yang Digunakan
Lampiran 8. Uji PCR WSSV pada udang
vaname
Post a Comment for "PCR Udang Vaname Terinfeksi WSSV "