Udang vaname
(Litopenaeus vannamei) saat ini telah banyak dibudidayakan di Indonesia. Para
pembudidaya sudah banyak beralih ke udang vaname karena merupakan komoditas
ekspor serta memiliki permintaan pasar yang cukup tinggi. Produksi udang vaname
juga menunjukkan peningkatan. Pada periode tahun 2009 – 2013, menurut
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2013) produksi udang vaname mengalami
peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2009, jumlah produksi mencapai
170.969 ton. Pada tahun 2010, mengalami peningkatan menjadi sebesar 205.578
ton. Pada tahun 2011 dan 2012 masing-masing mengalami peningkatan menjadi
sebesar 246.420 dan 251.763 ton. Pada tahun 2013 mengalami peningkatan produksi
yang cukup besar yakni menjadi sebesar 386.314 ton.
Udang
vaname (L. vannamei) adalah salah satu spesies udang yang bernilai ekonomis dan
merupakan salah satu komoditas unggulan nasional. Udang vaname memiliki
beberapa kelebihan udang vaname yaitu bersifat euryhaline, udang ini mampu
hidup pada perairan dengan salinitas sekitar 0,5-45 0⁄00 , dan waktu
pemeliharaan lebih pendek yakni sekitar 90-100 hari per siklus (Hudi dan Shahab
2005). Udang vaname juga memiliki nafsu makan yang tinggi dan dapat
memanfaatkan kadar protein rendah dengan kadar 20%-35% (Briggs, et al., 2004),
sehingga pada sistem budidaya dengan pola semi intensif biaya pakan dapat
diminimalisir (Burhanuddin, 2009). Karena keunggulan-keunggulannya tersebut, udang
vaname ini memiliki prospek yang baik untuk dibudidayakan.
Udang
vaname juga memiliki kelemahan, salah satunya juga sering terserang berbagai
penyakit. Menurut Arafani, et al. (2016), pada budidaya udang vaname kemunculan
penyakit merupakan kerugian besar, berbagai penyakit akibat infeksi bakteri dan
virus menyebabkan budidaya terganggu. Virus bercak putih atau white spot
syndrome virus (WSSV) merupakan salah satu penyakit yang paling mengancam
industri tambak udang dan di seluruh dunia. Penyakit WSSV pada udang
menyebabkan gagal panen, menurunkan minat petambak untuk melakukan budidaya
udang, serta mematikan tambak-tambak produktif.
WSSV
memiliki kemampuan menimbulkan penyakit (virulensi) yang sangat tinggi. Virus
ini bisa mengakibatkan total kematian 100% pada 3 sampai 10 hari penyerangan
(Wang, et al., 2007). Penyakit bintik putih telah diketahui disebabkan oleh
virus WSSV melalui teknik deteksi menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction)
yang telah dikembangkan untuk diagnosa cepat agar dapat mencegah penyebaran
virus pada sistem budidaya.
Analisis
histopatologi juga perlu dilakukan guna melihat tingkat kerusakan sel akibat
infeksi WSSV. Menurut Pratiwi dan Manan (2015), Kepentingan pemeriksaan
histopatologi dalam diagnosa penyakit infeksi selain diketahui kemungkinan
penyebab infeksinya, juga dapat dilihat dari peradangan dan infiltrasi sel
radang yang ada. Maka dari itu perlu melakukan analisis histopatologi pada
udang yang terinfeksi WSSV guna mengetahui kerusakan sel yang disebabkan oleh
virus.
RUMUSAN MASALAH
Virus
WSSV penyebab kerugian besar pada tambak udang vaname sehingga perlu adanya
deteksi dini sehingga mencegah kerugian yang lebih besar akibat serangan virus
white spot. Gejala klinis serangan virus dapat diamati berupa adanya bintik-bintik
putih pada karapas, warna kemerahan di kepala maupun ujung ekor.
Penanganan
yang dilakukan untuk udang yang telah terinfeksi virus dengan menggunakan PCR
(Polymerase Chain Reaction). PCR mampu mendeteksi keberadaan virus pada udang
budidaya sehingga bisa dilakukan tindakan yaitu panen total pada kolam
pemeliharaan udang sehingga mencegah penularan ke kolam lainnya.
Infeksi
virus juga dapat dilihat melalui uji histopatologi. Gambaran jaringan organ
udang akan menunjukkan mengenai tingkat kerusakan yang disebabkan oleh virus
WSSV. Jaringan yang diamati adalah organ limfoid yang merupakan organ pembentuk
sistem pertahanan dalam melawan patogen pada tubuh udang vaname, analisis
histopatologi tingkat kerusakan sel akibat WSSV perlu dilakukan.
Dari
uraian tersebut dapat dirumuskan masalah yaitu bagaimana infeksi White Spot
Syndrome Virus (WSSV) mempengaruhi histologi organ limfoid udang vaname
(Litopenaeus vannamei) yang dilihat dari tingkat kerusakan selnya serta gejala
klinis pasca infeksi.
TUJUAN
Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran histologi organ limfoid udang
vaname (Litopenaeus vannamei) pasca infeksi WSSV dan mengetahui gejala klinis
pasca infeksi virus WSSV.
HIPOTESIS
Hipotesis
pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
H0
: Diduga infeksi virus WSSV tidak berpengaruh terhadap histologi organ limfoid
dan gejala klinis udang vaname (Litopenaeus vannamei).
H1
: Diduga infeksi virus WSSV berpengaruh terhadap histologi organ limfoid dan
gejala klinis udang vaname (Litopenaeus vannamei).
KEGUNAAN PENELITIAN
Penelitian
ini diharapkan menjadi sumber informasi tentang kerusakan sel organ limfoid
pada udang vaname (Litopenaeus vannamei) yang diinfeksi virus WSSV dengan dosis
10^2, 10^3 dan 10^4 serta mengetahui gejala klinis yang diakibatkan oleh infeksi
virus.
TEMPAT DAN WAKTU
PELAKSANAAN PENELITIAN
Penelitian
ini dilaksanakan di Laboratorium Manajemen Kesehatan Hewan Akuatik Balai Besar
Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 08 Januari – 28
Februari 2019.
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi
dan Morfologi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)
Klasifikasi
udang vaname menurut Wyban dan Sweeney (1991) adalah sebagai berikut:
Phylum : Arthropoda
Class : Crustacea
Subclass : Malacostracea
Seri : Eumalacostraca
Superordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Subordo : Dendrobrachiata
Infraordo : Penacidea
Superfamily
: Pecidea
Family : Penaeidae
Genus : Penaeus
Subgenus : Litopenaeus
Spesies
: Litopenaeus vannamei
Menurut
Manoppo (2011), tubuh udang vaname berwarna putih transparan sehingga lebih
umum dikenal sebagai white shrimp. Tubuh sering berwarna kebiruan karena lebih
dominannya kromatofor biru. Panjang tubuh dapat mencapai 23 cm. Udang vaname
dapat dibedakan dengan spesies lainnya berdasarkan pada eksternal genitalnya.
Panjaitan (2012) menambahkan bahwa udang vaname mempunyai tubuh beruas-ruas
seperti udang penaeid lainnya, dimana pada tiap ruasnya terdapat sepasang
anggota badan. Udang vaname termasuk ordo decapoda yang dicirikan memiliki
sepuluh kaki terdiri dari lima kaki jalan dan lima kaki renang. Tubuh udang
vaname secara morfologis dibedakan menjadi dua bagian yaitu cephalotorax atau
bagian kepala dan dada serta bagian abdomen atau perut. Bagian cephalotorax
terlindung oleh kulit chitin yang tebal disebut carapace. Secara anatomi
cephalotorax dan abdomen terdiri dari segmen-segmen atau ruas-ruas. Morfologi
udang vaname dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Udang Vaname
(Litopenaeus vannamei) (Megawati, 2017)
HABITAT UDANG VANAME
(L. VANNAMEI)
Habitat
udang vaname usia muda adalah air payau, seperti muara sungai dan pantai.
Semakin dewasa udang jenis ini semakin suka hidup di laut. Ukuran udang
menunjukan tingkat usai. Dalam habitatnya, udang dewasa mencapai umur 1,5
tahun. Pada waktu musim kawin tiba, udang dewasa yang sudah matang telurnya
atau calon spawner berbondong-bondong ke tengah laut yang dalamnya sekitar 50
meter untuk melakukan perkawinan. Udang dewasa biasanya berkelompok dan
melakukan perkawinan, setelah betina berganti cangkang (Nadhif, 2016).
Di
alam udang ini menyukai dasar berlumpur pada kedalaman dari garis pantai sampai
sekitar 72 m. Hewan ini juga telah ditemukan menempati daerah mangrove yang
masih belum terganggu. Udang ini nampaknya dapat beradaptasi dengan perubahan
temperatur dan tekanan di alam. Udang vaname dapat beradaptasi dengan baik pada
level salinitas yang sangat rendah (Manoppo, 2011).
SIKLUS HIDUP
Siklus
hidup udang vaname sejak telur mengalami fertilisasi dan lepas dari tubuh induk
betina menurut Wyban dan Sweeney (1991), akan mengalami berbagai macam tahap,
yaitu:
NAUPLIUS
Stadia
nauplius terbagi atas enam tahapan yang lamanya berkisar 46-50 jam. Larva
berukuran 0,32-0,58 mm. Sistem pencernaan belum sempurna, memiliki cadangan
makanan berupa kuning telur sehingga tidak membutuhkan makanan dari luar.
ZOEA
Stadia
zoea terbagi atas tiga tahapan, berlangsung selama sekitar 4 hari. Larva zoea
berukuran 1,05-3,30 mm. Pada stadia ini larva mengalami molting sebanyak 3
kali, yaitu stadia zoea 1, zoea 2, dan zoea 3. Stadia zoea sangat peka terhadap
perubahan lingkungan terutama kadar garam dan suhu air. Zoea mulai membutuhkan
makanan berupa fitoplankton.
MYSIS
Stadia
mysis terbagi atas tiga tahapan, yang lamanya 4-5 hari. Bentuk udang stadia
mysis mirip udang dewasa, bersifat planktonis dan bergerak mundur dengan cara
membengkokkan badannya. Udang stadia mysis mulai menggemari pakan berupa
zooplankton, misalnya Artemia salina.
POST LARVA
Pada
stadia post larva sudah seperti udang dewasa. Hitungan stadia berdasarkan hari,
misalnya PL1 berarti post larva berumur satu hari. Stadia larva ditandai dengan
tumbuhnya pleopoda yang berambut (setae)
untuk renang. Stadia larva bersifat bentik atau organisme penghuni dasar
perairan, dengan pakan yang disenangi berupa zooplankton. Siklus hidup udang
vaname dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Siklus Hidup Udang
Vaname (Litopenaeus vannamei) (Nadhif, 2016)
PENYAKIT YANG BIASA
MENYERANG UDANG VANAME (L. VANNAMEI)
Pada
budidaya udang vaname penyakit yang biasa menyerang diakibatkan oleh virus.
Virus merupakan salah satu jenis patogen obligat murni dengan salah satu ciri
utama organisme ini tidak dapat hidup secara bebas di alam. Untuk kehidupannya
virus ini tergantung sepenuhnya pada inangnya. Sifat virus yang demikian
menyebabkan organisme ini mempunyai daya serang yang cukup kuat. Penyakit viral
merupakan masalah serius pada budidaya udang ditambak karena dalam waktu
relativ singkat dapat menyebabkan kematian. Virus yang menyerang udang ditambak
antara lain Monodon Baculo Virus (MBV), Hepatopancreatic Parvolike Virus (HPV),
Yellow Head Baculovirus (YBH), Infection Hypo dermal and Hematopoetic Necrosis
Virus (IHHNV), Systemic Ectodermal and Mesodermal Baculovirus (SEMBV) dan White
Spot Syndrome Virus (WSSV) (Kilawati dan Maimunah, 2015).
Akhir-akhir
ini telah diketahui adanya infeksi penyakit oleh virus pada komoditas udang di
Indonesia yang saat ini sering disebut dengan penyakit bercak putih atau white
spot syndrome virus (WSSV). Kematian udang pada usia satu sampai dua bulan di
tambak sudah menjadi hal yang umum sebagai akibat serangan virus bercak putih,
yang mengakibatkan ribuan hektar tambak tidak bisa berproduksi lagi. Hal ini
berdampak terhadap kerugian negara yang diperkirakan mencapai 2,5 trilyun
rupiah per-tahun (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2006).
WHITE SPOT SYNDROME
VIRUS (WSSV)
KLASIFIKASI DAN
MORFOLOGI
White
spot syndrome virus atau virus penyebab bercak putih ini diberi nama system
ectodermal and mesodermal baculovirus karena virus ini menyerang organ yang
berasal dari jaringan ektodermal dan mesodermal (Takashi, et al., 1994). WSSV
merupakan patogen yang paling serius menyerang udang dan telah menghancurkan
industri perudangan di berbagai negara. Virus tersebut sangat ganas dan sangat
sulit dihentikan. WSSV menyebabkan kematian 100% sejak gejala klinis muncul.
Menurut
Vlak, et al. (2002), berdasarkan pendeteksian virus, virus ini tergolong ke
dalam klasifikasi sebagai berikut:
Famili : Nimriviridae
Genus : Whisporus
Spesies : White spot syndrome virus (WSSV)
Nama
Nimaviridae berasal dari bahasa latin yang berarti 1 benang atau perpanjangan
pada ujung partikel virus yang berbentuk seperti ekor. Keberadaan ekor dan
adanya perulangan pada genom DNA inilah yang membuat mirip dengan kelompok
baculovirus, namun secara filogenetik DNA Nimaviridae berbeda dengan DNA virus
pada umumnya. virus ini diberi nama Baciliform virus karena virus ini berbentuk
batang dengan ukuran 83-275 nm (Wijayanti, 1999). Virus WSSV perbesaran 1000x
dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Virus WSSV (White Spot
Syndrome Virus) (Budiwardhani., 2018)
MEKANISME SERANGAN
WSSV
Mekanisme
terjadinya infeksi virus sampai menimbulkan penyakit yang meliputi infeksi
virus untuk menginfeksi suatu sel, Menurut Malole (1988), pertama- tama virus
harus kontak dengan permukaan sel, lalu masuk ke dalam dinding sel. Pada studi
patogenik menunjukkan bahwa infeksi WSSV merusak hepatopankreas, jaringan usus,
insang, dan limfoid pada udang. Konsentrasi penyerangan WSSV adalah organ
limfoid yang berfungsi sebagai penghasil getah bening dalam proses imunitas
tubuh udang, hal inilah yang menyebabkan penurunan daya tahan tubuh udang
sangat cepat jika terkena penyakit ini (Bower, 1996).
Gejala
White spot berupa awalnya bintik putih di kulit. Namun bintik ini berkembang
semakin banyak diikuti pula dengan melebarnya bintik tersebut membentuk bercak.
Sedangkan menurut Wang, et al. (1998), batas bintik-bintik putih atau tambalan
agak putih yang mengelilingi kutikula terlihat pertama kali pada karapas dengan
segmen abdominal ke-5 dan ke-6 kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Udang yang
terinfeksi, batas selnya tidak jelas karena terjadi peluruhan atau rusak.
Sementara dengan bantuan mikroskop lapisan inti sel berupa titik-titik berwarna
hitam pekat dan inti sel yang akhirnya sel pecah (Rahayu, 2002). Bintik putih
akibat serangan WSSV Gambar 4.
Gambar 4. Bintik Putih Akibat
Serangan WSSV (Effendi, 2018)
SISTEM PERTAHANAN
TUBUH UDANG
Respon
imunitas dibentuk oleh jaringan limfoid. Pada udang, jaringan limfoid menyatu
dengan jaringan mieloid, sehinga dikenal sebagai jaringan limfomieloid. Produk
jaringan limfomieloid adalah sel-sel darah dan respon immunitas baik seluler
maupun humoral (Itami, 1994). Darah udang tidak mengandung haemoglobin,
sehingga darahnya tidak berwarna merah. Peranan haemoglobin digantikan oleh
haemosianin yaitu protein yang mengandung senyawa Cu dan berfungsi untuk
mengangkut oksigen ke seluruh tubuh (Maynard, 1960). Hemosit merupakan sel
darah udang yang memiliki fungsi sama seperti sel darah putih pada hewan
vertebrata (Fariedah, 2010). Sel hemosit berperan dalam respon imun non
spesifik pada udang (Alifuddin, 2002).
Sistem
imun udang merupakan sistem imun non spesifik dikarenakan tidak memiliki
immunoglobulin dan T-limfosit yang dapat mendeteksi adanya benda asing yang
masuk. Udang memiliki respons imunitas non spesifik yang meliputi sistem
pertahanan secara seluler dan humoral (Ode, 2013). Sistem pertahanan seluler
dengan cara fagosit sel-sel hemosit, nodulasi dan enkapsulasi, sedangkan sistem
pertahanan humoral dilakukan oleh phenoloksidase (PO), prophenoloksidase
(proPO), letin dan aglutinin. Meningkatnya ketahanan tubuh udang dapat
diketahui dari meningkatnya aktivitas fagositosis sel hemosit (Putri, et al.,
2013). Proses fagositosis dimulai dengan perlekatan (attachment) dan penelanan
(ingestion) partikel mikroba ke dalam sel fagosit. Proses enkapsulasi berawal
dari sel hemosit mengelilingi tubuh benda asing, bagian sel terluar dari
hemosit tetap berbentuk oval atau bulat sedangkan bagian tengah sel menjadi
datar dan pada fase berikutnya dilisis membentuk kapsul tebal berwarna coklat
dan keras. Kapsul tersebut tidak diserap kembali dan tetap sebagai tanda
enkapsulasi meskipun sudah tidak ada hemosit yang dikenal (Manoppo dan
Kolopita, 2014). Hemosit juga memiliki enzim yang diperlukan untuk mengatur
kaskade proteolitik dalam penghentian rangsangan dan kerusakan jaringan yang
dihasilkan oleh patogen (Aguirre-Guzman, et al., 2009).
METODE DETEKSI VIRUS
Diagnosa
penyakit atau deteksi virus perlu dilakukan guna mengetahui virus apa yang
menyebabkan kematian pada kolam budidaya. Metode yang dapat dilakukan dengan
metode molekuler yaitu Polymerase Chain Reaction (PCR) Deteksi secara molekuler
merupakan metode deteksi yang sangat sensitif dan spesifik, namun prosedur
analisisnya mulai dari ektraksi DNA/RNA, amplifikasi dan elektroforesis harus
dikerjakan secara aseptis di dalam laboratorium yang terkontrol dan memerlukan
alat laboratorium yang khusus dan rumit. (Koesharyani dan Gardenia, 2015).
Metode
deteksi lain yaitu dengan melihat kerusakan sel jaringan organ melalui analisis
histopatologi. Pemeriksaan ini dilakukan melalui pemeriksaan terhadap
perubahan-perubahan abnormal pada tingkat jaringan. Pemeriksaan disertai dengan
pengetahuan tentang gambaran histologi normal jaringan dan patologi.
Pemeriksaan histopatologi dalam diagnosa penyakit infeksi selain diketahui
kemungkinan penyebab infeksinya, juga dapat dilakukan klasifikasi penyakit
berdasarkan waktu dan distribusi penyakit. Dalam penentuan penyebaran infeksi
dan tingkat keberlangsungan infeksi dapat dilihat dari peradangan dan
infiltrasi sel radang yang ada (Pratiwi dan Manan, 2015).
PENGERTIAN HISTOLOGI
DAN HISTOPATOLOGI
Menurut
Harjana (2011), histologi mempelajari jaringan penyusun tubuh, kimia jaringan
dan sel dipelajari dengan metode analitik mikroskopik dan kimia. Zat-zat kimia
di dalam jaringan dan sel dapat dikenali dengan reaksi kimia yang menghasilkan
senyawa berwarna tak dapat larut, diamati dengan mikroskop cahaya. Jaringan
adalah kumpulan dari sel-sel sejenis atau berlainan jenis termasuk matrik antar
selnya yang mendukung fungsi organ atau sistem tertentu.
Histopatologi
merupakan penelusuran penyakit secara mikroskopik dimana dalam pengamatan
histopatologi informasi yang diperoleh dalam bentuk gambaran perubahan
organ/jaringan. Informasi yang diperoleh juga dapat digunakan sebagai data
untuk mengetahui ada atau tidak infeksi penyakit serta untuk meramalkan proses
kejadian penyakit dan tingkat epidemik suatu penyakit. Infeksi suatu penyakit
baik yang infeksius maupun yang non-infeksius dapat didiagnosa dengan beberapa
cara, diantaranya dengan diagnosa secara histopatologi yang bertujuan untuk
mendapatkan berbagai informasi tentang penyakit (Pazra, 2008).
ANALISIS
HISTOPATOLOGI
Menurut
Setyowati, et al. (2012), analisa histopatologi dapat digunakan sebagai
biomarker untuk mengetahui kondisi kesehatan udang melalui perubahan struktur
yang terjadi pada organ-organ yang menjadi sasaran utama dari bahan pencemar
seperti insang, limfoid, hepatopankreas, usus dan sebagainya. Selain itu,
penggunaan biomarker histopatologi dapat digunakan dalam memonitoring
lingkungan dengan mengamati organ-organ tersebut yang memiliki fungsi penting
dalam metabolisme tubuh sehingga dapat digunakan sebagai diagnosis awal
terjadinya gangguan kesehatan pada suatu organisme.
Persiapan
jaringan melalui tahap fiksasi, pemotongan jaringan, pelabelan specimen,
refiksasi, dan deklasifikasi. Selanjutnya, pengolahan jaringan dilakukan dengan
tahap dehidrasi, penjernihan, penyusupan parafin dan pembuatan blok. Jaringan
berparafin dalam bentuk blok yang akan dibuat irisan tipis jaringan dengan
mikrotom sehingga menjadi preparat yang dapat diwarnai dengan beberapa jenis
pewarna jaringan, seperti pewarnaan hematoksilin eosin, giemsa dan lain-lain (Panigoro,
et al., 2007).
ORGAN LIMFOID
Organ
limfoid pertama kali diperkenalkan oleh Masao Oka pada tahun 1969, yang
terdapat pada Penaeus orientalis sehingga organ limfoid juga sering disebut
dengan organ oka. Hasil penelitian Alifuddin (2002) menjelaskan bahwa organ oka
ini terdiri dari dua lobus, terletak di dorso-anterior hepatopankreas dan
ventro-lateral labung anterior dan posterior. Diperjelas menurut Lu, et al.
(1995) organ limfoid memilliki letak yang unik dan relatif kecil, sehingga
tidak mudah untuk identifikasi dan pemotongan organ, apalagi ketika udang yang
digunakan ukurannya kurang dari 10 gram. Nuryati (2000) mengatakan bahwa organ
limfoid terletak di bagian depan hepatopankreas. Organ ini terdiri atas dua
lobus yang menyatu membentuk bulatan dengan diameter kira-kira 3 mm berwarna
putih.
Berdasarkan
observasi yang dilakukan adanya pembuluh aferen dan eferen pada organ limfoid.
Pembuluh aferen dihubungkan oleh arteri antena yang membagi dua dan menjadi
pusat dari tubula. Organ limfoid pada krustasea memainkan peran penting dalam
respon imun. Organ ini diketahui sebagai pusat akumulasi benda-benda asing yang
masuk ke tubuh udang termasuk patogen (Oka, 1969). Letak Organ Limfoid Udang
Vaname dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Letak Organ Limfoid
Udang Vaname (Prayugi, 2014)
PARAMETER YANG
DIAMATI
PENGAMATAN
HISTOPATOLOGI
Karakteristik
histopatologi udang yang terinfeksi WSSV yaitu adanya pembesaran inti sel pada
jaringan organ yang terinfeksi. Kerusakan sel yang terlihat melalui pengamatan
histopatologi adalah adanya pembengkakan yang terjadi pada inti sel
(hipertropi). Keadaan ini disebabkan perkembangan dan penumpukan virion yang
berkembang dalam nukleus (Baidi, 2002).
Serangan
WSSV menyebabkan Inti sel akibat infeksi WSSV bergerak ke pinggir (karyoreksis)
hingga terjadi karyolisis. Inti sel yang membengkak akan menekan cairan sel
sehingga menyebabkan sel pecah karena penekanan inti sel. Inti sel yang pecah
bercampur dengan pecahan inti sel lain yang bersebelahan menimbulkan runtuhan
sel (debris), hal ini menyebabkan rusaknya fungsi organ sampai akhirnya
menyebabkan kematian pada udang tersebut (Rocman, 1995). Organ limfoid udang
normal, dan Organ Limfoid udang terinfeksi WSSV terjadi pembengkakan inti sel
(hipertropi) dapat dilihat pada Gambar
6.
Gambar 6. (a) Limfoid Udang
Normal, (b) Limfoid Udang Terinfeksi WSSV inti sel membengkak (hipertropi). (Ochoa-Meza,
et al., 2018)
GEJALA KLINIS
SERANGAN WSSV
Infeksi
virus WSSV akan menunjukkan gejala klinis meliputi perubahan fisiologis,
tingkah laku, dan morfologis. Parameter fisiologis dan tingkah laku yaitu
meliputi nafsu makan, aktivitas berenang, perubahan warna tubuh udang, serta
dihitung udang yang mati selama pemeliharaan. Selain itu, diamati ciri-ciri
morfologisnya yang meliputi warna tubuh, kelainan bentuk tubuh maupun warna
pada rostrum, karapas maxiliped, antena, antenula, periopod, pleopod,
hepatopankreas, telson dan uropod serta kelengkapan organnya. Gejala klinis
muncul akibat infeksi virus (Subkhan, et al., 2005).
Udang
yang terserang WSSV juga akan menunjukan gejala klinis berupa nafsu makan
berkurang, lemah, bagian tubuh berwarna kemerahan dan bintik putih, serta
lepasnya kutikula dari tubuh (Bower, 1996). Gejala klinis yang timbul pada
udang vaname karena infeksi WSSV dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Gejala Klinis Udang
yang Terinfeksi WSSV (Arafani, et al., 2016)
KELANGSUNGAN HIDUP
(SURVIVAL RATE)
Menurut
Usman dan Rochmady (2017), kelangsungan hidup merupakan kemampuan udang
bertahan hidup selama waktu tertentu. Kelangsungan hidup ditunjukkan oleh
individu yang hidup hingga akhir pemeliharaan. Tingkat kelangsungan hidup udang
masa pemeliharaan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain adalah
kepadatan, kuantitas dan kualitas pakan, lingkungan budidaya maupun faktor
lainnya. Kepadatan udang yang tinggi dapat menyebabkan terganggunya
kelangsungan hidup udang, sebagai akibat dari adanya sifat kanibal udang. Dalam
pemeliharaan udang juga perlu penanganan yang serius dalam hal pemberian pakan,
dan pengelolaan kualitas air.
Kelangsungan
hidup digunakan untuk mengetahui kelulushidupan udang di akhir masa
pemeliharaan. Menurut Susilowati, et al. (2014), kelangsungan hidup udang
dihitung dengan membandingkan jumlah udang yang hidup pada akhir penelitian dan
jumlah udang di awal penelitian. Penentuan kelangsungan hidup udang dapat
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
SR
= Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt = Jumlah udang yang hidup pada akhir
pemeliharaan (ekor)
N0 = Jumlah udang pada awal pemeliharaan (ekor).
KUALITAS AIR
SUHU
Suhu
air sangat dipengaruhi oleh jumlah sinar matahari yang jatuh ke permukaan air
yang sebagian dipantulkan kembali ke atmosfer dan sebagian lagi diserap dalam
bentuk energi panas. Pengukuran suhu sangat perlu untuk mengetahui
karakteristik perairan. Suhu memegang peranan penting bagi hidup dan kehidupan
organisme perairan. Menurut Haliman dan Adijaya (2005), suhu yang optimal untuk
pertumbuhan udang antara 26-320C.
SALINITAS
Salinitas
merupakan jumlah garam yang terlarut di dalam air. Salinitas dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti pasang surut, penguapan, curah hujan dan topografi
perairan. Udang vaname merupakan spesies yang toleran terhadap salinitas bersifat euryhaline Salinitas yang baik untuk
pemeliharaan udang vaname berkisar antara 24-32 ppt (Adisukresno, 1990).
POTENSIAL HIDROGEN
(PH)
Potensial
hidrogen (pH) merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen perairan. Pengukuran pH
akan mengungkapkan jika larutan bersifat asam atau alkali (basa). Jika larutan
tersebut memiliki jumlah molekul asam dan basa yang sama, pH dianggap netral.
Pada budidaya udang vaname, Sumeru dan Anna (1992), berpendapat bahwa pH air
yang baik untuk pemeliharaan dan pembesaran udang vaname berkisar 7,0–8,5.
OKSIGEN TERLARUT
(DISSOLVED OXYGEN)
Oksigen
terlarut atau dissolved oxygen (DO) adalah sejumlah oksigen yang terlarut dalam
suatu perairan. Nilai DO dapat diukur dari jumlah oksigen (O2) yang tersedia
dalam suatu perairan. Semakin besar nilai DO pada air, mengindikasikan perairan
tersebut memiliki kualitas air yang bagus. Sumber utama oksigen terlarut dalam
air adalah fitoplankton, aerator dan tumbuhan air. Kadar oksigen terlarut untuk
pertumbuhan udang vaname Menurut Amri dan Kanna (2008) berkisar antara 4-7 ppm.
ALAT-ALAT PENELITIAN
Alat-alat
beserta fungsi yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 2 (Lampiran 1) sebagai berikut.
Tabel 2. Alat-alat
Penelitian
Alat
|
Fungsi
|
Bak
Kontainer 150 L
|
Untuk
wadah media hidup udang.
|
Selang
aerator
|
Untuk perantara untuk menyuplai oksigen.
|
Batu
aerasi
|
Untuk
memecah gelembung oksigen.
|
Seser
|
Untuk membantu mengambil udang.
|
Bak fiber
|
Untuk
menampung air laut.
|
pH meter
|
Untuk mengukur kadar pH selama
pemeliharaan.
|
Thermometer
|
Untuk mengukur
suhu selama pemeliharaan.
|
DO meter
|
Untuk mengukur kadar DO selama
pemeliharaan.
|
Pipa
paralon
|
Untuk
mengalirkan oksigen dari blower ke seluruh bak kontainer.
|
Blower
|
Untuk menyuplai oksigen ke seluruh bak.
|
Autoklaf
|
Untuk
mensterilisasi alat-alat yang digunakan.
|
Botol
sprayer
|
Untuk wadah alkohol 70%.
|
Timbangan
digital
|
Untuk
menimbang berat pakan.
|
Nampan
|
Untuk wadah alat dan bahan.
|
Oven
|
Untuk
mencairkan gel agarose.
|
Sectio set
|
Untuk alat proses pembedahan sampel.
|
Botol film
|
Untuk
menyimpan organ setelah udang dibedah.
|
Sterofoam
|
Untuk wadah saat transportasi udang.
|
Mikroskop
binokuler
|
Untuk
membantu melihat dan menganalisis hasil histopatologi.
|
Freezer
suhu -80ºC
|
Untuk menyimpan sampel uji
|
Tissue
prosesor
|
Untuk
wadah larutan alkohol bertingkat, xylol serta parafin pada proses dehidrasi
dan clearing.
|
Slide
drying
|
Untuk membantu mengeringkan slide setelah
ditempeli potongan jaringan.
|
Pisau
mikrotom
|
Untuk
memotong sediaan jaringan yang telah diparafin.
|
Cassette
|
Untuk tempat meletakkan organ pada proses
pembuatan preparat histopatologi.
|
Objek
glass
|
Untuk
meletakkan organ yang telah dipotong.
|
Waterbath
|
Untuk wadah air panas yang berfungsi untuk
meletakkan hasil potongan histologi.
|
Wax
dispenser
|
Untuk
wadah parafin pada saat proses blocking
|
Sentrifuge
|
Untuk memisahkan antara supernatan dan
residu.
|
Thermall
Cycler
|
Untuk
penggandaan DNA dan RNA.
|
Inkubator
|
untuk inkubasi sampel yang di PCR.
|
Laminary
Air Flow
|
Untuk
tempat melakukan kegiatan ekstraksi DNA proses PCR
|
Vortex
Mixer
|
Untuk menghomogenkan sampel.
|
Mikropipet
|
Untuk
memindah larutan sampel skala micro.
|
Cetakan
agar
|
Untuk pembuatan sumur pada agarose.
|
Ember
|
Untuk
memindah udang ke bak kontainer.
|
Pelet
pastel
|
Untuk menghaluskan sampel saat ekstraksi
DNA.
|
Spin down
|
Untuk
perlakuan putaran agar seluruh komponen berada di bawah tabung.
|
Bunsen
|
Untuk tempat spiritus.
|
Blue tip
|
Untuk
memindahkan larutan.
|
Tangki
elektroforesis
|
Untuk menghantarkan arus listrik dan
terjadi running DNA target.
|
UV
transimmulator
|
Untuk
menvisualkan DNA setelah di loading atau running dalam DNA elektroforesis.
|
Toples
supernatan
|
Untuk tempat pembuangan supernatan.
|
Saringan
sampel
|
Untuk
menyaring benur udang.
|
Mikrotube
|
Untuk tempat sampel yang akan di ekstraksi.
|
Refraktometer
|
Untuk alat
ukur salinitas perairan.
|
Spuit 1 ml
|
Untuk menginjeksikan virus pada udang
|
Tube
|
Untuk
wadah inolulum WSSV.
|
Saringan
miliophore
|
Untuk menyaring inokulum virus.
|
BAHAN-BAHAN PENELITIAN
Bahan-bahan
beserta fungsi yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 3 (Lampiran 2) sebagai berikut.
Tabel 3. Bahan-bahan
Penelitian
Bahan-bahan
|
Fungsi
|
Udang
vaname size 50
|
Sebagai
sampel yang diamati.
|
Air laut
|
Sebagai media hidup udang.
|
Kaporit
|
Sebagai
bahan sterilisasi air.
|
Na-thiosulfat
|
Sebagai penetral kaporit.
|
Alkohol
70%
|
Sebagai
pengkondisian aseptis.
|
Tisu
|
Sebagai pembersih alat-alat yang telah
digunakan.
|
Isolat
WSSV
|
Sebagai
bahan untuk perlakuan infeksi
|
PBS
|
Sebagai bahan untuk mempertahankan konsistensi
pH pada isolat virus.
|
Akuades
|
Sebagai
pemudar warna.
|
Kantong
plastik
|
Sebagai tempat sampel udang.
|
GT buffer
|
Sebagai
penjaga struktur DNA selama proses Penghancuran dan purifikasi sehingga
memudahkan penghilangan protein dan
RNA.
|
Bubuk
agarose
|
Sebagai bahan pembuat gel agarose.
|
Larutan
TBE
|
Sebagai
perendaman gel agarose selama proses
elektroforesis.
|
Nuclease
free water
|
Sebagai pelarut saat ekstraksi DNA.
|
Sarung
tangan
|
Sebagai
pelindung tangan.
|
Alkohol 70
%
|
Sebagai peluruh lemak dan protein.
|
Larutan
Etbr
|
Sebagai
bahan yang digunakan untuk memvisualisasi potongan-potongan DNA selama proses
elektroforesis.
|
Tisu
|
Sebagai pembersih sisa larutan.
|
Marker
|
Sebagai
bahan yang berfungsi untuk mengetahui Ukuran DNA hasil amplifikasi.
|
Sampel
Limfoid
|
Sebagai bahan yang akan diamati
histopatologinya.
|
Es batu
|
Sebagai
bahan penurun suhu pada coolbox saat transportasi ikan.
|
Kertas
label
|
Sebagai pemberi tanda perlakuan.
|
Formalin
10%
|
Sebagai
pengawet organ hasil nekropsi.
|
Larutan
davidson Sebagai
|
pengawet sampel sebelum analisis histologi.
|
Parafin
cair
|
Sebagai
bahan pengawet organ Limfoid pada proses impregnasi.
|
Parafin
blok
|
Sebagai bahan pengawet organ Limfoid pada
proses embedding.
|
Xylol
|
Sebagai
penghilang sisa alkohol pada jaringan.
|
Etanol
|
70%, 80%, 90% dan 100% Sebagai penarik air
yang ada pada jaringan.
|
Haematoxyline
|
Sebagai
pewarna jaringan dan memiliki sifat bersifat basa.
|
Eosin
|
Sebagai pewarna jaringan dan memiliki sifat
asam.
|
Lem
entelan
|
Sebagai
perekat cover glass pada objek glass.
|
Cover
glass
|
Sebagai penutup objek glass.
|
Dry ice
|
Sebagai
pengkondisian suhu pada saat transportasi virus.
|
METODE PENELITIAN
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental. Menurut Jaedun
(2011), Penelitian eksperimen merupakan penelitian yang dilakukan secara
sengaja oleh peneliti dengan cara memberikan treatment/perlakuan tertentu
terhadap subjek penelitian guna mengetahui suatu kejadian/keadaan yang diteliti
bagaimana akibat dari perlakuan.
RANCANGAN PENELITIAN
Pada
penelitian ini, rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL). Penggunaan RAL digunakan karena penelitian dilakukan di
laboratorium dengan kondisi lingkungan yang terkontrol (Nazir, 2003). RAL
merupakan rancangan penelitian yang paling sederhana dengan bahan yang homogen
dan perlakuan terbatas.
Rancangan
penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL). Rancangan acak lengkap merupakan rancangan percobaan yang paling
sederhana diantara rancangan percobaan standart lainya. Beberapa keuntungan
menggunakan rancangan acak lengkap antara lain: 1. Denah perancangan
percobaannya lebih mudah. 2. Analisis statistika terhadap objek percobaan
sederhana. 3. Fleksibel dalam jumlah penggunaan, perlakuan dan ulangan
(Pratista,2004). Denah RAL disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Denah Penelitian
Keterangan:
A
: Perlakuan dengan infeksi 10^2
B
: Perlakuan dengan infeksi 10^3
C
: Perlakuan dengan infeksi 10^4
K
: Kontrol negatif
PROSEDUR PENELITIAN
PERSIAPAN MEDIA
Media
pemeliharaan udang vaname dalam penelitian ini bersumber dari air laut yang
telah ditampung di dalam tandon BBPBAP Jepara. Air laut kemudian dilakukan
sterilisasi menggunakan kaporit dengan dosis 20 ppm dalam waktu 24 jam. Setelah
itu, ditambahkan Na-Thiosulfat untuk menghilangkan sisa-sisa kaporit setengah
dari dosis kaporit yang digunakan yaitu kurang lebih 10 ppm. Kemudian dilakukan aerasi selama 14 jam
secara terus menerus. Air laut yang telah steril dapat digunakan sebagai media
hidup udang.
PERSIAPAN WADAH
PENELITIAN
Wadah
pengamatan yang digunakan berupa bak kontainer dengan kapasitas 150 L sebanyak
12 buah. Bak yang akan digunakan
dibersihkan terlebih dahulu dengan air dan sabun, lalu dikeringkan kurang lebih
selama 24 jam. Setelah itu, air laut sebagai media hidup udang diisikan ke
dalam bak kontainer sebanyak 80 liter. Air laut yang digunakan telah
disterilkan terlebih dahulu menggunakan kaporit sebanyak 20 ppm. Kemudian
dilakukan pemasangan aerator set untuk membantu suplai ketersedian oksigen
selama pemeliharaan udang.
STERILISASI ALAT DAN
BAHAN
Sterilisasi
alat dan bahan sebelum digunakan merupakan salah satu prosedur yang sangat
penting. Hal tersebut disebabkan karena kebersihan alat dan bahan yang
digunakan akan menentukan berhasil atau tidaknya suatu kegiatan budidaya
mengingat mikroorganisme patogen dapat tumbuh dan berkembang dengan cepat
dimana saja. Berikut adalah langkah-langkah dalam proses sterilisasi alat dan
bahan.
-
Alat-alat uji PCR sebelum di sterilisasi dicuci dengan sabun dan dibilas
menggunakan air mengalir kemudian dikeringkan sampai benar-benar kering.
-
Bahan-bahan yang akan digunakan seperti saringan miliophore dan tube dimasukkan
ke alam beaker glass kemudian ditutup alumunium foil dan disterilisasi
menggunakan autoklaf.
-
Autoklaf di setting ke mode on yaitu suhu 1210C, tekanan 1 atm selama 15 menit.
Apabila telah selesai, tekan tombol off dan buka klep penutup setelah alarm
berbunyi.
PENYEDIAAN VIRUS WSSV
Virus
WSSV di dapatkan dari inokulum virus yang tersedia di Laboratorium Biologi
Molekuler Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, yaitu dari
sampel udang vaname yang positif terinfeksi WSSV. Prosedur pembuatan inokulum
virus dibuat mengikuti metode Wahjuningrum, et al. (2006), Virus diambil dari
organ insang udang vaname terinfeksi WSSV. Sebanyak 1 gram organ udang yang
terinfeksi WSSV digerus sampai halus dan dilarutkan dalam 9 ml air laut steril,
kemudian di sentrifuse dengan kecepatan 3000 g selama 30 menit dan 8000 g
selama 20 menit. Supenatan yang dihasilkan disaring dengan kertas miliphore
0,45 µm menggunakan filter holder dan syringe. Setelah itu dilakukan RT-PCR
untuk mengetahui dosis virus yang akan digunakan, lalu dilakukan pengenceran
bertingkat.
PERSIAPAN UDANG UJI
Udang
vaname yang akan diuji dalam penelitian ini dipilih udang vaname dengan kondisi
sehat dan memiliki ukuran size 50 yang sesuai dengan ukuran udang konsumsi. Hal
ini agar lebih mudah dalam pengamatan organnya. Udang yang digunakan sebanyak
120 ekor. Setiap bak kontainer dimasukkan udang 10 ekor lalu diaerasi untuk membantu suplai oksigen selama
pemeliharaan. Waktu pemeliharaan udang dilakukan selama kurang lebih 4 hari
sebagai perlakuan aklimatisasi sebelum dilakukan injeksi virus. Selama
pemeliharaan ini, udang diberi pakan pelet secara ad libitum dengan frekuensi
pemberian sebanyak 4 kali sehari. Penyiponan akuarium juga dilakukan secara
rutin agar kondisi kualitas air tetap stabil.
PELAKSANAAN PENELITIAN
PENULARAN VIRUS WSSV
Penularan
virus WSSV pada udang vaname dilakukan melalui injeksi. Virus disuntikkan di
bagian intramuscular segmen abdominal
ketiga sebanyak 0,1 ml/ekor. Jumlah udang yang diinjeksi sebanyak 90 ekor.
Pengamatan udang pasca injeksi virus
dilakukan pada jam ke 0, 6, 12, 24, 48, 60, dan 72 jam.
DETEKSI WSSV DENGAN
PCR
Setelah
diinjeksikan virus WSSV kemudian dilakukan pengujian pada udang menggunakan PCR
untuk mengetahui apakah udang terinfeksi WSSV atau tidak. Deteksi yang
digunakan adalah dengan metode Polymeration Chain Reaction (PCR). Metode ini
telah banyak digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus. Organ target yang
biasa digunakan dalam ekstraksi DNA udang adalah insang atau kaki renang
(pleopoda). Ekstraksi DNA dapat dilakukan dengan berbagai metode, tergantung
dari acuan yang digunakan. Pada Laboratorium Pengujian Mutu Perikanan Budidaya
BBPBAP Jepara mengacu pada The Office International des Epizooties, OIE (2009)
tentang Manual of Diagnostics Test for Aquatic Animal chapter 2.2.2, sehingga
metode ekstraksi DNA menggunakan metode lisis buffer.
Menurut
Handoyo (2001), dalam proses ekstraksi DNA bertujuan untuk mengeluarkan DNA
dari nukleus, mitokondria, atau organel dan biasanya dilakukan dengan
penambahan lisis buffer untuk mencegah terjadinya kerusakan DNA. Pada saat
ekstraksi DNA dilakukan penumbukan sampel agar bahan sampel menjadi halus dan
komposisinya menyatu. Pada dasarnya ekstraksi DNA terdiri dari beberapa tahap,
yaitu : homogenisasi, separasi, presipitasi, pencucian dan pelarutan DNA.
Ekstraksi pada organisme eukariot dilakukan melalui proses penghancuran dinding
sel, penghilangan protein dan RNA, dan pengendapan DNA dan pemanenan.
Menurut
Prayoga dan Wardani (2015), proses PCR berlangsung dalam tiga tahap, yakni
tahap denaturasi, tahap penempelan (annealing), dan tahap pemanjangan
(extension). Tahap denaturasi dilakukan dengan menaikkan suhu hingga suhu 93 –
950 C dan bertujuan untuk memecah DNA target dari dua untai menjadi untaian DNA
tunggal yang saling terpisah. Tahap annealing dilakukan pada suhu 50 – 620 C
setelah tahap denaturasi dan bertujuan agar primer menempel pada DNA target.
Tahap extension berlangsung pada suhu 720 C setelah tahap annealing dan
bertujuan agar enzim polimerase dapat melakukan sintesis sehingga berlangsung
proses pemanjangan untaian DNA baru. Setiap tahap PCR tersebut harus dilakukan
secara berurutan dan satu perjalanan dari tahap denaturasi hingga tahap
extension dinamakan satu siklus (cycle). Satu
proses PCR membutuhkan sekitar 30 – 40 siklus. Setelah elektroforesis,
dilakukan pewarnaan menggunakan etidium bromida selama 15 menit. Selanjutnya
dilakukan pembacaan hasil menggunakan UV transilluminator dan dilakukan
pengambilan foto untuk dokumentasi.
PEMBUATAN PREPARAT
HISTOLOGI
Pengambilan
organ limfoid dilakukan pada hari sebelum terjadinya kematian 100 % pasca penularan virus WSSV.
pembuatan preparat histologi dengan tahapan-tahapan menurut Zalsabilla (2018),
sebagai berikut:
Tahap Fiksasi
Organ
limfoid udang yang telah didapatkan kemudian direndam dalam botol film yang
berisi larutan Davidson selama selama 24-28 jam. Setelah itu larutan Davidson
diganti dengan larutan alkohol 70% hingga proses dehidrasi dilakukan. Menurut
Hamsah, et al. (2006), Larutan fiksatif Davidson baik digunakan untuk
pengawetan udang dengan lama waktu 24-28 jam. Jaringan limfoid kemudian
dipotong setebal 3-5 mm dengan ukuran sekitar 1 cm3. Potongan jaringan yang
terlalu besar akan mengakibatkan jaringan tidak terfiksasi secara sempurna, sehingga
dapat menyebabkan pembusukan dan mengganggu proses pengamatan histopatologi
organ.
Tahap Dehidrasi
Pada
tahapan ini dilakukan penarikan air secara bertahap pada jaringan menggunakan
alat tissue processor selama 20 jam. Proses dalam alat tissue processor terdiri
atas alkohol 70% selama 1 jam, alkohol 80% selama 1 jam, alkohol 90% selama 2
jam, alkohol 96% selama 2 jam, alkohol absolute 1 selama 2 jam dan alkohol
absolute 2 selama 2 jam.
Tahap Clearing
Tahap
ini dilakukan dengan cara mencelupkan jaringan ke dalam larutan xylol 1 selama
1 jam, kemudian dicelupkan kembali ke dalam larutan xylol 2 selama 2 jam dan
dicelupkan ke dalam larutan xylol 3 selama 2 jam. Tahap ini dilakukan dengan
tujuan untuk mentransparankan dan menggantikan sisa-sisa alkohol pada jaringan.
Tahap Impregnasi
Tahap
ini bertujuan untuk menyamakan keadaan jaringan dengan bahan pengeblokan pada
proses embedding. Impregmentasi dilakukan dengan mencelupkan jaringan ke
parafin cair dengan suhu 56-600C selama 2 jam, dilanjutkan dengan mencelupkan
kembali kedalam parafin cair dengan suhu 56-60ºC selama 2 jam.
Tahap Embedding
Embedding
atau pengeblokkan bertujuan untuk mempermudah penyayatan jaringan menggunakan
mikrotom. Setelah proses pengeblokan jaringan selesai, kemudian dilakukan
proses penyayatan atau pemotongan spesimen dengan ketebalan 4-5µ dengan bantuan
mikrotom. Hasil sayatan selanjutnya dimasukkan ke dalam waterbath dengan suhu
400C. Kemudian dipilih hasil sayatan yang terbaik dan disiapkan object glass
yang telah diolesi dengan perekat polisilin untuk dilakukan pewarnaan dengan
pewarna HE (Hematoksilin Eosin). Kemudian object glass yang berisi sayatan
jaringan dikeringkan pada slide drying dengan suhu 50-600C selama 30 menit.
Tahap Pewarnaan
dengan HE
Pewarnaan
menggunakan HE (Hematoksilin Eosin) dilakukan dengan langkah seperti pada Tabel
4 berikut:
Tabel 4. Langkah-langkah
Pewarnaan menggunakan HE
TAHAP MOUNTING
Tahapan
ini dilakukan dengan cara menempelkan lem pada preparat sebelum ditutup dengan
cover glass. Jenis lem yang digunakan yaitu lem entelan. Setelah dilem,
preparat dibiarkan pada suhu ruangan sampai lem mengering kemudian diamati
menggunakan mikroskop. Proses mounting yang kurang sempurna akan mengakibatkan
hasil yang kurang maksimal pada saat proses pengamatan pada mikroskop.
ANALISIS
HISTOPATOLOGI
Analisis
hasil uji histopatologi limfoid udang vaname menggunakan analisis statistik
pemberian skoring dengan metode semi kuantitatif untuk mengetahui tingkat
kerusakan sel limfoid udang vaname yang terserang WSSV. Menurut Kakkilaya
(2002), untuk menghitung jumlah area yang terwarnai dan dilakukan secara manual
dengan menghitung persentasenya. Pembacaan dimulai dari tepi kiri (sesuai
dengan posisi ekor preparat) ke arah kanan kemudian turun ke bawah dan bergeser
ke arah ekor kembali (gerak zig zag) dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Alur Perhitungan
Skoring (Gerak Zig-zag) (Siswandari, 2005).
Pada
metode semi kuantitatif dilihat dari lima luas bidang lapang pandang sehingga
mendapatkan hasil yang maksimal pada tingkat kerusakan jaringan. Persentase
kerusakan setiap luas bidang lapang pandang dihitung berdasarkan jumlah sel
yang mengalami kerusakan menurut Raza’l (2008) dengan rumus:
Penentuan
tingkat keganasan serangan mengikuti Niman (2002):
a.
Stadia 0, belum ditemukan pada organ target
b.
Stadia 1, terdapat hipertropi pada inti sel organ target
c.
Stadia 2, ditemukan hipertropi pada inti sel sebanyak kira-kira 10-20% dari sel
organ target yang nampak terinfeksi.
d.
Stadia 3, hipertropi ditemukan pada bagian inti sel organ target sebanyak
30-40% dari sel yang nampak terinfeksi.
e.
Stadia 4, ditemukan hipertropi pada bagian inti sel organ target dan mencapai
>40% dari sel-sel yang nampak terinfeksi (infeksi berat).
PARAMETER UJI
PARAMETER UTAMA
Parameter
utama dalam penelitian ini adalah pengamatan histopatologi udang vaname
(Litopenaeus vannamei). Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui gambaran
jaringan limfoid pada udang vaname yang tanpa diberi perlakuan, serta udang
yang diinfeksi virus WSSV yang dipelihara selama lima hari.
PARAMETER PENUNJANG
Parameter
penunjang dalam penelitian ini meliputi gejala klinis udang setelah diinfeksi
virus WSSV, survival rate selama masa pemeliharaan dan pengamatan kualitas air
seperti suhu, pH, DO, dan salinitas.
ANALISIS DATA
Data
yang diperoleh kemudian dianalisis statistik metode rancangan acak lengkap
(RAL) yaitu 3 perlakuan dan 3 ulangan pada masing-masing perlakuan, dan kontrol
sebagai pembanding. Selanjutnya dianalisis keragaman (ANOVA) dan dilakukan uji
BNT serta uji regresi untuk analisis pengaruh kerusakan organ menggunakan
Microsoft excel 2010 untuk mengetahui perbedaan pengaruh dosis terhadap kerusakan organ limfoid. Kemudian
dilakukan analisis histopatologi guna mendapatkan data scoring dari kerusakan
organ akibat infeksi virus.
HASIL UJI PCR
(POLYMERASE CHAIN REACTION)
PCR SEBELUM PERLAKUAN
INFEKSI WSSV
Deteksi
yang digunakan adalah dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Hasil PCR sebelum infeksi WSSV dapat dilihat pada
Gambar 9.
Gambar 9. Hasil Uji PCR Sampel Udang. M : Marker (100
bp DNA ladder), K(-): Kontrol negatif,
K(+): Kontrol posiitif terinfeksi WSSV , step 2 (941 bp), S : Sampel udang yang dianalisis
Hasil
uji PCR diatas dapat disimpulkan bahwa udang vaname sebelum dilakukan infeksi
inokulum virus WSSV negatif. Hasil negatif karena tidak adanya kemunculan bend
atau pita DNA pada sampel udang diuji yang sejajar dengan bend kontrol positif
(941 bp). Diartikan bahwa udang vaname yang digunakan dalam penelitian ini tidak
terindikasi adanya infeksi virus. Diperkuat menurut Supriatna, et al. (2014),
hasil analisis terhadap udang sampel menunjukkan hasil negatif apabila tidak
terdapat pita DNA WSSV.
PCR PASCA INFEKSI
WSSV
Deteksi
yang digunakan adalah dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Hasil PCR pasca infeksi WSSV dapat dilihat pada
Gambar 10.
Gambar 10. Hasil Uji PCR. (a)
perlakuan tanpa infeksi virus (kontrol) dan (b)
perlakuan infeksi virus. Keterangan : M : Marker (100 bp DNA ladder),
K(-) : Kontrol negatif, K(+):
Kontrol posiitif terinfeksi WSSV , step 1 (1.447 bp) dan step 2 (941 bp), S : Sampel udang yang dianalisis, (a)
Perlakuan tanpa infeksi virus (kontrol) dan (b) Perlakuan infeksi virus
Hasil
uji PCR sesuai dengan Gambar 9a perlakuan tanpa infeksi (kontrol) menunjukkan
bahwa hasil negatif karena tidak ada kemunculan bend atau pita DNA pada sampel
udang yang diuji. Hasil pada kelompok perlakuan yang diinjeksi virus pada
Gambar 9b positif terinfeksi WSSV karena adanya munculnya bend DNA pada sampel
yang sejajar dengan bend kontrol positif pada ukuran fragmen 941 bp. Diperkuat
menurut Pranawaty, et al. (2012), hasil deteksi terhadap serangan virus white
spot menggunakan uji PCR konvensional nampak pita DNA WSSV.
ANALISIS
HISTOPATOLOGI
Organ
limfoid udang merupakan target utama infeksi WSSV. Gambaran histopatologi
limfoid udang vaname yang telah diinfeksi virus WSSV pada pengamatan dibawah
mikroskop dengan perbesaran 1000x disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11. (K) Kontrol, (A)
10^2, (B) 10^3, (C) 10^4. Panah putih menunjukan Inti sel normal, panah hitam inti
sel mengalami hipertropi.
Pengamatan
histopatologi limfoid udang menggunakan mikroskop dengan perbesaran 1000x,
diperoleh hasil bahwa organ limfoid udang vaname ditemukan adanya kerusakan
yang ditandai dengan membesarnya sel akibat hipertropi yang membentuk inklusi
body . Hasil pengamatan histopatologi organ limfoid udang vaname tiap jam
pengamatan disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12. Kerusakan tiap jam
pengamatan (a) 6 jam pasca infeksi, (b) 12 jam pasca infeksi, (c) 24 jam pasca
infeksi, (d) 36 jam pasca infeksi, (e)
48 jam pasca infeksi. Panah hitam menunjukan hipertropi.
Berdasarkan
hasil yang ditunjukkan Gambar 10 dan Gambar 11, dapat diketahui bahwa kerusakan
organ limfoid adalah hipertropi. Pembesaran inti sel merupakan stadia awal dari
infeksi, kemudian terjadi karyoreksis dimana inti sel bergerak ke bagian
pinggir dari sel. Karyoreksis terjadi lalu karyolisis dimana inti sel mengalami
pecah dan kemudian ke pinggir sel (Widodo, 2002). Karakteristik infeksi WSSV
secara histologis berupa pembengkakan yang terjadi pada inti sel (hipertropi).
Menurut Bower (1996), keadaan tersebut disebabkan perkembangan dan penumpukan
virion yang berkembang dalam nukleus. Inti sel yang membengkak akan menekan
cairan sel dan sel pecah karena penekanan inti sel melebihi toleransi
elastisitas dinding sel. Inti sel yang pecah bercampur dengan pecahan inti sel
lain yang bersebelahan menimbulkan runtuhan sel (debris), hal ini menyebabkan
rusaknya fungsi organ dan penyebab kematian (Rocman, 1995).
Hasil
perhitungan persentase tingkat kerusakan organ yang diperoleh dilakukan skoring
dan analisis data. Analisis data skoring kerusakan hipertropi pada limfoid
udang vaname disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Skoring Kerusakan
Hipertropi pada Limfoid Udang Vaname
Berdasarkan
pada Tabel 5, kerusakan hipertropi pada semua perlakuan menunjukan gejala
berat, karena organ limfoid merupakan target dari infeksi WSSV pernyataan ini diperkuat
menurut Hamsah et al. (2006), Jaringan limfoid merupakan organ target WSSV.
Diperkuat menurut Widodo (2002), konsentrasi penyerangan dari WSSV adalah organ
limfoid yang berfungsi sebagai penghasil getah bening pada proses imunitas
tubuh udang, inilah yang menyebabkan penurunan daya tubuh udang sangat cepat
jika terkena penyakit ini. Skoring kerusakan hipertropi secara lengkap
disajikan pada Lampiran 8. Selanjutnya dilakukan uji sidik ragam untuk
mengetahui pengaruh infeksi virus dengan konsentrasi yang berbeda terhadap
kerusakan hipertropi pada insang udang yang disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Analisis Sidik Ragam
Skoring Kerusakan Hipertropi
Berdasarkan
Tabel 6 diatas, menunjukkan bahwa seluruh perlakuan tidak berbeda nyata dimana
F hitung lebih kecil dari F 5% dan F 1%. Hasil tidak berbeda nyata karena pada
seluruh perlakuan menunjukkan kerusakan berat karena organ limfoid merupakan
target dari virus WSSV. Pernyataan ini didukung menurut Widodo (2002),
konsentrasi penyerangan dari WSSV adalah organ limfoid yang berfungsi sebagai
penghasil getah bening dalam proses imunitas tubuh udang, hal inilah yang
menyebabkan penurunan daya tubuh udang sangat cepat jika terkena penyakit ini.
Diperkuat menurut Hamsah, et al. (2006), Jaringan limfoid merupakan organ
target WSSV dan tempat perkembangan infeksi pada tubuh udang.
GEJALA KLINIS UDANG
VANAME YANG TERINFEKSI WSSV
Gejala
klinis merupakan salah satu indikasi bahwa udang tersebut terinfeksi suatu
penyakit. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Gambar (a) udang
normal, (b) berenang tidak terarah, (c) warna tubuh kusam kemerahan, (d) kaki
renang dan tubuh merah
Ciri-ciri
udang yang terserang virus WSSV dilihat berdasarkan gejala klinisnya selama 6
sampai 72 jam pengamatan pasca infeksi dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Tabel Gejala Klinis
Pasca Infeksi WSSV
Hasil
pengamatan gejala klinis pada Tabel 7 setelah dilakukan uji tantang dengan
WSSV Pada 6 jam pertama pasca penginfeksian, pada keseluruhan perlakuan dan
kontrol udang terlihat normal. 12 jam sampai 24 jam pasca penginfeksian, semua
perlakuan dan kontrol normal. 36 jam pasca penginfeksian udang kontrol normal
sedangkan semua perlakuan menunjukan gejala klinis pada perlakuan A pengamatan
morfologi normal, tingkah laku udang banyak diam dan berenang di tepi, status
udang sakit, pada perlakuan B pengamatan morfologi kaki renang kemerahan, tingkah
laku udang banyak diam dan berenang di tepi, status udang sakit, pada perlakuan
C pengamatan morfologi kaki renang udang berwarna kemerahan, tingkah laku udang
banyak diam dan berenang di tepi, status udang sakit. 48 jam pasca
penginfeksian udang kontrol normal sedangkan semua perlakuan menunjukan gejala
klinis pada perlakuan A pengamatan morfologi normal, tingkah laku berenang
tidak terarah, status udang sakit, pada perlakuan B kaki renang udang berwarna
kemerahan, tingkah laku berenang tidak terarah, status udang sakit, pada
perlakuan C pengamatan morfologi kaki renang udang berwarna kemerahan, tingkah
laku udang berenang tidak terarah, status udang sakit. 60 jam pasca
penginfeksian udang kontrol normal sedangkan semua perlakuan menunjukan gejala
klinis pada perlakuan A pengamatan morfologi kaki dan tubuh kemerahan, tingkah
laku berenang tidak terarah, status udang sakit, pada perlakuan B pengamatan
morfologi kaki dan tubuh udang berwarna kemerahan, tingkah laku berenang tidak
terarah, status udang sakit. Udang cenderung bergerombol di tepi tambak, gejala
lain juga terlihat warna tubuh menjadi merah, serta abdomen udang berwarna
kemerahan. 72 jam pasca infeksi udang kontrol normal sedangkan semua perlakuan
menunjukan gejala klinis pada perlakuan A pengamatan morfologi kaki dan tubuh
udang berwarna kemerahan, tingkah laku banyak diam dan berenang di tepi, status
udang sakit.
Ciri-ciri
udang normal menurut Arafani, et al. (2016), tubuh udang berwarna putih bening
atau cerah dan bagian tubuh udang lengkap. Tanda-tanda udang terinfeksi menurut
Soetrisno (2004), udang berenang di ujung bak pemeliharaan, warna tubuh
kemerahan pada bagian kaki jalan maupun kaki renang, dan berenang tidak
terarah. Udang yang telah terinfeksi WSSV akan mengalami perubahan warna pada
kulit dikarenakan terjadi pembesaran kromatofor kutikula. Kromatofor merupakan
salah satu sistem pertahanan tubuh udang, perubahan warna tanda adanya
penurunan imunitas untuk melawan adanya unsur asing dalam tubuh (Bower, 1996).
SURVIVAL RATE
(KELULUSHIDUPAN)
Survival
rate merupakan persentase kelulushidupan suatu organisme dari awal pemeliharaan
sampai akhir masa pemeliharaan. Menurut Iskandar dan Elrifadah (2015), bahwa
tingkat kelangsungan hidup merupakan nilai persentase jumlah udang yang hidup
selama periode pemeliharaan grafik survival rate ditampilkan pada Gambar 14.
Gambar 14. Grafik Survival Rate
Tiap Jam Pengamatan
Hasil
perhitungan survival rate selama
penelitian diperoleh dilakukan uji normalitas menggunakan microsoft excel 2010
yang disajikan pada Lampiran 9 kemudian dilakukan analisis data yang disajikan
pada Tabel 8 sebagai berikut.
Tabel 8. Rerata SR Udang Vaname Selama Pemeliharaan
Hasil
yang ditunjukan pada Tabel 8, perlakuan kontrol sampai akhir penelitian tidak
mengalami kematian sampai akhir pemeliharaan, pada perlakuan A nilai survival
rate tertinggi 40% di A1 dan A3, pada perlakuan B nilai survival rate tertinggi
10% di A2, sedangkan pada perlakuan C mengalami kematian total.
Hasil
tersebut dikarenakan limfoid merupakan organ target dari virus WSSV sehingga
udang mengalami kematian. Pernyataan ini diperkuat menurut Niman (2002), organ
limfoid merupakan target utama virus WSSV pada tingkat pertama dicirikan oleh
adanya hipertropi pada inti sel yang belum berisi badan inklusi. Tingkat kedua
dicirikan oleh hipertropi inti yang mengandung badan inklusi. Tingkat ketiga
inti sel mengandung banyak badan inklusi. Tingkat keempat terjadi kematian pada
udang.
Langkah
selanjutnya dilakukan perhitungan analisis sidik ragam kerusakan akibat
hipertropi yang hasilnya disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Analisis Sidik Ragam
SR Udang Vaname
Hasil
analisis yang disajikan pada Tabel 9 menunjukkan bahwa nilai F hitung lebih
besar dari F tabel 5% dan F tabel 1%. Dapat diambil kesimpulan bahwa infeksi
virus WSSV dengan konsentrasi berbeda berpengaruh sangat nyata terhadap tingkat
kelangsungan hidup udang vaname, sehingga untuk mengetahui adanya perbedaan
pada setiap perlakuan dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) yang disajikan
pada Tabel 10.
Tabel 10. Uji BNT SR Udang
Vaname
Berdasarkan
pada tabel 10 diatas, menunjukkan bahwa perlakuan kontrol memiliki pengaruh
yang berbeda sangat nyata terhadap perlakuan A, perlakuan B, dan perlakuan C.
Perlakuan A dosis infeksi 10^2 memiliki pengaruh yang berbeda sangat nyata
terhadap perlakuan B dan perlakuan C. Perlakuan B dan C tidak memiliki pengaruh
yang berbeda nyata terhadap kelangsungan hidup udang vaname dengan infeksi
virus WSSV. Hubungan antar perlakuan yang diberikan terhadap nilai SR udang
disajikan pada Gambar 15.
Gambar 15. Gambar Hubungan
Nilai SR dengan konsentrasi virus WSSV
Hasil
yang ditunjukkan pada Gambar 15, diperoleh grafik regresi linier dengan
persamaan y=50,079-0,0054x dengan R2= 0,99. Diperoleh kesimpulan perlakuan
infeksi virus WSSV dengan konsentrasi yang berbeda mempengaruhi tingkat
kelangsungan hidup udang vaname. Semakin tinggi konsentrasi virus yang
diinfeksikan mengakibatkan kelangsungan hidup udang vaname menjadi turun.
Kerusakan sel yang terlihat adalah pembengkakan pada inti sel (hipertropi).
Keadaan ini disebabkan perkembangan dan penumpukan virion yang berkembang dalam
nukleus (Moore dan poss, 1999). Perkembangan selanjutnya inti sel bergerak ke
pinggir (karyoreksis) lalu karyolisis selanjutnya inti sel runtuh (debris) organ
rusak sehingga menyebabkan kematian pada udang.
KUALITAS AIR
Kualitas
air merupakan salah satu faktor yang penting dalam kegiatan penelitian karena
digunakan untuk mengukur media hidup udang yang diteliti. Kualitas air yang
diukur antara lain suhu, pH, DO dan salinitas. Pengukuran kualitas air
dilakukan tiga kali sehari, yakni pagi siang dan sore hari. Data kualitas air
selama penelitian dapat dilihat pada Lampiran 5.
SUHU
Suhu
merupakan salah satu parameter penting yang harus diperhatikan dalam memelihara
udang. Suhu dapat berpengaruh terhadap aktivitas kehidupan organisme seperti
nafsu makan udang maupun metabolismenya. Apabila terjadi peningkatan suhu maka
akan meningkatkan pengambilan makanan oleh udang, peningkatan metabolisme,
stres bahkan mati. Sebaliknya, apabila suhu mengalami penurunan maka akan
menyebabkan proses pencernaan dan metabolisme akan berjalan lambat.
Berdasarkan
hasil pengukuran, kisaran suhu selama pemeliharaan berkisar antara 26.3-29.4°C.
Nilai tersebut masih termasuk dalam kisaran normal, sesuai dengan pernyataan
Pasongli, et al., (2015), bahwa toleransi hidup udang vaname berkisar pada suhu
16-36°C.
SALINITAS
Salinitas
merupakan tingkat keasinan atau kadar garam yang terlarut dalam air. Satuan
salinitas bisa dinyatakan dalam gram garam per kilogram air, atau juga bisa
dalam bagian per seribu (ppt atau o⁄oo), salinitas yang tidak optimal
menyebabkan stres pada udang serta menyebabkan kematian.
Selama
masa penelitian nilai salinitas yang digunakan 30 ppt. Kisaran salinitas
tersebut dikatakan normal, sesua dengan pernyataan Adisukresno (1990) bahwa
udang vaname biasa hidup pada rentang salinitas 24-32 ppt.
DERAJAT KEASAMAN (PH)
Derajat
keasaman (pH) merupakan konsentrasi ion hidrogen yang menunjukkan suasana asam
atau basa suatu perairan. pH yang tidak optimal dapat menyebabkan pertumbuhan
ikan yang rendah atau terganggu, ikan yang mudah terserang penyakit,
produktivitas menurun, ikan stres bahkan menyebabkan ikan mengalami kematian.
Hasil
pengukuran derajat keasaman (pH) selama pemeliharaan berkisar antara 7,73-8,06.
Nilai tersebut masih termasuk dalam kisaran normal, sesuai dengan pernyataan
Sumeru dan Anna (1992), bahwa pH air yang baik untuk pemeliharaan dan
pembesaran udang adalah 7,0-8,5.
OKSIGEN TERLARUT (DO)
Oksigen
terlarut (DO) sangat diperlukan untuk respirasi dan proses metabolisme udang.
Kadar DO yang rendah dalam perairan menyebabkan penurunan daya hidup ikan dan
menurunkan proses metabolisme udang. Pada tingkat konsentrasi yang sangat
rendah dapat menyebabkan kematian udang.
Hasil
pengukuran oksigen terlarut (DO) selama pemeliharaan berkisar antara 5,27-6,15
ppm. Kisaran suhu tersebut dikatakan normal, hal ini sesuai dengan pendapat
Amri dan Kanna (2008), hal ini masih dikatakan layak bahwa oksigen yang baik
untuk pertumbuhan udang adalah 4-7 ppm.
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan mengenai analisis histopatologi limfoid udang
vaname yang diinfeksi WSSV didapatkan kesimpulan sebagai berikut : Kerusakan pada organ limfoid udang vaname (Litopenaeus
vannamei) yang diinfeksi White Spot Syndrome Virus (WSSV) adalah hipertropi
inti sel dari udang yang terinfeksi mengalami pembesaran yang disebabkan oleh
penumpukan virion virus di inti sel. Gejala klinis yang ditimbulkan akibat
infeksi WSSV tubuh udang berubah kemerahan, dan berenang tidak terarah. Dosis
terbaik yang menyebabkan kematian tertinggi pada perlakuan C dengan konsentrasi
10^4.
SARAN
Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan mengenai analisis histopatologi limfoid udang
vaname yang diinfeksi WSSV didapatkan saran sebagai berikut : Melakukan
penelitian lanjutan hematologi pada udang vaname yang diinfeksi virus WSSV
dengan dosis infeksi 10^2, 10^3 dan 10^4. Melakukan penelitian histopatologi udang
vaname dengan dosis infeksi selain 10^2, 10^3 dan 10^4. Melakukan penelitian
berbeda dengan mengganti spesies udang selain udang vaname yang diinfeksi virus
WSSV dengan dosis infeksi 10^2, 10^3 dan 10^4.
PENULIS
Gery
Purnomo Aji Sutrisno
FPIK
Universitas Brawijaya Angkatan 2015
DAFTAR PUSTAKA
Adisukresno,
S., S. Ilyas, Sujipto., N. Perbowo., A. Poernomo., A. Rukyani., A. Hanafi., M.
L. Nurdjana., E. Kusnendar., C. Kokarkin., T. Permadi., R. Wibisono., B.
Wahyudi dan T. Hariyanto. 1990. Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Budidaya Udang
di Pertambakan dalam Usaha Pengendalian Penyakit. Departemen Pertanian,
Jakarta.
Aguirre-Guzman,
G., J. G. Sanchez-Martinezm A. I. Campa-Cordova, A. Luna-Gonzalez and F.
Ascencio. 2009. Penaeid Shrimp Immune System. Thailand Journal Veterinary
Medicine. 39(3): 205-215.
Alifuddin,
M. 2002. Imunostimulasi pada hewan akuatik. Jurnal Akuakultur Indonesia. 1(2):
87-92.
Amri,
K. dan I. Kanna. 2008. Budi Daya Udang Vaname Secara Intensif, Semi Intensif,
dan Tradisional. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 168 hlm.
Arafani,
L. Ghazali., M. Ali dan Muhamad. 2016. Pelacakan virus bercak putih pada udang
vaname (Litopenaeus vannamei) di Lombok dengan real-time polymerase chain
reaction. Jurnal Veteriner. 17(1): 88-95.
Baidi,
B. 2002. Uji Patogenitas White Spot Syndrom Virus (WSSV) terhadap Udang Windu
(Panaeus monodon Fabricus) pada Konsentrasi 20 µg/ml Secara Perendaman Selama
30, 60 dan 90 Menit. SKRIPSI. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 79 hlm.
Bower
SM. 1996. Synopsis of infection Disease and Parasites of commercially Exploited Shell fish : White Spot Syndrome of
Panaeid Shrimp. http://www-sci.pac.dfo-mpo.Gc.ca.html/. Diakses pada tanggal 26
Oktober 2018.
Briggs,
M., Smith, S.F., Subasinghe, R., & Phillips, M. 2004. Introduction and
Movement of Penaeus vannamei and Penaeus stylirostis in Asia and the Pacific.
RAP Publication 2004/10. Bangkok. 92p.
Budiwardhani,
R. H. 2018. Analisis Kualitas Air dan Pemberian Imunostimulan Ekstrak Rumput
Laut terhadap Perubahan Jumlah Sel Hemosit Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)
yang Terinfeksi White Spot Syndrome Virus (WSSV). SKRIPSI. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya. Malang. 86 hlm.
Burhanuddin.
2009. Riset Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) dengan Umur Tokolan
Berbeda. Seminar Nasional Hasil Riset Kelautan dan Perikanan.
Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya. 2006. Uji teknologi budidaya udang bebas penyakit
bercak putih. Mina Bahari, 3(2): 16-17.
Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya. 2013. Volume Produksi Udang 2009-2013. Departemen
Kelautan dan Perikanan.
Effendi.
2018. Description of white spot virus in L. vannamei. 2 hlm.
Fariedah,
F. 2010. Pengaruh Imunostimulan Outer Membran Protein (OMP) Vibrio
alginolyticus dan infeksi Vibrio harveyi terhadap DNA Mitokondria Udang Windu
Penaeus monodon Fab. Thesis. Program Pascasarjana Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Brawijaya.
Haliman,
R.W. & Adijaya, S.D. 2005. Udang vannamei, Pembudidayaan dan Prospek Pasar
Udang Putih yang Tahan Penyakit. Penebar Swadaya, Jakarta, 75 hlm.
Hamsah.,
D. Dana dan M. B. M. Malole. 2006. Peran pakan alami dalam penularaan white
spot syndrome virus pada benur udang windu (Penaeus monodon Fabr.) sebuah
kajian awal. Majalah Ilmiah Agriplus. 16: 1-9.
Handoyo,
D. dan A. Rudiretna. 2001. Prinsip umum dan pelaksanaan polymerase chain
reaction (PCR). Jurnal Unitas. 9(1): 17-29.
Harjana,
T. 2011. Buku Ajar Histologi Universitas Negeri Yogyakarta. 49 hlm.
Hudi,
L dan A. Shahab. 2005. Optimasi produktivitas budidaya udang vaname
(Litopenaeus vannamei) dengan menggunakan metode respon surface dan non linear
programming. Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi II. 28.1-28.9.
Iskandar,
R dan Elrifadah. 2015. Pertumbuhan dan Efisiensi Pakan Ikan Nila (Oreochromis
niloticus) yang Diberi Pakan Buatan Berbasis Kiambang. Ziraa’ah. 40(1): 18-24.
Itami,
T. 1994. Body Defense System of Penaeid Shrimp. Paper presented on seminar on
Fish Physiology and Prevention of Epizootics. Dept of Acuaculture and Biology.
University Fisheries. Japan.
Jaedun,
A. 2011. Metodologi Penelitian Eksperimen. Artikel ilmiah. Fakultas Teknik
UNY. Hal 1-13.
Kakkilaya,
B. S. 2002. Peripheral Smear Examination For Malarial Parasite. Dr. B. S.
Kakkilaya’s Malarial Web Site. Kayser, O., A. F Kiderlen, and S. L. Croft.
2000. Natural Products as Potential AntiparasiticDrugs.www.fuberlin.de/akkayscr/antiparasiticsfromnature.pdf.
Diakses 22 April 2019.
Kilawati,
Y dan Y. Maimunah. 2015. Kualitas lingkungan tambak intensif Litopenaeus
vannamei dalam kaitannya dengan prevalensi penyakit White spot syndrome virus.
Research Journal of Life Science. 2(1): 50-59.
Koesharyani,
I dan L. Gardenia. 2015. Metode deteksi cepat White spot syndrome virus (WSSV)
dan infectiuos myonecrosis virus (IMNV) menggunakan portabel/mobile polymerase
chain reaction. Jurnal Akuakultur. 10 (1): 43-49.
Lu,
Y., L. M. Tapay., P. C. Loh., J. A. Brock and R. Gose. 1995. Development of a
Quantal Assay in Primary Shrimp Cell Culture for Yellow Head Baculovirus (YBV)
of Penaeid Shrimp. Journal Virol Methods. 52: 231-236.
Malole,
M. B. 1988. Virologi. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Manoppo,
H. 2011. Peran Nukleotida sebagai Imunostimulan terhadap Respon Imun
Nonspesifik dan Resistensi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Disertasi.
Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Manoppo,
H. dan M. E. F. Kolopita. 2014. Respon Imun Krustase. Jurnal Budidaya Perairan.
2(2): 22-26.
Maynard,
E. A. and D. M. Maynard. 1960. Cholinesterase In The Crustacean Muscle Receptor
Organ. Journal of Histochemistry & Cytochemistry. 8(5): 376-379.
Megawati.
2017. Identifikasi Jamur pada Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) yang
Dibudidayakan Secara Sistem Semi Intensif dan Intensif. SKRIPSI. Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar. 54 hlm.
Moore,
A. M and S. G. Poos. 1999. White Spot Syndrom Virus. htttp://www.Lionfish.Ims.Usm/edu/musweb//nis/White-spot-Baculovirus-compleks.Htm.
Diakses pada 22 April 2019.
Nadhif,
M. 2016. Pengaruh Pemberian Probiotik pada Pakan dalam Berbagai Konsentrasi
terhadap Pertumbuhan dan Mortalitas Udang Vaname (Litopenaeus vannamei).
SKRIPSI. Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya. 97 hlm.
Nazir,
M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. 622 hlm.
Niman,
D. A. 2002. Uji Patogenitas Virus Penyebab White Spot pada Udang Windu Panaeus
monodon. SKRIPSI. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor, Bogor. 62 hlm.
Nuryati,
S. 2000. Penyediaan Biakan Sel Organ Limfoid (Oka) Udang Windu Panaeus monodon
Secara In Vitro Sebagai Media Tumbuh bagi Virus. Tesis. Ilmu Perairan. Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Ochoa-Meza,
A. R., Álvarez-Sánchez A. R., Romo-Quiñonez C. R., Barraza Aaró., Magallón
Barajas F. J., Chávez-Sánchez A., García-Ramos J. C., Toledano-Magaña Y.,
Bogdanchikova N., Pestryakov A., Mejía-Ruiz C. H. 2018. Silver nanoparticles
enhance survival of white spot syndrome virus infected Penaeus vannamei shrimps
by activation of its immunological system. Fish and Shellfish Immunology.
Mexico. 30p.
Ode,
I. 2013. Kajian sistem imunitas untuk pengendalian penyakit pada ikan dan
udang. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan. 6(2): 41-43.
OIE
(Organization International des Epizooties). 2009. Bovine Brucellosis.TerrestialManualChapter2.4.3http://www.oie.int/fileadmin/Home.
Diakses pada 22 April 2019.
Oka,
M. 1969. Studies on the Panaeus orientalis Kishinouye-VIII Structure of the
Newly Found Lymphoid Organ. Nagasaki University Academic Output Site. Bull Jpn
Soc Sci Fish. 35: 245-250.
Panigoro,
N., I. Astuti., M. Bahnan., P. D. C. Salfira dan K. Wakita. 2007. Teknik Dasar
Histologi dan Atlas Dasar-Dasar Histopatologi Ikan. Balai Budidaya Air Tawar
Jambi dan Japan International Coperation Agency.
Pasongli,
H., G. D. Dirawan dan Suprapta. 2015. Zonasi Kesesuaian Tambak untuk
Pengembangan Budidaya Udang Vaname (Penaeus vannamei) pada Aspek Kualitas Air
di Desa Todowong Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat. Jurnal Bioedukasi.
3(2): 1-12.
Pazra,
D. F. 2008. Gambaran Histopatologi Insang, Otot dan Usus pada Ikan Lele
(Clarias spp.) Asal dari Daerah Bogor. Skripsi. Fakultas Kedokteran Hewan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. 74 hlm.
Pranawaty,
R. N., I. D. Buwono dan E. Liviawaty. 2012. Aplikasi Pollymerase Chain Rection
(PCR) Konvensional dan Real Time PCR untuk Deteksi White Spot Syndrome Virus
pada Kepiting. Jurnal Perikanan dan Kelautan. Unpad. Bandung. 14 hlm.
Pratista.
2004. Cara Mudah Mengatasi Masalah Statistik dan Rancangan Percobaan dengan
SPSS 12. PT. TLEX Komputindo. Jakarta. 292 hlm.
Pratiwi,
H. C dan A. Manan. 2015. Teknik dasar histologi pada ikan gurami (Osphronemus
gouramy). Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 7(2): 1-6.
Prayoga,
W dan A. K. Wardani. 2015. Polymerase Chain Reaction untuk deteksi Salmonella
sp. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 3(2): 483-488.
Prayugi,
I. T. 2014. Respon Pertumbuhan Kultur Sel Limfoid Udang Vaname (Litopenaeus
vannamei) pada Media Yang Berbeda. SKRIPSI. Fakultas Perikanan dan Kelautan.
Universitas Airlangga. Surabaya. 66 hlm.
Putri,
F. M. 2013. Pengaruh penambahan Spirulina sp. dalam pakan buatan terhadap
jumlah total hemosit dan aktivitas fagositosis udang vaname (Litopenaeus
vannamei). Journal of Aquaculture Management and Technology. 2(1): 102-112.
Rahayu,
J. R. 2002. Uji Patogenitas Virus Penyebab White Spot Pada Udang Windu (Penaeus
monodon Fab.) Secara Perendaman dalam Konsentrasi 100 µg/ml dan 200 µg/ml
selama 240 menit. SKRIPSI. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 68 hlm.
Raza’I,
T. S. 2008. Analisis histopatologi organ insang dan usus ikan kerapu lumpur
(Epinephelus coloides) yang diberi Khamir Laut (Marine Yeast) sebagai
immunostimulan. Jurnal Akuakultur. 2(1): 1-26.
Rocman,
K. B. 1995. Mengamati White Spot Secara Selullar. Techner 18 (th III/1995) Hal:
7-9.
Setyowati,
A., D. H. Awik dan Nurlita. 2012. Studi histopatologi hati ikan belanak (Mugil
cephalus) di muara sungai aloo Sidoarjo. Jurnal Ristek Akuakultur. 2(1):22-29.
Siswandari,
W. 2005. Nilai diagnosis pemeriksaan imunositokimia limfosit sediaan apus darah
tepi dibandingkan analisis kromosom pada penderita dengan dugaan sindroma
Fragile X. TESIS. 74 hlm.
Soetrisno,
C. K. 2004. Mensiasati Penyakit WSSV di Tambak Udang. Jurnal Aquaculture
Indonesia. 5(1):19-31.
Subkhan,
M., M. Alifuddin dan A. Taslihan. 2005. Efek radiasi ultraviolet teradap
patogenitas white spot syndrome virus pada udang windu (Panaeus monodon Fab).
Jurnal Akuakultur Indonesia. 4 (1): 79-87.
Sumeru,
S. U., dan S. Anna. 1992. Pakan Udang Windu (Panaeus monodon). Yogyakarta:
Kanisius. 96 hlm
Supriatna,
I., Yustiati, A dan Iskandar. 2014. Sekuen Asam Amino Anti White Spot Syndrome
Virus (WSSV) pada Udang Windu (Penaeus Monodon). Jurnal Ilmu Hayati dan Fisik.
16(1): 40-46.
Susilowati,
T., J. Hutabarat, S. Anggoro and M. Zainuri. 2014. The improvement of the
survival, growth and production of Vaname Shrimp (Litopenaeus vannamei) and
Seaweed (Gracilaria verucosa) based on polyculture cultivation. International
Journal of Marine and Aquatic Resource Consevation and Co-existence. 1 (1):
6-11.
Takahashi
Y., Itama T., Kondo M., Maeda M., Fujii R., Tomonaga S., Supamattaya K., Boon
S., 1994 Electron microscopic evidence of bacilliform virus infection in kuruma
shrimp (Penaeus japonicus). Fish Pathology 29(2):121-125.
Usman,
A. dan Rochmady. 2017. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup pasca larva udang
windu (Panaeus monodon Fab.) melalui pemberian probiotik dengan dosis berbeda.
Jurnal Akuakultur, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 1 (1): 19-26.
Vlak,
J. M., Bonami J. R., Flegel T. W., Kou G. H., Lightner D. V., LO, C. F., Loh P.
C., Walker, P. J. 2002. http // www.plant Wageningen-urnl/dews/2001-
14-en/html. Diakses pada tanggal 26 Oktober 2018.
Wahjuningrum,
D., S. H. Sholeh dan S. Nuryati. 2006. Pencegahan Infeksi Virus White Spot
Syndrome Virus (WSSV) pada Udang Windu Panaeus monodon dengan Cairan Ekstrak
Pohon Mangrove (CEPM) Avicennia sp. Dan Sonneratia sp. Jurnal Akuakultur
Indonesia. 5(1): 65-75.
Wang
HC, Hao-Ching Wang, Guang-Hsiung Kou, Chu-Fang Lo, dan Wei-Pang Huang. 2007.
Identification of Icp11, The Most Highly Expressed Gene of Shrimp White Spot
Syndrome Virus (WSSV). Diseases of Aquatic Organisms 74: 179–89.
Wang,
Y. G., Shariff P. M., Sudha P. S., Srinivasa Rao M. D., Hassa and L.T. Tan.
1998. Managing White Spot Diseases in Shrimp. Infofish International 3(98):
30-36.
Widodo,
D. S. 2002. Uji Patogenitas Virus Bintik Putih (White Spot) Pada Udang Windu
(Penaeus monodon Fabricius) dengan lama waktu perendaman 30, 60 dan 90 menit
konsentrasi 100 µg/ml. SKRIPSI. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 87 hlm.
Wijayanti,
A., E. Susanti dan C. Purbomartono. 1999. Pedoman Praktis Analisis Penyakit
Udang. BBPBAP Jepara.
Wyban,
J. W dan Sweeney, J. N. 1991. Intensive Shrimp Production Technology. The
Oceanic Institute Shrimp Manual. Honolulu, Hawai, USA. 158p.
Zalsabilla,
A. 2018. Potensi Mikroalga Dunaliella salina Sebagai Kandidat Antivirus
terhadap Ikan Kerapu Cantang (Ephinephelus sp.) yang diinfeksi Viral Nervous
Necrosis (VNN) Melalui GambaraN Histopatologi Otak, Mata dan Usus. SKRIPSI.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya. Malang. 117 hlm.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Alat Penelitian
Lampiran 2. Bahan Penelitian
Lampiran 3. Perhitungan Konsentrasi Virus WSSV
Lampiran
4. Skema Kerja Pewarnaan Preparat Histopatologi
Lampiran
5. Skema Kerja
Pembuatan Preparat Histopatologi
Lampiran 6. Data Skoring Kerusakan Hipertropi
Lampiran
7. Rancangan
Penelitian
Lampiran 8. Uji Normalitas Survival
Rate
Lampiran 9. Data Tingkat
Kelangsungan Hidup (SR) Udang Vaname
Lampiran 10.
Hasil Pengukuran Kualitas Air
TGL
|
PERLAKUAN
|
PARAMETER
|
|||||||||||
SUHU
|
PH
|
DO
|
SALINITAS
|
||||||||||
Pagi
|
Siang
|
Sore
|
Pagi
|
Siang
|
Sore
|
Pagi
|
Siang
|
Sore
|
Pagi
|
Siang
|
Sore
|
||
07/02/2019
|
K1
|
27.9
|
28.0
|
28.5
|
7.88
|
7.88
|
7.89
|
5.83
|
5.85
|
5.99
|
26
|
27
|
26
|
K2
|
28.1
|
28.4
|
28.3
|
7.85
|
7.87
|
7.91
|
5.88
|
5.94
|
5.92
|
27
|
28
|
28
|
|
K3
|
28.0
|
28.1
|
28.2
|
7.91
|
7.93
|
7.94
|
5.85
|
5.99
|
6.08
|
27
|
27
|
24
|
|
A1
|
27.6
|
28.5
|
28.7
|
7.89
|
7.91
|
8.01
|
5.77
|
5.65
|
5.63
|
26
|
28
|
26
|
|
A2
|
27.9
|
28.2
|
28.9
|
7.92
|
7.93
|
7.93
|
5.86
|
5.78
|
5.75
|
23
|
25
|
25
|
|
A3
|
28.3
|
28.3
|
28.6
|
7.90
|
7.94
|
7.95
|
5.79
|
5.69
|
5.72
|
24
|
27
|
26
|
|
B1
|
27.2
|
28.2
|
28.6
|
7.86
|
7.90
|
7.94
|
5.87
|
6.15
|
5.97
|
25
|
23
|
24
|
|
B2
|
28.5
|
28.2
|
28.8
|
7.84
|
7.87
|
7.88
|
5.80
|
5.85
|
5.66
|
25
|
25
|
25
|
|
B3
|
27.7
|
28.0
|
28.3
|
7.86
|
7.88
|
7.92
|
5.46
|
5.48
|
5.58
|
24
|
26
|
27
|
|
C1
|
27.7
|
28.7
|
29.0
|
7.82
|
7.83
|
7.86
|
5.78
|
5.80
|
5.82
|
27
|
27
|
28
|
|
C2
|
28.4
|
28.0
|
28.4
|
7.85
|
7.92
|
7.95
|
5.81
|
5.80
|
5.81
|
26
|
29
|
26
|
|
C3
|
27.8
|
28.2
|
28.5
|
7.86
|
7.94
|
7.95
|
5.84
|
5.87
|
5.86
|
26
|
26
|
25
|
|
08/02/2019
|
K1
|
27.4
|
28.4
|
28.6
|
7.82
|
7.83
|
7.88
|
5.78
|
5.81
|
5.92
|
25
|
26
|
28
|
K2
|
27.6
|
27.8
|
28.0
|
7.79
|
7.88
|
7.89
|
5.76
|
5.89
|
5.95
|
24
|
23
|
23
|
|
K3
|
28.2
|
28.2
|
28.4
|
7.86
|
7.86
|
7.90
|
5.82
|
5.83
|
5.85
|
26
|
26
|
27
|
|
A1
|
28.1
|
28.5
|
28.6
|
7.84
|
7.85
|
7.87
|
5.84
|
5.83
|
5.82
|
25
|
25
|
25
|
|
A2
|
27.9
|
28.1
|
28.3
|
7.92
|
7.96
|
7.96
|
5.85
|
5.80
|
5.79
|
24
|
27
|
27
|
|
A3
|
27.5
|
28.0
|
27.8
|
7.84
|
7.82
|
7.87
|
5.88
|
5.87
|
5.83
|
25
|
23
|
25
|
|
B1
|
27.2
|
28.0
|
28.1
|
7.84
|
7.86
|
7.89
|
5.89
|
5.90
|
5.88
|
27
|
26
|
26
|
|
B2
|
27.1
|
28.4
|
28.2
|
7.83
|
7.87
|
7.90
|
5.76
|
5.88
|
5.91
|
26
|
25
|
25
|
|
B3
|
27.6
|
27.7
|
27.9
|
7.90
|
7.91
|
7.95
|
5.77
|
5.77
|
5.78
|
24
|
23
|
26
|
|
C1
|
27.5
|
28.0
|
28.5
|
7.82
|
7.87
|
7.90
|
5.84
|
5.83
|
5.83
|
26
|
23
|
25
|
|
C2
|
27.8
|
28.0
|
28.3
|
7.85
|
7.87
|
7.88
|
5.88
|
5.89
|
5.86
|
26
|
27
|
24
|
|
C3
|
27.9
|
28.6
|
27.7
|
7.90
|
7.93
|
7.96
|
5.82
|
8.84
|
5.92
|
25
|
26
|
26
|
|
09/02/2019
|
K1
|
27.7
|
28.4
|
29.0
|
7.85
|
7.89
|
7.81
|
5.79
|
6.03
|
5.76
|
28
|
30
|
25
|
K2
|
27.3
|
28.1
|
29.0
|
7.89
|
7.86
|
7.87
|
5.85
|
5.94
|
5.80
|
26
|
24
|
24
|
|
K3
|
27.8
|
28.3
|
29.0
|
7.89
|
7.86
|
7.87
|
5.82
|
5.98
|
5.96
|
26
|
29
|
25
|
|
A1
|
27.7
|
27.9
|
28.6
|
7.87
|
7.85
|
7.81
|
5.78
|
5.80
|
5.85
|
25
|
24
|
26
|
|
A2
|
27.9
|
28.1
|
28.5
|
7.84
|
7.80
|
7.74
|
5.81
|
5.84
|
5.82
|
27
|
26
|
26
|
|
A3
|
28.1
|
28.7
|
28.2
|
7.89
|
7.82
|
7.77
|
5.83
|
5.86
|
5.86
|
26
|
27
|
27
|
|
B1
|
27.9
|
29.0
|
28.5
|
7.85
|
7.87
|
7.86
|
5.79
|
5.83
|
5.87
|
25
|
27
|
25
|
|
B2
|
27.8
|
28.6
|
28.4
|
7.92
|
7.89
|
7.91
|
5.88
|
5.91
|
5.89
|
28
|
26
|
27
|
|
B3
|
27.6
|
28.0
|
27.8
|
7.88
|
7.83
|
7.95
|
5.85
|
5.88
|
5.91
|
27
|
27
|
28
|
|
C1
|
28.2
|
28.9
|
27.6
|
7.93
|
7.94
|
7.89
|
5.84
|
5.86
|
5.93
|
28
|
25
|
27
|
|
C2
|
27.9
|
28.0
|
27.9
|
7.95
|
7.96
|
7.91
|
5.86
|
5.89
|
5.89
|
27
|
26
|
27
|
|
C3
|
27.8
|
29.1
|
27.5
|
7.89
|
7.90
|
7.89
|
5.89
|
5.91
|
5.87
|
26
|
25
|
28
|
|
10/02/2019
|
K1
|
28.4
|
28.7
|
29.1
|
7.92
|
7.92
|
7.97
|
5.99
|
5.90
|
5.96
|
24
|
28
|
28
|
K2
|
27.7
|
28.3
|
28.9
|
7.97
|
7.96
|
8.01
|
6.00
|
5.86
|
5.84
|
25
|
27
|
25
|
|
K3
|
28.2
|
28.5
|
28.9
|
7.95
|
7.95
|
7.99
|
5.84
|
5.93
|
5.85
|
24
|
27
|
28
|
|
A1
|
28.3
|
28.8
|
28.2
|
7.92
|
7.92
|
7.96
|
5.83
|
5.94
|
5.82
|
25
|
26
|
27
|
|
A2
|
27.6
|
28.7
|
28.5
|
7.89
|
7.89
|
7.98
|
5.82
|
5.87
|
5.88
|
26
|
25
|
28
|
|
A3
|
27.9
|
28.1
|
28.6
|
7.88
|
7.86
|
7.95
|
5.87
|
5.86
|
5.83
|
26
|
26
|
26
|
|
B1
|
28.0
|
29.2
|
28.1
|
7.85
|
7.89
|
7.91
|
5.85
|
5.92
|
5.85
|
25
|
24
|
27
|
|
B2
|
28.3
|
29.0
|
27.9
|
7.93
|
7.94
|
7.94
|
5.88
|
5.94
|
5.82
|
27
|
26
|
26
|
|
B3
|
28.8
|
28.9
|
27.6
|
7.95
|
7.92
|
7.96
|
5.79
|
5.96
|
5.89
|
26
|
24
|
28
|
|
C1
|
27.6
|
28.0
|
27.9
|
7.93
|
7.97
|
7.98
|
5.85
|
5.88
|
5.87
|
26
|
23
|
25
|
|
C2
|
27.6
|
28.1
|
27.8
|
7.91
|
7.92
|
7.94
|
5.83
|
5.87
|
5.85
|
26
|
24
|
26
|
|
C3
|
28.1
|
28.5
|
27.7
|
7.87
|
7.89
|
7.92
|
5.85
|
5.86
|
5.89
|
26
|
26
|
27
|
|
11/02/2019
|
K1
|
28.0
|
28.5
|
27.4
|
7.96
|
7.87
|
8.01
|
5.97
|
6.15
|
6.11
|
27
|
29
|
27
|
K2
|
27.6
|
28.3
|
27.1
|
7.99
|
7.93
|
8.03
|
6.06
|
5.88
|
5.85
|
23
|
25
|
23
|
|
K3
|
28.3
|
28.6
|
27.4
|
7.96
|
7.91
|
8.00
|
5.64
|
5.48
|
5.60
|
26
|
30
|
27
|
|
A1
|
27.4
|
28.5
|
27.9
|
7.92
|
7.90
|
7.89
|
5.72
|
5.44
|
5.67
|
25
|
24
|
25
|
|
A2
|
27.6
|
28.3
|
27.8
|
7.91
|
7.86
|
7.92
|
5.74
|
5.68
|
5.69
|
27
|
25
|
24
|
|
A3
|
27.9
|
28.4
|
27.5
|
7.87
|
7.85
|
7.94
|
5.72
|
5.70
|
5.66
|
26
|
24
|
26
|
|
B1
|
26.8
|
28.6
|
27.8
|
7.86
|
7.90
|
7.96
|
5.82
|
5.72
|
5.65
|
25
|
27
|
24
|
|
B2
|
27.2
|
28.6
|
28.2
|
7.83
|
7.96
|
8.02
|
5.73
|
5.80
|
5.68
|
24
|
26
|
27
|
|
B3
|
27.8
|
28.7
|
28.1
|
7.88
|
8.01
|
7.93
|
5.68
|
5.93
|
5.72
|
26
|
24
|
26
|
|
C1
|
27.6
|
28.4
|
28.2
|
7.85
|
7.89
|
7.95
|
5.67
|
5.76
|
5.74
|
24
|
27
|
25
|
|
C2
|
27.3
|
28.2
|
27.9
|
7.87
|
7.88
|
7.86
|
5.81
|
5.72
|
5.72
|
25
|
28
|
24
|
|
C3
|
27.5
|
28.2
|
27.6
|
7.92
|
7.83
|
7.84
|
5.83
|
5.67
|
5.69
|
26
|
28
|
26
|
|
12/02/2019
|
K1
|
27.7
|
29.4
|
28.7
|
7.98
|
7.96
|
7.90
|
5.86
|
5.80
|
5.81
|
25
|
27
|
25
|
K2
|
26.9
|
29.3
|
28.3
|
8.03
|
8.01
|
8.00
|
5.88
|
5.73
|
5.94
|
23
|
24
|
25
|
|
K3
|
27.4
|
29.0
|
28.7
|
8.00
|
7.99
|
7.96
|
5.81
|
5.93
|
6.06
|
27
|
24
|
26
|
|
A1
|
27.2
|
28.7
|
28.2
|
8.03
|
8.01
|
7.92
|
5.79
|
5.81
|
5.98
|
25
|
28
|
25
|
|
A2
|
27.6
|
28.7
|
28.5
|
7.89
|
8.01
|
7.94
|
5.76
|
5.73
|
5.89
|
26
|
29
|
27
|
|
A3
|
27.8
|
28.9
|
28.6
|
7.92
|
7.90
|
7.96
|
5.82
|
5.75
|
5.93
|
25
|
29
|
26
|
|
B1
|
27.5
|
28.3
|
28.2
|
7.94
|
7.88
|
7.98
|
5.85
|
5.89
|
5.95
|
24
|
29
|
25
|
|
B2
|
27.9
|
28.1
|
27.9
|
7.89
|
8.06
|
8.02
|
5.88
|
5.89
|
5.96
|
27
|
24
|
26
|
|
B3
|
27.5
|
28.0
|
27.7
|
7.86
|
8.05
|
7.92
|
5.82
|
5.64
|
5.88
|
26
|
26
|
25
|
|
C1
|
27.7
|
28.5
|
28.2
|
7.88
|
7.94
|
7.93
|
5.83
|
5.73
|
6.02
|
25
|
26
|
24
|
|
C2
|
27.5
|
28.1
|
28.1
|
7.92
|
7.91
|
7.89
|
5.87
|
5.81
|
5.93
|
23
|
26
|
26
|
|
C3
|
27.8
|
28.8
|
28.3
|
7.95
|
8.03
|
7.87
|
5.78
|
5.82
|
5.87
|
26
|
27
|
25
|
|
13/02/2019
|
K1
|
26.5
|
27.6
|
27.9
|
7.94
|
7.89
|
7.84
|
6.15
|
5.76
|
5.82
|
27
|
29
|
25
|
K2
|
26.3
|
27.6
|
27.7
|
8.02
|
8.00
|
7.88
|
6.00
|
5.80
|
5.75
|
24
|
25
|
24
|
|
K3
|
26.4
|
27.5
|
27.8
|
7.99
|
7.96
|
7.84
|
6.07
|
5.89
|
5.73
|
27
|
28
|
26
|
|
A1
|
26.9
|
28.1
|
28.2
|
7.87
|
7.88
|
7.79
|
6.03
|
5.98
|
5.76
|
26
|
27
|
23
|
|
A2
|
26.7
|
27.6
|
27.9
|
7.92
|
7.87
|
7.83
|
5.99
|
5.27
|
5.82
|
25
|
29
|
25
|
|
A3
|
27.2
|
27.9
|
27.5
|
7.94
|
7.79
|
7.89
|
6.01
|
5.79
|
5.85
|
26
|
29
|
24
|
|
B1
|
27.5
|
27.8
|
27.9
|
7.93
|
7.83
|
7.85
|
5.89
|
5.68
|
5.79
|
25
|
30
|
27
|
|
B2
|
26.8
|
27.0
|
27.5
|
7.95
|
7.76
|
7.83
|
5.96
|
5.86
|
5.83
|
26
|
28
|
23
|
|
B3
|
26.5
|
27.1
|
27.4
|
7.89
|
7.79
|
7.78
|
5.93
|
5.81
|
5.77
|
24
|
28
|
25
|
|
C1
|
27.2
|
28.3
|
28.6
|
7.87
|
7.76
|
7.81
|
5.95
|
5.87
|
5.82
|
26
|
26
|
24
|
|
C2
|
27.5
|
28.7
|
28.3
|
7.86
|
7.73
|
7.78
|
5.98
|
5.87
|
5.79
|
25
|
26
|
23
|
|
C3
|
26.9
|
28.9
|
28.6
|
7.88
|
7.74
|
7.83
|
5.96
|
5.80
|
5.81
|
26
|
27
|
25
|
Post a Comment for "Histopatologi Limfoid Udang Vaname Yang Diinfeksi WSSV"