BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Dua
pertiga bagian dari bumi merupakan daerah perairan yang kemudian membentuk
ekosistem perairan atau disebut juga ekosistem akuatik. Ekosistem akuatik
terbentuk karena adanya interaksi antara makhluk hidup akuatik dengan
lingkungannya. Ekosistem akuatik sendiri merupakan ekosistem yang memiliki
substrat berupa cairan. Berdasarkan tingkat salinitasnya ekosistem perairan
dibagi menjadi ekosistem air tawar dengan salinitas rendah yaitu kurang dari 5
%, air payau dengan tingkat salinitas 5-30% dan air laut dengan tingkat
salinitas tertinggi yaitu antara 30-40% (Odum, 1998).
Perkembangan
masyarakat dunia pada abad ke 21 telah menunjukkan kecenderungan adanya
perubahan peri-laku dan gaya hidup serta pola konsumsinya ke produk perikanan.
Dengan keterbatasan kemampuan pasok hasil perikanan dunia, ikan akan menjadi
komoditas strategis yang dibutuhkan oleh masyarakat dunia. Oleh karena itu,
permintaan komoditas peri-kanan di masa datang akan semakin tinggi sehagai
akibat meningkatlya jumlah penduduk, kualitas dan gaya hidup masyarakat dunia.
Perubahan gaya hidup tersebut antara lain disebabkan kebutuhan makanan sehat,
tingkat aktifitas yang tingi dan kegiatan yang cakupannya global. Pasokan ikan
dunia saat ini sebagian besar berasal dari hasil penangkapan ikan di laut.
Namun demikian pemanfaatan sumberdaya ter-sebut di sejumlah negara dan perairan
internasional saat ini dilaporkan telah berlebih. Oleh karena itu' alternative
pemasok hasil perikanan diharapkan berasal dari pembudidayaan ikan. Namun
karena keterbatasan lahan dan kondisi iklim yang tidak selalu mendukung, hal
ini menjadi pengham-bat pengembangan budidaya perikanan di sebagian negara di
dunia. Sesuai dengan potensi sumber-daya perikanan yang dimiliki serta dalam
rangka menghadapi tantangan global termasuk di bidang perikanan maka visi
pembangunan perikanan budidaya adalah: perikanan budidaya sebagai salah satu
sumber pertum-buhan ekonomi andalan yang diwujudkan melalui sistem budidaya
yang berdaya saing, berkelanjutan dan berkeadilan.
Ekosistem
disusun oleh komponen fisika, kimia dan biologi yang satu sama lain saling
berinteraksi di dalam suatu “wadah”,seperti danau, sungai, waduk, estuaria, dan
rawa. Perbedaan antar ekosistem satu dengan lainnya biasanya terjadi antara
komponen-komponen penyusun ekosistem bersangkutan, antara lain komponen biologi
. Bioata penyusun komunitas di perairan, secaraekologis dan kebiasaan serta
tingkah lakunya terdiri dari plankton, bentos, nekton, nesuton, pleusron dan
makrofita perairan. Masing-masing kelompok biota tersebut mempunyai struktur
komunitas yang berbeda antara satu ekosistem dengan ekosistem lainnya.
Ekosistem
air tawar dibedakan menjadi lotik dan lentik. Lotik merupakan ekosistem air
tawar yang airnya mengalir, sedangkan lentik merupakan ekosistem air tawar yang
airnya tergenang. Pada ekosistem lentik
terdapat organism yang tidak pernah berubah dan tidak memiliki kemampuan
adaptasi khusus karena airnya yang tenang, tidak mengalir bahkan tidak
bergelombang. Perairan tergenang atau lentik meliputi danau, rawa, kolam, waduk
dan sebagainya.
Sebagai
salah satu bentuk ekosistem, perairan danau terdiri dari factor abiotik (fisika
dan kimia) dan faktor biotik (produsen, konsumen dan dekomposer), dimana
faktor-faktor tersebut membentuk suatu hubungan timbale balik dan saling
mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Secara fisik, danau merupakan suatu
tempat yang luas yang mempunyai air tetap, jernih atau beragam dengan aliran
tertentu dan keberadaan tumbuhan air terbatas hanya pada daerah pinggir saja
(Jorgensen and Vollenweiden, 1989; Barus, 2004). Menurut Ruttner (1977), danau
adalah suatu badan air alami yang selalu tergenang sepanjang tahun dan
mempunyai mutu air tertentu yang beragam dari satu danau ke danau yang lain, serta
mempunyai produktivitas biologi yang tinggi.
RUMUSAN
MASALAH
|
Apa yang dimaksud dengan budidaya perairan ?
|
Apa yang dimaksud dengan perairan lentik ?
|
Bagaimana pengaruh perairan lentik terhadap kegiatan budidaya ?
|
TUJUAN
DAN MAKSUD
|
Untuk mengetahui apa itu budidaya perairan
|
Untuk mengetahui apa itu perairan lentik
|
Untuk mengetahui pengaruh perairan lentik terhadap kegiatan budidaya
|
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN BUDIDAYA
PERAIRAN
Perikanan
adalah kegiatan manusia yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya hayati perairan. Sumberdaya hayati perairan tidak dibatasi secara
tegas dan pada umumnya mencakup ikan, amfibi, dan berbagai avertebrata penghuni
perairan dan wilayah yang berdekatan, serta lingkungannya. Di Indonesia,
menurut UU RI no. 9/1985 dan UU RI no. 31/2004, kegiatan yang termasuk dalam
perikanan dimulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan
pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Dengan demikian,
perikanan dapat dianggap merupakan usaha agribisnis.
Umumnya,
perikanan dimaksudkan untuk kepentingan penyediaan pangan bagi manusia. Selain
itu, tujuan lain dari perikanan meliputi olahraga, rekreasi (pemancingan ikan),
dan mungkin juga untuk tujuan membuat perhiasan atau mengambil minyak ikan.
Usaha
perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau
membudidayakan (usaha penetasan, pembibitan, pembesaran) ikan, termasuk
kegiatan menyimpan, mendinginkan, pengeringan, atau mengawetkan ikan dengan
tujuan untuk menciptakan nilai tambah ekonomi bagi pelaku usaha
(komersial/bisnis).
Budidaya
perikanan adalah usaha pemeliharaan dan pengembang biakan ikan atau organisme
air lainnya. Budidaya perikanan disebut juga sebagai budidaya perairan atau
akuakultur mengingat organisme air yang dibudidayakan bukan hanya dari jenis
ikan saja tetapi juga organisme air lain seperti kerang, udang maupun tumbuhan
air. Istilah akuakultur yang diambil dari istilah dalam Bahasa Inggris
Aquaculture.
Aquaculture
(Akuakultur): Menurut FAO, akuakultur(Aquaculture) "diartikan pertanian
organisme akuatik termasuk ikan, moluska, krustasea dan tanaman air. Pertanian
menyiratkan beberapa bentuk intervensi dalam proses pemeliharaan untuk
meningkatkan produksi, seperti pengaturan stok, makan, perlindungan dari
predator dan lainnya. Pertanian juga menyiratkan kepemilikan individu atau
perusahaan dari objek yang dibudidayakan.
Akuakultur
juga dikenal sebagai budidaya perikanan, adalah pembudidayaan organisme perairan
seperti ikan, krustasea, moluska, dan tanaman air. Akuakultur termasuk budidaya
air tawar dan air asin dalam kondisi populasi yang terkendali, dan dapat
dibedakan dengan penangkapan ikan komersial yang melakukan pemanenan ikan liar.
Marikultur. mengacu pada akuakultur yang dipraktekkan di lingkungan laut dan
habitat bawah air laut. Dari
sisi produksi, pada tahun 2011 produksi perikanan nasional mencapai 12,39 juta
ton. Dari jumlah itu, produksi perikanan tangkap sebanyak 5,41 juta ton dan
produksi perikanan budidaya 6,98 juta ton.
Dari
total produksi perikanan budidaya, jumlah budidaya ikan dalam kolam air tawar
menyumbangkan angka hingga 1,1 juta ton. Sisanya adalah budidaya tambak air
payau, budidaya di laut, budidaya dalam keramba dan budidaya jaring apung.
Kenaikan produksi budidaya ikan dalam kolam air tawar cukup pesat yaitu
berkisar 11 persen setiap tahun. Hal ini menujukkan ada gairah besar di
masyarakat untuk mengembangkan usaha budidaya ikan air tawar. Tentunya
pertumbuhan produksi ini mengacu pada permintaan pasar yang terus meningkat.
PENGERTIAN PERAIRAN
MENGGENANG (LENTIK)
Perairan
tawar dapat dibedakan ke dalam dua kelompok yaitu perairan lentik dan perairan
lotik. Perairan lentik adalah kumpulan masa air yang relatif diam atau tenang
seperti danau, situ, rawa, waduk atau telaga. Adapun perairan lotik merupakan
suatu habitat perairan yang mengalir seperti sungai dan kanal. Situ merupakan
salah satu tipe perairan lentik, dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai
telaga atau danau, namun biasanya situ lebih kecil ukurannya dibandingkan danau
(Marwoto dan Isnaningsih, 2014).
Menurut
Kasasiah et al. (2009), tipe perairan menggenang seperti rawa dan situ
dicirikan dengan tepian yang landai, kedalaman < 10 m, fluktuasi air 2–5 m,
daerah derodon luas, daerah tangkap hujan sedang, masa simpan air sedang,
pengeluaran air atas.
Perbedaan
utama antara perairan lotik dan lentik adalah dalam kecepatan arus air.
Perairan lentik mempunyai kecepatan arus yang lambat serta terjadi akumulasi
massa air dalam periode waktu yang lama, sementara perairan lotik umumnya
mempunyai kecepatan arus yang tinggi, disertai perpindahan massa air yang
berlangsung dengan cepat (Daulay et al., 2012).
PENGARUH PERAIRAN
MENGGENANG (LENTIK) TERHADAP KEGIATAN BUDIDAYA
Indonesia
memiliki lebih dari 500 waduk, namum status kondisi sebagian besar sudah sangat
memprihatinkan akibat pencemaran (Sumarwoto, et al., 2004). Pencemaran yang
terjadi di perairan waduk, merupakan masalah penting yang perlu memperoleh perhatian dari berbagai
pihak. Hal ini disebabkan beragamnyasumber pencemar yang masuk dan terakumulasi
di waduk, antara lain berasal dari kegiatan produktif maupun non produktif di
upland (lahan atas) dari permukiman dan dari kegiatan yang berlangsung di badan
perairan waduk sendiri. Jenis bahan pencemar utama yang masuk ke perairan waduk
terdiri terdiri dari beberapa macam, antara lain limbah organik dan anorganik,
residu pestisida, sedimen dan bahan-bahan lainnya.Sumber timbulan limbah di WGM
dari berbagai aktivitas penduduk di sempadan waduk, seperti permukiman,
perhotelan, pertanian dan peternakan, serta kegiatan di badan perairan waduk
seperti budidaya ikan dengan teknik karamba jarring apung (KJA).
Usaha
KJA meningkat dari tahun 1997 berjumlah 185 petak menjadi 231 petak (Bappeda,
2007), 1164 petak (Pujiastuti, 2010) dan telah menyebar ke zona wisata, suaka
serta zona bebas (Sudarmono, 2006). Limbah pakan ikan yang menumpuk
bertahun-tahun, telah menurunkan kualitas air antara lain derajad keasaman air
(Pujiastuti, 2003), cadangan oksigen terlarut, meningkatkan kandungan N-NO2 dan
N-NH3 (Simarmata, 2008), menaikkan tingkat kerusakan bagian-bagian Pembangkit
Listrik Tenaga Air (PLTA) yang dilewati seperti sistem cooler, turbin, dan
lain-lain (Sumarna, 2005), merusak kehidupan biota air (Pujiastuti, 2003), maupun
merusak tanaman yang dialiri (Pujiastuti, 2009).
Fenomena
tersebut menunjukkan bahwa pencemaran yang terjadi di WGM semakin
mengkhawatirkan karena dapat mengancam fungsi waduk. WGM mempunyai masalah
pencemaran perairan, penurunan kualitas perairan, penurunan debit air dan
pendangkalan waduk (Pujiastuti, 2003). Diperlukan usaha-usaha pencegahan dan pengendalian yang terpadu agar
pencemaran dan sedimentasi dapat dikendalikan, sehingga fungsi utama waduk
dapat dijaga kelangsungannya. Sumber pencemaran diperkirakan berasal dari
aliran beban limbah dari kegiatan masyarakat yang berlangsung di indigenous
(badan air waduk) dan exogenous (luar
danau). KJA merupakan sumber limbah yang berasal dari kegiatan di badan air.
Budidaya ikan dalam KJA akan memberikan buangan berupa pakan yang tidak
termakan dan feses ke badan air, hal ini dapat menurukan kualitas perairan
waduk (Pujiastuti, 2003). Selain itu, penurunan kualitas perairan waduk juga
disebabkan oleh limbah yang berasal dari
luar waduk, seperti limbah domestik, limbah kegiatan pertanian dan peternakan
yang berada disekitar waduk. Kegiatan perikanan yang tidak ramah lingkungan
seperti KJA yang melebihi daya dukung
lingkungan maupun penggunaan pakan ikan akan meninggalkan sisa pakan yang menumpuk
didasar perairan selama bertahun-tahun. Hal ini menimbulkan pengkayaan unsur
hara dan mempercepat eutroikasi yang ditandai dengan berkembangnya tanaman air
seperti enceng gondok, azola (Pujiastuti, 2003).
Keadaan ini dapat menyebabkan sejumlah masalah
penting dalam penggunaan air (Connel dan Miller, 1995). Kenaikan populasi
tanaman dapat menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut dalam air karena
adanya tanaman yang mati dan pembusukan oleh jasad renik. Hal ini dapat
menurunkan kecocokan daerah tersebut sebagai habitat beberapa spesies ikan dan
makhluk hidup lainnya. Peningkatan kekeruhan dan warna yang terjadi selama
eutroikasi menyebabkan air tidak sesuai untuk rumah tangga atau sulit dikelola
sampai memenuhi baku mutu air minum. Suhu air mempunyai pengaruh yang nyata
terhadap proses pertukaran atau metabolisme makhluk hidup. Selain mempengaruhi
proses pertukaran zat, suhu juga berpengaruh terhadap kadar oksigen yang
terlarut dalam air, juga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan nafsu makan ikan.
Dalam berbagai hal suhu berfungsi sebagai syarat rangsangan alam yang
menentukan beberapa proses seperti migrasi, bertelur, metabolisme, dan lain
sebagainya.
Diperairan
lokasi budidaya ikan sistem karamba mempunyai kisaran suhu antara 27 - 30°C.
Ikan dapat tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25- 32°C, tetapi dengan
perubahan suhu yang mendadak dapat membuat ikan stress. Berdasarkan hasil
pemantauan peneliti selama 7 bulan dari bulan April 2010 sampai Oktober 2010
diperoleh ratarata suhu perairan pada titik sampling karamba jaring apung 31,2°
C, titik sampling di tengah-tengah waduk 30°C. Suhu air waduk yang berjarak 100
m dari DAS Keduang 31,20°C, DAS Bengawan Solo 30,40°C, DAS Alang Unggahan
30,20°C, DAS Wiroko 30,70°C, DAS Temon. Dengan demikian kisaran suhu di lokasi
budidaya ikan di Waduk Serbaguna Wonogiri masih sesuai untuk budidaya ikan.
Jika dibandingkan dengan Baku Mutu Kualitas Air pada PP Nomor 82 tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran, maka seluruh
titik sampling pada air WGM masih memenuhi kualitas suhu air normal alamiah ± 3
ºC.
Kekeruhan
diartikan sebagai intensitas kegelapan di dalam air yang disebabkan oleh
bahan-bahan yang melayang. Kekeruhan perairan umumnya disebabkan oleh adanya
partikel-partikel suspensi seperti tanah liat, lumpur, bahan-bahan organic
terlarut, bakteri, plankton dan organism lainnya. Kekeruhan perairan
menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang
diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan
yang terjadi pada perairan tergenang seperti waduk lebih banyak disebabkan oleh
bahan tersuspensi berupa koloid dan parikel-partikel halus. Kekeruhan digunakan
untuk menyatakan derajat kegelapan di dalam air yang disebabkan oleh bahan-bahan
yang melayang. Kekeruhan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari yang masuk ke
badan perairan, sehingga dapat menghalangi proses fotosintesis dan produksi
primer perairan. Kekeruhan biasanya terdiri dari partikel anorganik yang
berasal dari erosi dari DAS dan resuspensi sedimen di dasar waduk. Kekeruhan
memiliki korelasi positif dengan padatan tersuspensi, yaitu semakin tinggi
nilai kekeruhan maka semakin tinggi pula nilai padatan tersuspensi (Marganof,
2007).
Kecerahan
merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan
menggunakan secchi disk (Effendi, 2003). Kecerahan perairan sangat dipengaruhi
oleh keberadaan padatan tersuspensi, zat-zat terlarut, partikelpartikel dan
warna air. Pengaruh kandungan lumpur yang dibawa oleh aliran sungai dapat
mengakibatkan tingkat kecerahan air waduk menjadi rendah, sehingga dapat
menurunkan nilai produktivitas perairan. Parameter kecerahan dapat untuk
mengetahui sampai dimana proses asimilasi dapat berlangsung di dalam air. Air
yang tidak terlampau keruh dan tidak terlampau jernih baik untuk kehidupan
ikan. Kekeruhan yang baik adalah kekeruhan yang disebabkan oleh jasad renik
atau plankton. Hasil pemeriksaan laboratorium nilai kecerahan WGM dari tahun
1995 – 1999 berkisar antara 98,2 – 102 cm, tahun 2002 sebesar 84 cm
(Pujiastuti, 2003), 82,2 cm (Pujiastuti, 2009) dan pada penelitian ini berkisar
antara 40-82 cm. Nilai kecerahan pada perairan WGM dan lokasi budidaya ikan
karamba jaring apung mengalami penurunan. Hal ini mungkin disebabkan oleh akumulasi
pakan ikan dan sedimentasi air waduk akibat erosi di daerah hulu. Nilai
kecerahan yang baik untuk pemeliharaan ikan adalah antara 98,2 – 102 cm.
Total
Suspended Solid (TSS) suatu contoh air adalah jumlah bobot bahan yang
tersuspensi dalam suatu volume air
tertentu, dengan satuan mg perliter (Sastrawijaya, 2000). Padatan tersuspensi
terdiri dari komponen terendapkan, bahan melayang dan komponen tersuspensi
koloid. Padatan tersuspensi mengandung bahan anorganik dan bahan organik. Bahan
anorganik antara lain berupa liat dan butiran pasir, sedangkan bahan organik
berupa sisa-sisa tumbuhan dan padatan biologi lainnya seperti sel alga, bakteri
dan sebagainya (Marganof, 2007), dapat pula berasal dari kotoran hewan, kotoran manusia, lumpur dan limbah
industri (Sastrawijaya, 2000). Zat padat tersuspensi pada baku mutu air kelas
dua dipersyaratkan maksimal 50 mg/l, kelas tiga dipersyaratkan maksimal 400
mg/l. Hasil analisis laboratorium adalah 241 mg/l (Pujiastuti, 2009), Tengah
waduk berkisar antra 26,3-76,0 (PJT, 2010). Pada penelitian ini TSS pada titik
sampling berkisar antara 24-228 mg/L. Padatan terlarut di tengah WGM 24 mg/L
dan dibeberapa lokasi masih dibawah baku mutu, sedangkan air waduk yang
berjarak 100m dari DAS Keduang, DAS Bengawan Solo dan DAS Alang Unggahan tidak
memenuhi syarat. Nilai total padatan terlarut yang didapatkan pada penelitian
ini lebih rendah dari nilai total padatan tersuspensi. Hal ini menggambarkan
bahwa padatan yang masuk ke perairan
WGM lebih banyak yang berbentuk padatan yang ukurannya besar (padatan
tersuspensi), atau padatan yang terdapat di perairan WGM lebih didominasi oleh
padatan yang berasal dari lumpur.
Warna
air mempunyai hubungan dengan kualitas perairan. Warna perairan dipengaruhi
oleh adanya padatan terlarut dan padatan
tersupensi (Sastrawijaya, 2000). Hasil pengukuran nilai warna perairan di WGM
berkisar antara 3-65 unit PtCo. Nilai ini menggambarkan bahwa perairan WGM dari
DAS Keduang dan DAS Alang Unggahan melebihi nilai perairan alami yang digunakan
sebagai sumber air baku air minum, yaitu 10 unit PtCo. Berdasarkan WHO (1992),
yang mensyaratkan nilai warna untuk air minum maksimal 15 unit PtCo, maka
perairan WGM masih layak digunakan
sebagai sumber air baku air minum. Nilai warna perairan ini diduga ada
kaitannya dengan masuknya limbah organik dan anorganik yang berasal dari
kegiatan KJA dan permukiman penduduk di sekitar perairan danau. Kondisi ini
juga dapat meningkatkan blooming pertumbuhan itoplankton dari ilum Cyanophyta
(Marganof, 2007).
Derajat
keasaman merupakan gambaran jumlah atau aktivitas ion hydrogen dalam perairan
Derajad keasaman menunjukkan suasana air tersebut apakah masih asam ataukah
basa. Secara umum nilai pH menggambarkan seberapa besar tingkat keasaman atau
kebasaan suatu perairan. Perairan dengan nilai pH = 7 adalah netral, pH < 7
dikatakan kondisi perairan bersifat asam, sedangkan pH > 7 dikatakan kondisi
perairan bersifat basa (Effendi, 2003). Adanya karbonat, bikarbonat dan
hidroksida akan menaikkan kebasaan air, sementara adanya asam-asam mineral
bebas dan asam karbonat menaikkan keasaman suatu perairan. Sejalan dengan
pernyataan tersebut Mahida (1993) menyatakan bahwa limbah buangan industry dan
rumah tangga dapat mempengaruhi nilai pH perairan. Derajad keasaman mempunyai
pengaruh yang besar terhadap tumbuhtumbuhan dan hewan air, sehingga sering
dipergunakan sebagai petunjuk untuk untuk menyatakan baik buruknya keadaan air
sebagai lingkungan hidup biota air. Data
yang diperoleh selama kurun waktu 1995-2003, keasaman air WGM sekitar 7,5 - 8,4
(Pujiastuti, 2003). Derajad keasamana daerah inlet berkisar 7,13 - 7,48 dan
zona budidaya ikan karamba adalah 7,7 (Pujiastuti, 2009). Rata-rata pH air WGM
6,7-8.0 (PJT,2009). Pada penelitian ini rata-rata pH air WGM berkisar antara
6,7-7,67. Sebarab pH perairan WGM pada penelitian ini disajikan dalam gambar 4.
Perairan yang baik untuk budidaya ikan adalah perairan dengan derajat keasaman
6 - 8,7 (Suhaili Asmawi, 1984). PP. No. 82 tahun 2001 mensyaratkan kualitas air
kelas II dan III berkisar antara 6-9. Sehingga perairan WGM masih sesuai untuk
sumber air PDAM, PLTA dan budidaya ikan.
Oksigen
merupakan salah satu gas terlarut di perairan alami dengan kadar bervariasi
yang dipengaruhi oleh suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosir.
Selain diperlukan untuk kelangsungan hidup organisme di perairan, oksigen juga
diperlukan dalam proses dekomposisi senyawa- senyawa organik menjadi senyawa
anorganik. Sumber oksigen terlarut terutama berasal dari difusi oksigen yang
terdapat di atmosfer. Difusi oksigen ke dalam air terjadi secara langsung pada
kondisi stagnant (diam) atau karena agitasi (pergolakan massa air) akibat
adanya gelombang atau angin (Marganof, 2007). Kandungan oksigen terlarut
menunjukkan jumlah oksigen yang terlarut di dalam air. Adanya oksigen yang
terlarut dalam air secara mutlak terutama dalam air permukaan. Dalam
hubungannya dengan pencemaran limbah pakan ikan dalam KJA dan limbah domestic,
pengukuran oksigen terlarut merupakan dasar pengukuran BOD. Sebaran oksigen
terlarut perairan WGM disajikan pada gambar 5.
Berdasarkan
PP 82 tahun 2001, golongan kelas II sebagai air baku air minum minimum 4 mg/L
dan kelas III minimum 3 mg/L. Hasil pemeriksaan laboratorium angka 5,3 - 7,5
mg/l dan tahun 2002 menunjukkan angka 6,1 mg/l (Pujiastuti, 2003). Penelitian
Pujiastuti (2009) menunjukkan kandungan paling rendah 5,9 mg/l di zona
pertanian dan paling tinggi 7,3 mg/l di zona inlet PLTA, sedangkan di zona
budidayapun kandungan oksigen terlarut 6,1 mg/l. Sebaran oksigen terlarut pada
penelitian ini antara 4,46 – 7,70 mg/L. Kualitas air WGM mengalami tren yang
menurun dari tahun ke tahun. Oksigen terlarut air waduk pada titik sampling air
waduk pada100 meter dari DAS Wiroko dan KJA tidak memenuhi baku mutu air pada
semua kelas I. Kandungan oksigen terlarut ini memberikan gambaran bahwa secara
umum perairan WGM sudah tercemar oleh bahan organic yang mudah terurai dari
limbah cair hotel dan restoran disekitar WGM.
BOD
(Biological Oxygen Demand) merupakan salah satu indicator pencemaran organik
pada suatu perairan. Bahan organik akan
distabilkan secara biologis dengan melibatkan mikroba melalui sistem oksidasi
aerobik atau anaerobik, maka jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme
untuk memecah (mendegradasi) bahan buangan organic yang ada di dalam perairan
tersebut dinamakan dengan BOD (Wardhana, 2001). Oksidasi aerobik dapat
menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut di perairan sampai pada
tingkat terendah bahkan anaerob, sehingga dalam hal ini baketri yang bersifat
anaerob akan menggantikan peran dari bakteri yang bersifat aerobic dalam
mengoksidasi bahan organik dengan cara oksidasi anaerobik. Perairan dengan
nilai BOD5 tinggi mengindikasikan bahwa bahan pencemar yang ada dalam perairan
tersebut juga tinggi, yang menunjukkan semakin besarnya bahan organik yang
terdekomposisi menggunakan sejumlah oksigen di perairan. Adapun sebaran nilai
ratarata BOD5 di perairan WGM diperlihatkan pada gambar 6. PP 82 tahun 2001
mensyaratkan BOD maksimal 3 mg/L air kelas II dan 6 mg/L pada air kelas III.
Nilai BOD pada perairan WGM berkisar pada 3,89-8,89 mg/L. Perairan WGM sudah
tercemar oleh bahan organik mudah terurai dan tidak layak dipergunakan sebagai
sumber air baku air minum, namun masih dapat dipergunakan untuk kegiatan
budidaya ikan KJA.
Nitrat
merupakan salah satu bentuk nitrogen yang larut dalam air. Pencemaran dari
pemupukan, kotoran hewan dan manusia merupakan penyebab tingginya kadar nitrat.
Sebaran nilai N-NO3 pada perairan WGM disajikan pada gambar 8. Kandungan
Nitrogen sebagai nitrat menurut PP 82 tahun 2001 Baku mutu air kelas dua dan
tiga maksimum 10mg/L. Konsentrasi maksimum nitrat pada zona wisata 1,05 mg/l
dan minimum 0,18mg/L pada titik input air PDAM. Jadi secara keseluruhan
kualitas air pada zona karamba dan zona manfaat lainnya masih memenuhi baku mutu (Pujiastuti, 2009). Hasil
penelitian menunjukkan kandungan nitrat tertinggi 3,32 mg/L pada titik sampling
budidaya ikan KJA. Kualitas air WGM masih memenuhi baku mutu namun demikian
terjadi tren peningkatan kandungan nitrat, yang disebabkan terjadinya
penumpukan limbah pakan ikan pada budiaya ikan dengan system karamba jaring
apung dan masuknya limbah domestic melalui DAS dan kegiatan penduduk sekitar
waduk yang mengalir ke WGM.
Amoniak
merupakan senyawa nitrogen yang berubah menjadi ion NH4 pada pH rendah. Amoniak
berasal dari limbah domestic dan limbah pakan ikan. Ammonia di perairan waduk
dapat berasal dari nitrogen organik dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam
tanah dan air berasal dari dekomposisi bahan organik oleh mikroba dan jamur. Selain itu, ammoniak juga berasal
dari denitriikasi pada dekomposisi limbah oleh mikroba pada kondisi anaerob
(Sastrawijaya, 2000). Ammonia juga dapat berasal dari limbah domestik dan
limbah industry (Marganof, 2007). Sebaran kandungan nitrogen sebagai amoniak
disajikan pada gambar 9. Baku mutu air kelas satu mensyaratkan kandungan
nitrogen sebagai amoniak maksimum 0,5 mg/L, sedangkan kelas dua sampai empat
tidak dipersyaratkan. Untuk budidaya ikan Penelitian Pujiastuti (2009) nilai
maksimum diperoleh 0,4 mg/L pada titik sampling sumber air baku PDAM dan
terendah 0,2 pada zona wisata. Pada titik sampling zona budidaya ikan karamba
diperoleh 0,33 mg/l.
Menurut
Nastiti dkk (2001), perkembangan unit karamba jarring apung dan jarring tancap
pada areal budidaya yang kurang terkendali telah menimbulkan damapk negative
terhadap lingkungan perairan. Dampak negative yang sering ditimbulkan antara
lain disebabkan kurang diperhatikannya prinsip-prinsip teknologi dalam budidaya
ikan dengan system keramba jarring apung dan jarring tancap. Dalam suatu usaha
budidaya perikanan, sangat penting untuk dipelajari kondisi kualitas suatu
perairan untuk dijadikan indikasi kelayakan suatu perairan untuk budidaya
perikanan. Untuk mengelola sumberdaya perikanan yang baik maka salah satu
persyaratan yang ahrus diperhatikan adalah kualitas perairan, Boyd (1982),
menyatakan bahwa untuk tumbuhan dan organism perairan dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik, organism tersebut memerlukan persyaratan tertentu dalam
habitat hidupnya yaitu kondisi perairan.
Masalah
yang selalu timbul dalam system budidaya karamba jarring apung dan jarring
tancap adalah pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh berbagai kegiatan
disekitar perairan maupun usaha budidaya itu sendiri. Pencemaran ini dapat
berupa pencemaran fisika-kimia khususnya (suhu, kecerahan, ph, oksigen
terlarut, nitrat, fosfat, amoniak dan BOD). Meskipun aspek fisika – kimia ini
pernah di teliti, anmun para pakar dan pengelola perairan selalu menganjurkan
bahwa penelitian pencemaran perairan perlu dilaksanakan secara verkesinambungan
mengingat setiap waktu dapat saja terjadi perubahan lingkungan (Dundu dkk,
1993).
Berdasarkan
uraian diatas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan data kualitas
air khususnya parameter fisika-kimia agar dapat diketahui sejauh mana daya
dukung kualitas air untuk kegiatan budidaya jarring apung dan jarring tancap
sat ini di Danau Tondano khususnya Kelurahan Paleloan kecamatan Tondano Selatan
Kabupaten Minahasa dengan mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001
tentang pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Tujuan
penelitian adalah untuk menganalisis parameter fisika-kimia yang meliputi suhu,
kecerahan, ph, oksigen terlarut, nitrat, fosfat, amoniak dan BOD pada lokasi
budidaya karamba jarring apung dan jarring tancap di Kelurahan Paleloan,
Kecamatan Tondano Selatan kabupaten Minahasa, serta menentukan lokasi budidaya
yang cocok untuk menunjang pertumbuhan yang optimal.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Perikanan
adalah kegiatan manusia yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya hayati perairan. Ekosistem disusun oleh komponen fisika, kimia dan
biologi yang satu sama lain saling berinteraksi di dalam suatu “wadah”,seperti
danau, sungai, waduk, estuaria, dan rawa. Budidaya perikanan adalah usaha
pemeliharaan dan pengembang biakan ikan atau organisme air lainnya. Perairan
lentik adalah kumpulan masa air yang relatif diam atau tenang seperti danau,
situ, rawa, waduk atau telaga. Kekeruhan yang terjadi pada perairan tergenang
seperti waduk lebih banyak disebabkan oleh bahan tersuspensi berupa koloid dan
parikel-partikel halus. Banyak hal yang bersangkutan dengan lentik yang dapat
mempengaruhi budidaya perikanan. Sifat Kimia, Fisika mau pun Biologi ikut
berperan di dalamnya.
PENULIS
Evi
Zulfiana
Riska
Febriandany Hartoyo
FPIK
Universitas Brawijaya Angkatan 2015
EDITOR
Gery
Purnomo Aji Sutrisno
FPIK
Universitas Brawijaya Angkatan 2015
DAFTAR PUSTAKA
Bapedal,
1994, Standar Nasional Indonesia “Pengujian Kualitas Air Sumber dan Limbah Cair”, Jakarta: Direktorat
Pengembangan Laboratorium Rujukan dan Pengolahan
Data, Badan Pengendali Dampak Lingkungan.
Daulay,
A. T., D. Bakti, dan R. Leidonald. 2013. Keaneka Ragaman Makrozoobentos Sebagai
Indikator Kualitas Perairan Danau Siombak Kecamatan
Medan Marelan Kota Medan. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara.
Kasasiah,
A., D.I. Hartoto, F. Yulianda, Haroyo, dan M. Marzuki. 2009. Pedoman Penilaian kerusakan Habitat Sumberdaya Ikan di
Perairan Daratan. Jakarta.
Marganof,
2007, Model Pengendalian Pencemaran Perairan Di Danau Maninjau Sumatra Barat, Laporan hasil penelitian Sekolah
Pasca Sarjana IPB Bogor, http://www.damandiri. or.id/ile/marganoipb.
Marwoto,
R.M. dan N.R. Isnaningsih. 2014. Tinjauan Keaneka Ragaman Moluska Air Tawar di Beberapa Situ di Das
Ciliwung – Cisadane. LIPI : Jakarta. 13(2) :
1-2
Pujiastuti,
P., (2003) Dampak Budidaya Ikan Dalam Karamba Jaring Apung Terhadap Perkembangan Biota Air Lokal
di WGM, Prosiding Seminar Nasional
Unika Soegijopranoto Semarang, ISBN 979-8366-61-1i
Pujiastuti,
P., (2003) Dampak Budidaya Ikan Dalam Karamba Jaring Seminar Nasional
Unika Soegijopranoto Semarang, ISBN 979-8366-61-1i
Pujiastuti,
P., (2009) Deteksi Dini Dampak Berantai Budidaya Ikan KJA Terhadap Nilai Manfaat WGM., Fakultas Teknik
Universitas Setia Budi Surakarta.
Sudarmono,
2006, Budidaya Karamba Apung Serta Peranannya Bagi Pendapatan Pemilik Karamba di Perairan Waduk
Gadjah Mungkur Kabupaten Wonogiri, jtptums-gdl-
S1-2006-sudarmonoe-3004-ums Digital Library-GDL4.0
Sumarna,
2005, Harus Ada Perbaikan Pembangkit (laporan utama), Majalah Bulanan Indonesia Poweredisi 3 tahun
2005.
World
Health Organization (WHO), 1993, Rapid Assesment of Sources of Air, Water, and
Land Pollution. Genewa, Switzerland.
Post a Comment for "Pengaruh Perairan Lentik Terhadap Budidaya Perairan (Limnologi Atau Limnology)"