(Dokumentasi
Pribadi, Saat Menggunakan Mesin Histopatologi di BBPBAP Jepara)
HISTOPATOLOGY
ANALYSIS LIMFOID OF VANAME SHRIMP
(Litopenaeus vannamei) INFECTED by White Spot Syndrome Virus (WSSV)
Gery Purnomo Aji
Sutrisno1), Maftuch2), dan Heny Suprastyani2)
1)
Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya
2)
Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya
ABSTRAK
Udang
vaname (Litopenaeus vannamei) saat ini telah banyak dibudidayakan di Indonesia.
Virus White Spot Syndrome Virus (WSSV) merupakan salah satu penyakit yang
sering menginfeksi dalam budidaya udang. Keberadaan virus tersebut dapat
dideteksi secara dini melalui uji PCR. Selain itu dapat dilakukan uji
histopatologi untuk mengetahui gambaran kerusakan organ akibat infeksi virus
tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi
limfoid udang vaname (Litopenaeus vannamei) serta mengetahui gejala klinis yang nampak pada
udang vaname pasca infeksi virus WSSV. Metode dalam penelitian ini menggunakan
metode eksperimen dengan Rancangan Acak
Lengkap (RAL). Perlakuan dalam penelitian ini sebanyak 3 perlakuan injeksi
virus dan 1 kontrol sebagai pembanding
dengan pengulangan 3 kali. Perlakuan A (konsentrasi 10^2), Perlakuan B
(konsentrasi 10^3 ), Perlakuan C (konsentrasi 10^4 ) serta
kontrol (tanpa injeksi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerusakan
pada organ limfoid adalah hipertropi dan hiperplasia. Hasil penelitian juga
didapatkan bahwa nilai skoring 4 di semua perlakuan yang menunjukkan kerusakan
berat.
Kata
Kunci : White Spot Syndrome Virus, Udang Vaname, Limfoid
ABSTRACT
Vaname
shrimp (Litopenaeus vannamei) is now widely cultivated in indonesia. White Spot
Syndrome Virus (WSSV) was one of the diseases that often infect in shrimp culture. The existence of the virus could be detected
early through PCR tests. In addition, histopathology tests could be carried out
to determine the description of organ damage due to infection. The purposed of
this study was to know the histopathology description of the gill vaname shrimp (Litopenaeus vannamei) and clinical
symptoms that appeared in vaname shrimp after infected by WSSV. The research
method that used was an experimental method with a completely randomized design
(CRD). The treatments in this study were 3 viral injection treatments and 1
control as a comparison with 3 replications. Treatment A (concentration 102),
Treatment B (concentration 103), Treatment C (concentration 104) and control
(without injection). The results showed that damage to lymphoid organs was
hypertrophy and hyperplasia. The results also found that score of 4 in all
treatments showed severe damage.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Udang
vaname (Litopenaeus vannamei) saat ini telah banyak dibudidayakan di Indonesia.
Para pembudidaya sudah banyak beralih ke udang vaname karena merupakan
komoditas ekspor serta memiliki permintaan pasar yang cukup tinggi. Produksi
udang vaname juga menunjukkan peningkatan. Pada periode tahun 2009 – 2013, menurut
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2013) produksi udang vaname mengalami
peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2009, jumlah produksi mencapai
170.969 ton. Pada tahun 2010, mengalami peningkatan menjadi sebesar 205.578
ton. Pada tahun 2011 dan 2012 masing-masing mengalami peningkatan menjadi
sebesar 246.420 dan 251.763 ton. Pada tahun 2013 mengalami peningkatan produksi
yang cukup besar yakni menjadi sebesar 386.314 ton.
Udang
vaname (L. vannamei) adalah salah satu spesies udang yang bernilai ekonomis dan
merupakan salah satu komoditas unggulan nasional. Udang vaname memiliki
beberapa kelebihan udang vaname yaitu bersifat euryhaline, udang ini mampu
hidup pada perairan dengan salinitas sekitar 0,5-45 0⁄00 , dan waktu
pemeliharaan lebih pendek yakni sekitar 90-100 hari per siklus (Hudi dan Shahab
2005). Udang vaname juga memiliki nafsu makan yang tinggi dan dapat
memanfaatkan kadar protein rendah dengan kadar 20%-35% (Briggs, et al., 2004),
sehingga pada sistem budidaya dengan pola semi intensif biaya pakan dapat
diminimalisir (Burhanuddin, 2009). Karena keunggulan-keunggulannya tersebut,
udang vaname ini memiliki prospek yang baik untuk dibudidayakan.
Udang
vaname juga memiliki kelemahan, salah satunya juga sering terserang berbagai
penyakit. Menurut Arafani, et al. (2016), pada budidaya udang vaname kemunculan
penyakit merupakan kerugian besar, berbagai penyakit akibat infeksi bakteri dan
virus menyebabkan budidaya terganggu. Virus bercak putih atau white spot
syndrome virus (WSSV) merupakan salah satu penyakit yang paling mengancam
industri tambak udang dan di seluruh dunia. Penyakit WSSV pada udang
menyebabkan gagal panen, menurunkan minat petambak untuk melakukan budidaya
udang, serta mematikan tambak-tambak produktif.
WSSV
memiliki kemampuan menimbulkan penyakit (virulensi) yang sangat tinggi. Virus
ini bisa mengakibatkan total kematian 100% pada 3 sampai 10 hari penyerangan
(Wang, et al., 2007). Penyakit bintik putih telah diketahui disebabkan oleh
virus WSSV melalui teknik deteksi menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction)
yang telah dikembangkan untuk diagnosa cepat agar dapat mencegah penyebaran
virus pada sistem budidaya.
Analisis
histopatologi juga perlu dilakukan guna melihat tingkat kerusakan sel akibat
infeksi WSSV. Menurut Pratiwi dan Manan (2015), Kepentingan pemeriksaan
histopatologi dalam diagnosa penyakit infeksi selain diketahui kemungkinan
penyebab infeksinya, juga dapat dilihat dari peradangan dan infiltrasi sel
radang yang ada. Maka dari itu perlu melakukan analisis histopatologi pada
udang yang terinfeksi WSSV guna mengetahui kerusakan sel yang disebabkan oleh
virus.
Kegunaan
Penelitian
ini diharapkan menjadi sumber informasi tentang kerusakan sel organ limfoid
pada udang vaname (Litopenaeus vannamei) yang diinfeksi virus WSSV dengan dosis
10^2, 10^3 dan 10^4 serta mengetahui gejala klinis yang diakibatkan oleh infeksi
virus.
Tempat dan Waktu
Penelitian
dilaksanakan di Laboratorium Manajemen Kesehatan Hewan Akuatik Balai Besar
Perikanan Budidaya Air Payau Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 08 Januari – 28
Februari 2019.
METODE PENELITIAN
Alat-alat
yang digunakan dalam penelitian yaitu cover glass, object glass, autoclave,
cassette, waterbath, mikroskop binokuler, tissue prosesor, sentrifuge, spuilt 1
ml, tube, inkubator, mikropipet, blue tip, Laminary air flow (LAF).
Bahan-bahan
yang digunakan dalam penelitian yaitu udang vaname (Litopenaeus vannamei),
nuclease free water, alkohol( 70%, 80%, 90% dan 100%), PBS, inokulum virus
WSSV, aquades, larutan davidson, parafin, xylol, eosin, hematoxyline, entelan,
kaporit, Na-thiosulfat.
Metode dan Rancangan
Penelitian
Rancangan
percobaan yang digunakan yaitu menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
3 perlakuan dan 1 kontrol dan
pengulangan sebanyak 3 kali.
Perlakuan
yang digunakan terdiri dari perlakuan A yang diinjeksi virus dengan konsentrasi
10^2 , perlakuan B dengan konsentrasi 10^3, perlakuan C dengan konsentrasi 10^4
dan kontrol tanpa injeksi virus.
Prosedur Penelitian
Persiapan Media
Pemeliharaan
Air
laut yang akan digunakan disterilisasi terlebih dahulu menggunakan kaporit dengan dosis 20 ppm dalam
waktu 24 jam. Setelah itu, ditambahkan Na-Thiosulfat untuk menghilangkan
sisa-sisa kaporit setengah dari dosis kaporit yang digunakan yaitu kurang lebih
10 ppm. Kemudian dilakukan aerasi selama
14 jam secara terus menerus. Air laut yang telah steril dapat digunakan sebagai
media hidup udang.
Pesiapan Wadah
Penelitian
Wadah
penelitian yang digunakan berupa bak kontainer dengan kapasitas 150 L sebanyak
12 buah. Bak yang akan digunakan
dibersihkan terlebih dahulu dengan air dan sabun, lalu dikeringkan kurang lebih
selama 24 jam. Setelah itu, air laut yang disterilisasi diisikan ke dalam bak
kontainer. Kemudian dilakukan pemasangan aerator set untuk membantu suplai
ketersedian oksigen selama pemeliharaan udang.
Sterilisasi Alat dan
Bahan
Sterilisasi
pada alat dan bahan yang akan digunakan dalam proses PCR dilakukan menggunakan
autoklaf dengan cara sebagai berikut: peralatan yang akan disterilisasi
sebelumnya dicuci bersih dengan air mengalir, kemudian dimasukkan kedalam
autoklaf yang telah disiapkan sebelumnya. Sterilisasi menggunakan autoklaf
dilakukan selama kurang lebih 15 menit, dengan tekanan 1 atm dan suhu 121oC.
Setelah 15 menit, dapat ditekan tombol power off pada autoklaf dan dibuka klep
secara perlahan setelah alarm berbunyi. Kemudian diambil alat dan bahan yang
ada di dalam autoklaf.
Penyediaan Virus WSSV
Virus
WSSV di dapatkan dari inokulum virus yang tersedia di Laboratorium Biologi Molekuler
Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, yaitu dari sampel
udang vaname yang positif terinfeksi WSSV. Prosedur pembuatan inokulum virus
dibuat mengikuti metode Wahjuningrum, et al. (2006), Virus diambil dari organ
insang udang vaname terinfeksi WSSV. Sebanyak 1 gram organ udang yang
terinfeksi WSSV digerus sampai halus dan dilarutkan dalam 9 ml air laut steril,
kemudian di sentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 30 menit dan 8000 rpm
selama 20 menit. Supenatan yang dihasilkan disaring dengan kertas miliphore
0,45 µm menggunakan filter holder dan syringe. Setelah itu dilakukan RT-PCR
untuk mengetahui dosis virus yang akan digunakan, lalu dilakukan pengenceran
bertingkat. Sehingga didapat suspensi virus yang diinginkan.
Persiapan Udang Uji
Udang
vaname yang digunakan dipilih udang vaname dengan kondisi sehat dan memiliki
ukuran size 50 dengan berat rata-rata 20 g/ekor. Udang yang digunakan sebanyak
120 ekor. Setiap bak kontainer dimasukkan udang 10 ekor lalu diaerasi untuk
membantu suplai oksigen selama pemeliharaan. Waktu pemeliharaan udang dilakukan
selama kurang lebih 4 hari sebagai perlakuan aklimatisasi sebelum dilakukan
injeksi virus. Selama pemeliharaan ini, udang diberi pakan pelet secara ad
libitum dengan frekuensi pemberian sebanyak 4 kali sehari. Penyiponan akuarium
juga dilakukan secara rutin agar kondisi kualitas air tetap stabil.
Pelaksanaan
Penelitian
Penularan Virus WSSV
Penularan
virus WSSV pada udang vaname dilakukan melalui injeksi. Virus disuntikkan di bagian intramuscular segmen abdominal ketiga
sebanyak 0,1 ml/ekor (Nurbariah dan Khairurrazi, 2015). Jumlah udang yang
diinjeksi sebanyak 90 ekor. Pengamatan
udang pasca injeksi virus dilakukan pada jam ke 0, 6, 12, 24, 48, 60,
dan 72 jam.
Deteksi Virus dengan
Metode PCR
Setelah
diinjeksikan virus WSSV kemudian dilakukan pengujian pada udang menggunakan PCR
untuk mengetahui apakah udang terinfeksi WSSV atau tidak. Deteksi yang
digunakan adalah dengan metode Polymeration Chain Reaction (PCR). Metode ini telah
banyak digunakan untuk mendeteksi keberadaan virus. Organ target yang biasa
digunakan dalam ekstraksi DNA udang adalah insang atau kaki renang (pleopoda).
Ekstraksi DNA dapat dilakukan dengan berbagai metode, tergantung dari acuan
yang digunakan. Pada Laboratorium Pengujian Mutu Perikanan Budidaya BBPBAP
Jepara mengacu pada The Office International des Epizooties, OIE (2009) tentang
Manual of Diagnostics Test for Aquatic Animal chapter 2.2.2, sehingga metode
ekstraksi DNA menggunakan metode lisis buffer. Primer yang digunakan yaitu
menggunakan primer 146F (5’-GTA-ACTGCC-CC-TCC-ATC-TCC-A-3’) dan 146R
(5’-TAC-GGC-ACG-TGC-TGC-ACC-TTG-T-3’) dan memiliki target 941 bp.
Menurut
Handoyo (2001), dalam proses ekstraksi DNA bertujuan untuk mengeluarkan DNA
dari nukleus, mitokondria, atau organel dan biasanya dilakukan dengan
penambahan lisis buffer untuk mencegah terjadinya kerusakan DNA. Pada saat
ekstraksi DNA dilakukan penumbukan sampel agar bahan sampel menjadi halus dan
komposisinya menyatu. Pada dasarnya ekstraksi DNA terdiri dari beberapa tahap,
yaitu : homogenisasi, separasi, presipitasi, pencucian dan pelarutan DNA.
Ekstraksi pada organisme eukariot dilakukan melalui proses penghancuran dinding
sel, penghilangan protein dan RNA, dan pengendapan DNA dan pemanenan.
Menurut
Prayoga dan Wardani (2015), proses PCR berlangsung dalam tiga tahap, yakni
tahap denaturasi, tahap penempelan (annealing), dan tahap pemanjangan
(extension). Tahap denaturasi dilakukan dengan menaikkan suhu hingga suhu 93 –
950 C dan bertujuan untuk memecah DNA target dari dua untai menjadi untaian DNA
tunggal yang saling terpisah. Tahap annealing dilakukan pada suhu 50 – 620 C
setelah tahap denaturasi dan bertujuan agar primer menempel pada DNA target.
Tahap extension berlangsung pada suhu 720 C setelah tahap annealing dan
bertujuan agar enzim polimerase dapat melakukan sintesis sehingga berlangsung
proses pemanjangan untaian DNA baru. Setiap tahap PCR tersebut harus dilakukan
secara berurutan dan satu perjalanan dari tahap denaturasi hingga tahap
extension dinamakan satu siklus (cycle). Satu proses PCR membutuhkan sekitar 30
– 40 siklus. Setelah elektroforesis, dilakukan pewarnaan menggunakan etidium
bromida selama 15 menit. Selanjutnya dilakukan pembacaan hasil menggunakan UV
transilluminator dan dilakukan pengambilan foto untuk dokumentasi.
Analisis
Histopatologi
Sampel
yang digunakan merupakan udang yang menunjukkan gejala klinis terinfeksi virus
WSSV pada bak pemeliharaan dan disuntik terlebih dahulu dengan larutan davidson
pada bagian cepalotorax. Udang vaname kemudian dibedah untuk diambil insang
dengan alat sectio set. Tahapan pembuatan preparat histopatologi adalah sebagai
berikut: tahapan pertama yaitu fiksasi organ menggunakan larutan davidson
selama kurang lebih 48 jam. Kemudian dilakukan proses dehidrasi menggunakan
larutan alkohol bertingkat yaitu 70%, 80%, 90%, dan 100% secara berurutan
dengan waktu masing-masing 2 jam. Tahap clearing dengan mencelupkan sampel
jaringan ke dalam larutan xylol 1, xylol 2, dan
xylol 3 selama 2 jam pada masing-masing larutan. Tahap Impregnasi yaitu
sampel jaringan dimasukkan ke dalam parafin cair pada suhu 56-600C dalam waktu
2 jam dan diulang kembali dengan suhu dan waktu yang sama. Selanjutnya tahap
embedding yaitu pembuatan blok paraffin pada sampel menggunakan cetakan
alumunium dan diletakkan pada cool plate (– 5oC) agar membeku. Sectinoning atau
pemotongan jaringan menggunakan mikrotom dengan ketebalan 4-5µ. Hasil potongan
tersebut diletakkan pada object glass. Tahap Pewarnaan menggunakan zat warna hematoksilin dan eosin.
Tahap terakhir yaitu mounting atau perekatan cover glass menggunakan entelan.
Parameter Uji
Parameter
uji dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu parameter utama dan parameter
penunjang. Parameter utama dalam penelitian ini adalah hasil pengamatan
histopatologi insang udang dan telah dihitung skoring kerusakan yang ditemukan.
Parameter penunjang yaitu pengamatan terhadap gejala klinis, Survival Rate (SR)
dan kualitas air selama pemeliharaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Uji PCR
A. Sebelum Perlakuan
Infeksi
Deteksi yang digunakan adalah dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Hasil PCR sebelum infeksi WSSV dapat dilihat pada Gambar Hasil Uji PCR Sampel Udang Sebelum Perlakuan Infeksi White Spot Syndrome Virus (WSSV).
Gambar Hasil Uji PCR Sampel Udang Sebelum Perlakuan Infeksi White Spot Syndrome Virus (WSSV). M : Marker (100 bp DNA ladder), K(-): Kontrol negatif, K(+): Kontrol posiitif terinfeksi WSSV , step 2 (941 bp), S : Sampel udang yang dianalisis
Hasil
uji PCR diatas dapat disimpulkan bahwa udang vaname sebelum dilakukan infeksi
inokulum virus WSSV negatif. Hasil negatif karena tidak adanya kemunculan bend
atau pita DNA pada sampel udang diuji yang sejajar dengan bend kontrol positif
(941 bp). Diartikan bahwa udang vaname yang digunakan dalam penelitian ini tidak
terindikasi adanya infeksi virus. Diperkuat menurut Supriatna, et al. (2014),
menunjukkan hasil negatif apabila tidak terdapat pita DNA WSSV.
B. Pasca Infeksi White Spot Syndrome Virus (WSSV)
Gambar Hasil Uji PCR Pasca Infeksi WSSV. (a) perlakuan tanpa
infeksi virus (kontrol) dan (b)
perlakuan infeksi virus. Keterangan : M : Marker (100 bp DNA ladder),
K(-) : Kontrol negatif, K(+):
Kontrol posiitif terinfeksi WSSV , step 1 (1.447 bp) dan step 2 (941 bp), S : Sampel udang yang dianalisis, (a)
Perlakuan tanpa infeksi virus (kontrol) dan (b) Perlakuan infeksi virus
Hasil PCR pasca infeksi WSSV dapat dilihat pada Hasil Uji PCR Pasca Infeksi. Hasil uji PCR sesuai dengan Gambar 10a perlakuan tanpa infeksi
(kontrol) menunjukkan bahwa hasil negatif karena tidak ada kemunculan bend atau
pita DNA pada sampel udang yang diuji. Hasil pada kelompok perlakuan yang
diinjeksi virus pada Gambar 10b positif terinfeksi WSSV karena adanya munculnya
bend DNA pada sampel yang sejajar dengan bend kontrol positif pada ukuran
fragmen 941 bp. Diperkuat menurut Pranawaty, et al. (2012), hasil deteksi
terhadap serangan virus white spot menggunakan uji PCR konvensional nampak pita
DNA WSSV.
Analisis
Histopatologi
Pengamatan histopatologi Limfoid udang pada setiap perlakuan dibawah mikroskop binokuler diperoleh hasil yang disajikan pada Gambar Histopatologi Udang Vaname.
Gambar Histopatologi Limfoid Udang Vaname. (K) Kontrol, (A) 102, (B) 103, (C) 104. Panah putih menunjukan Inti sel normal, panah hitam inti sel mengalami hipertropi.
Pengamatan
histopatologi limfoid udang pada Gambar 3 menggunakan mikroskop dengan
perbesaran 400x, diperoleh hasil bahwa organ limfoid udang vaname ditemukan
adanya kerusakan yang ditandai dengan membesarnya sel akibat hipertropi. Hasil
pengamatan juga terlihat bahwa semakin tinggi dosis menunjukkan adanya
penambahan sel yang biasa disebut dengan Hyperplasia. Hiperplasia adalah
peningkatan jumlah sel dalam suatu jaringan sehingga ukuran jaringan atau organ
tersebut menjadi lebih besar (Mahasri, et al., 2008).
Analisis Histopatologi Tiap Jam Pengamatan
Kerusakan
tiap jam pengamatan 6 jam pasca infeksi, 12 jam pasca infeksi, 24 jam pasca
infeksi, 36 jam pasca infeksi, 48 jam pasca infeksi. Panah hitam menunjukan
hipertropi.
Tabel Analisis Sidik Ragam
Keterangan
ns : Tidak Berbeda Nyata
Berdasarkan
Tabel diatas, menunjukkan bahwa seluruh perlakuan tidak berbeda nyata dimana
F hitung tidak berbeda nyata karena pada seluruh perlakuan menunjukkan
kerusakan berat. Pernyataan ini didukung menurut Widodo (2002), konsentrasi
penyerangan dari WSSV adalah organ limfoid yang berfungsi sebagai penghasil
getah bening dalam proses imunitas tubuh udang, hal inilah yang menyebabkan
penurunan daya tubuh udang sangat cepat jika terkena penyakit ini. Diperkuat
menurut Hamsah, et al. (2006), Jaringan limfoid merupakan organ target WSSV dan
tempat perkembangan infeksi pada tubuh udang.
Gejala Klinis Pasca
Infeksi Virus
Gambar Gejala Klinis Pasca Infeksi Virus WSSV. Gambar (a) udang normal, (b) berenang tidak terarah, (c) warna tubuh kusam
kemerahan, (d) kaki renang dan tubuh merah
Hasil
pengamatan gejala klinis Gambar (a) menunjukkan udang terlihat normal dengan
warna putih cerah pada bagian badan Ciri-ciri udang normal pergerakan aktif,
respon terhadap rangsangan cepat, warna tubuh putih, dan bagian tubuh lengkap
menurut Arafani, et al. (2016), tubuh udang berwarna putih bening atau cerah
dan bagian tubuh udang lengkap.
Hasil
pengamatan pada Gambar (b), (c), (d), dan (e) merupakan hasil pengamatan gejala
klinis pada udang vaname yang terinfeksi WSSV pada konsentrasi yang berbeda
yaitu 10^2 ,10^3 dan 10^4. Gejala klinis
yang tampak pada udang uji selama pengamatan berlangsung, secara umum terlihat
adanya perubahan warna tubuh menjadi kemerahan, pada bagian kaki renang dan
kaki jalan juga berwarna merah, pergerakan pasif, cenderung diam di dasar namun
tidak terdapat bercak-bercak putih pada bagian karapasnya. Tanda-tanda udang
terinfeksi menurut Soetrisno (2004), udang berenang di ujung bak pemeliharaan,
warna tubuh kemerahan pada bagian kaki jalan maupun kaki renang, dan berenang
tidak terarah.
Udang
yang telah terinfeksi WSSV akan mengalami perubahan warna pada kulit. Perubahan
warna menurut Bower (1996), dikarenakan terjadi pembesaran kromatofor kutikula.
Kromatofor merupakan salah satu sistem pertahanan tubuh udang, perubahan warna
tanda adanya penurunan imunitas untuk melawan adanya unsur asing dalam tubuh.
Tingkat Kelangsungan
Hidup (SR)
Survival
rate merupakan persentase kelulushidupan suatu organisme dari awal pemeliharaan
sampai akhir masa pemeliharaan. Nilai persentase jumlah udang yang hidup selama
periode pemeliharaan grafik survival rate ditampilkan pada Gambar dibawah.
Gambar Grafik Survival Rate Tiap Jam
Pengamatan
Hasil
yang ditunjukan pada Gambar diatas, perlakuan kontrol sampai akhir penelitian tidak
mengalami kematian sampai akhir pemeliharaan, pada perlakuan A nilai survival
rate 37%, pada perlakuan B nilai survival rate 3%, sedangkan pada perlakuan C
mengalami kematian total.
Grafik
hubungan antara konsentrasi virus dengan nilai SR udang disajikan pada Gambar sebagai berikut :
Gambar Pengaruh Konsentrasi Virus WSSV Terhadap Nilai SR
Hasil
yang ditunjukkan pada Gambar diatas, diperoleh grafik regresi linier dengan
persamaan y=50,079-0,0054x dengan R2= 0,99. Diperoleh kesimpulan perlakuan
infeksi virus WSSV dengan konsentrasi yang berbeda mempengaruhi tingkat
kelangsungan hidup udang vaname. Semakin tinggi konsentrasi virus yang
diinfeksikan mengakibatkan kelangsungan hidup udang vaname menjadi turun.
Diperkuat menurut Moore dan Poss (1999), disebabkan karena perkembangan dan
penumpukan virion yang berkembang dalam nukleus sehingga menyebabkan organ
rusak sehingga menyebabkan kematian pada udang.
Parameter Kualitas
Air
Kualitas
air merupakan salah satu faktor yang penting dalam kegiatan penelitian karena
digunakan untuk mengukur media hidup udang yang diteliti. Kualitas air yang
diukur antara lain suhu, pH, DO dan salinitas. Pengukuran kualitas air
dilakukan tiga kali sehari, yakni pagi siang dan sore hari.
Suhu
Suhu
merupakan derajat panas dingin suatu perairan. Hasil pengukuran suhu selama
pemeliharaan berkisar antara 26.3-29.4°C. Nilai tersebut masih termasuk dalam
kisaran normal, sesuai dengan pernyataan Pasongli, et al., (2015), bahwa
toleransi hidup udang vaname berkisar pada suhu 16-360C.
Salinitas
Salinitas
merupakan tingkat keasinan atau kadar garam yang terlarut dalam air. Selama
masa penelitian nilai salinitas yang digunakan 30 ppt. Kisaran salinitas
tersebut dikatakan normal, sesua dengan pernyataan Adisukresno (1990) bahwa
udang vaname biasa hidup pada rentang salinitas 24-32 ppt.
Derajat Keasaman (pH)
Derajat
keasaman (pH) merupakan konsentrasi ion hidrogen yang menunjukkan suasana asam
atau basa suatu perairan. Hasil pengukuran derajat keasaman (pH) selama
pemeliharaan berkisar antara 7,73-8,06. Nilai tersebut masih termasuk dalam
kisaran normal, sesuai dengan pernyataan Sumeru dan Anna (1992), bahwa pH air
yang baik untuk pemeliharaan dan pembesaran udang adalah 7,0-8,5.
Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen
terlarut (DO) sangat diperlukan untuk respirasi dan proses metabolisme udang.
Hasil pengukuran oksigen terlarut (DO) selama pemeliharaan berkisar antara
5,27-6,15 ppm. Kisaran suhu tersebut dikatakan normal, hal ini sesuai dengan
pendapat Amri dan Kanna (2008), hal ini masih dikatakan layak bahwa oksigen yang
baik untuk pertumbuhan udang adalah 4-7 ppm.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan mengenai analisis histopatologi limfoid udang
vaname yang diinfeksi WSSV didapatkan kesimpulan. Kerusakan pada organ limfoid udang vaname (Litopenaeus
vannamei) yang diinfeksi White Spot Syndrome Virus (WSSV) adalah hipertropi
inti sel dari udang yang terinfeksi mengalami pembesaran yang disebabkan oleh
penumpukan virion virus di inti sel. Gejala klinis yang ditimbulkan akibat
infeksi WSSV tubuh udang berubah kemerahan, dan berenang tidak terarah. Dosis
10^2 sudah menyebabkan kerusakan berat pada 48 jam pasca injeksi.
Saran
Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan mengenai analisis histopatologi limfoid udang
vaname yang diinfeksi WSSV didapatkan saran, melakukan penelitian lanjutan
hematologi pada udang vaname yang diinfeksi virus WSSV dengan dosis infeksi
10^2, 10^3 dan 10^4. Melakukan penelitian histopatologi udang vaname dengan dosis
infeksi selain 10^2, 10^3 dan 10^4. Melakukan penelitian berbeda dengan mengganti
spesies udang selain udang vaname yang diinfeksi virus WSSV dengan dosis
infeksi 10^2, 10^3 dan 10^4.
Ucapan Terimakasih
Penulis
mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Maftuch, M.Si serta Ir. Heny
Suprastyani, MS atas saran dan bimbingannya selama proses penelitian ini hingga
selesai dan semua pihak yang terlibat
dalam penelitian ini.
Penulis
Gery
Purnomo Aji Sutrisno
Fpik
Universitas Brawijaya Angkatan 2015
DAFTAR PUSTAKA
Adisukresno,
S., S. Ilyas, Sujipto., N. Perbowo., A. Poernomo., A. Rukyani., A. Hanafi., M.
L. Nurdjana., E. Kusnendar., C. Kokarkin., T. Permadi., R. Wibisono., B.
Wahyudi dan T. Hariyanto. 1990. Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Budidaya Udang
di Pertambakan dalam Usaha Pengendalian Penyakit. Departemen Pertanian,
Jakarta.
Amri,
K. dan I. Kanna. 2008. Budi Daya Udang Vaname Secara Intensif, Semi Intensif,
dan Tradisional. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 168 hlm.
Arafani,
L. Ghazali., M. Ali dan Muhamad. 2016. Pelacakan virus bercak putih pada udang
vaname (Litopenaeus vannamei) di Lombok dengan real-time polymerase chain
reaction. Jurnal Veteriner. 17(1): 88-95.
Bower
SM. 1996. Synopsis of infection Disease and Parasites of commercially Exploited Shell fish : White Spot Syndrome of
Panaeid Shrimp. http://www-sci.pac.dfo-mpo.Gc.ca.html/. Diakses pada tanggal 26
Oktober 2018.
Briggs,
M., Smith, S.F., Subasinghe, R., & Phillips, M. 2004. Introduction and
Movement of Penaeus vannamei and Penaeus stylirostis in Asia and the Pacific.
RAP Publication 2004/10. Bangkok. 92p.
Burhanuddin.
2009. Riset Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) dengan Umur Tokolan
Berbeda. Seminar Nasional Hasil Riset Kelautan dan Perikanan.
Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya. 2013. Volume Produksi Udang 2009-2013. Departemen
Kelautan dan Perikanan.
Hamsah.,
D. Dana dan M. B. M. Malole. 2006. Peran pakan alami dalam penularaan white
spot syndrome virus pada benur udang windu (Penaeus monodon Fabr.) sebuah
kajian awal. Majalah Ilmiah Agriplus. 16: 1-9.
Handoyo,
D. dan A. Rudiretna. 2001. Prinsip umum dan pelaksanaan polymerase chain
reaction (PCR). Jurnal Unitas. 9(1): 17-29.
Hudi,
L dan A. Shahab. 2005. Optimasi produktivitas budidaya udang vaname
(Litopenaeus vannamei) dengan menggunakan metode respon surface dan non linear
programming. Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi II. 28.1-28.9.
Mahasri,
G., L. Raya., A. S. Mubarak, dan B. Irawan. 2008. Gambaran Patologi Insang dan
Kulit Udang Windu (Penaeus monodon Fab.) yang Terserang Ciliata Patogen dari
Famili Vorticellidae (Zoothamnium sp.). Jurnal Perikanan. 3(1): 1-9.
Moore,
A. M and S. G. Poos. 1999. White Spot Syndrom Virus.
htttp://www.Lionfish.Ims.Usm/edu/musweb//nis/White-spot-Baculovirus-compleks.Htm.
Diakses pada 22 April 2019.
Nurbariah
dan Khairurrazi. 2015. Virulensi White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada Udang
Pisang (Penaeus sp). Prosiding Seminar Nasional Biotik. 1-4.
OIE
(Organization International des Epizooties). 2009. Bovine Brucellosis.
Terrestial Manual Chapter 2.4.3 http://www.oie.int/fileadmin/Home. Diakses pada
22 April 2019.
Pasongli,
H., G. D. Dirawan dan Suprapta. 2015. Zonasi Kesesuaian Tambak untuk
Pengembangan Budidaya Udang Vaname (Penaeus vannamei) pada Aspek Kualitas Air
di Desa Todowong Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat. Jurnal
Bioedukasi. 3(2): 1-12.
Pranawaty,
R. N., I. D. Buwono dan E. Liviawaty. 2012. Aplikasi Pollymerase Chain Rection
(PCR) Konvensional dan Real Time PCR untuk Deteksi White Spot Syndrome Virus
pada Kepiting. Jurnal Perikanan dan Kelautan. Unpad. Bandung. 14 hlm.
Pratiwi,
H. C dan A. Manan. 2015. Teknik dasar histologi pada ikan gurami (Osphronemus
gouramy). Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 7(2): 1-6.
Prayoga,
W dan A. K. Wardani. 2015. Polymerase Chain Reaction untuk deteksi Salmonella
sp. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 3(2): 483-488.
Soetrisno,
C. K. 2004. Mensiasati Penyakit WSSV di Tambak Udang. Jurnal Aquaculture
Indonesia. 5(1):19-31.
Sumeru,
S. U., dan S. Anna. 1992. Pakan Udang Windu (Panaeus monodon). Yogyakarta:
Kanisius. 96 hlm
Wahjuningrum,
D., S. H. Sholeh dan S. Nuryati. 2006. Pencegahan Infeksi Virus White Spot
Syndrome Virus (WSSV) pada Udang Windu Panaeus monodon dengan Cairan Ekstrak
Pohon Mangrove (CEPM) Avicennia sp. Dan Sonneratia sp. Jurnal Akuakultur
Indonesia. 5(1): 65-75.
Wang
HC, Hao-Ching Wang, Guang-Hsiung Kou, Chu-Fang Lo, dan Wei-Pang Huang. 2007.
Identification of Icp11, The Most Highly Expressed Gene of Shrimp White Spot
Syndrome Virus (WSSV). Diseases of Aquatic Organisms 74: 179–89.
Widodo, D. S. 2002. Uji Patogenitas Virus Bintik Putih (White Spot) Pada Udang Windu (Penaeus monodon Fabricius) dengan lama waktu perendaman 30, 60 dan 90 menit konsentrasi 100 µg/ml. SKRIPSI. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 87 hlm.
Post a Comment for "Analisis Histopatologi Limfoid Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) Yang Diinfeksi White Spot Syndrome Virus (WSSV)"